Seniman Berkarya

Sosok Gustira Monita, Gadis Gayo Kreatif yang Mampu Ciptakan Tari di Usia 13 Tahun

Yang membuat Gustira menjadi lebih istimewa, ia juga seorang pemain olah raga catur andal. Selama tiga tahun berturut, 2013-2016, menjadi Juara 1 Ol

Penulis: Ferizal Hasan | Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS/FOR SERAMBINEWS.COM
Gustira Monita 

Laporan Fikar W Eda I Jakarta

SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Mulai menari dalam usia delapan tahun. Memasuki usia 13, sudah mencipta tari kreasi baru. Gustira Monita, memang gadis Gayo, istimewa.

tari secara otodidak dari sang ibu yang juga pelaku seni tari Gayo. Ia juga menguasai banyak alat musik. Saat ini kuliah semester delapan di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

Yang membuat Gustira menjadi lebih istimewa, ia juga seorang pemain olah raga catur andal. Selama tiga tahun berturut, 2013-2016, menjadi Juara 1 Olimpiade Olah Raga Siswa Nasional Cabang Catur Tunggal Putri.

Gustira Monita, akrab disapa, Gustira atau Gusti, berasal dari keluar seniman. Ayahnya bekerja sebagai petani kopi, tapi penikmat seni.

Ibunya, Mokmeli, seorang guru dan pelaku seni Gayo yang aktif. Kakeknya (ayah dari ibu), bernama Abdullah Syeh Kilang, seniman ternama di Gayo, di bidang musik dan tari.

“Tapi saya tidak pernah bertemu kakek. Sebab saya lahir, kakek sudah meninggal dunia,” cerita Gusti.

Berada dalam keluarga seniman, membuat Gustira lebiah bebas mengkespresikan jiwa berkeseniannya. Ia banyak mendengar dari sang ibu tentang seni Gayo.

Gustira kemudian mengembangkan sendiri bakat seninya. Termasuk saat menciptakan tari kreasi baru dalam usia 13 tahun, merupakan inisiatif dirinya, saat itu ikut lomba tari kreasi baru di Aceh Tengah. Itu adalah karya ciptanya yang pertama.

Ia lupa memberi judul karyanya itu. Ia hanya mengikutsertakan dalam lomba tari kreasi baru di Aceh Tengah. “Itu karya improviasi. Makanya tak diberi judul,” kisahnya.

Dari tangan Gustira, telah lahir banyak karya tari, antara lain Munapi, Bunge, Canang Berok” pada 2012. Lalu pada 2013, lahira karya “Pemanis, Renah Renoh, Cererek.” Pada 2014 tercipta “Garipo, Tiketa Keti.” Pada 2015 tari “Kupi, Payung.” Karya pada 2016 “Mungaro, Rempak, Jenyong.” Tahun 2017 lahir “I Pemah Lut Iyo, Redek, Nipak, Rembune,” dan “Aman Dimot.”

 Tahun 2018 tercipta “Birah Panyang, Lelawah, Me Or.” Tahun 2019 tercipta tari “Party Jompo, Ketibung.” Khusus “Ketibung” diikutkan dalam World Dance Day, International Dance Day. Tahun 2020 ini, Gustrira melahirkan karya “Kupia.”

Badai Belalang Kembali Serang India, Pemerintah New Delhi Siaga Tinggi

Tak Perlu Khawatir, Kenali Penyebab Bintitan pada Mata dan Begini Cara Penyembuhannya

Meski Deadline 24 Juni Habis, Namun 29 TKA Asal Cina Belum Juga Dipulangkan, Ini Reaksi Anggota DPRA

“Ketibung” adalah tari kreasi baru , terinspirasi dari kebiasaan permepuan Gayo yang memainkan bunyi air saat berada di sungai atau danau. “Ketibunga simbol dari keceriaan dan kegembiraan,” ujarnya. Ia mengambil gerak dasar Guel untuk mengeskpresikan “ Ketibung” tadi.

Gustira mendengar kebiasan “berketibung” ini dari ibundanya. Oleh Gustira kemudian dijadikan karya tari. Kisah tari “Ketibung” ini ia beberkan dalam acara “Ngobrol Proses Kreatif” atau “Ngoprek” sebuah acara yang digagas mengisi “Meditasi Corona Virus” yang disiarkan live di grup Meditasi Corona Viru Facebook dan Instagram, ditayangkan tiap Jumat dan Sabtu petang.

Lahir di Pondok Baru, Bener Meriah 14 Agustus 1998 sebagai bungsu dari enam bersaudara. Menari , bagi Gustira adalah panggilan jiwa.

“Menari tidak hanya sekedar menggerakan tubuh. Lebih dari itu, tari adalah sebuah pergerakan memaknai kehidupan serta ekspresi dinamis hati dan emosional perasaan,” katanya.

Ia mengagumi “Ine-nya” yang seorang penari Gayo. Ine dalam Bahasa Gayo berarti ibu. “Ine jadi motivasi Gusti untuk berseni karna ine sangat aktif dalam kegiatan seni di Bener Meriah-Aceh Tengah. Tapi ine tidak pernah mengajarkan Gusti menari secara langsung. Gusti hanya melihat dan mencoba-coba sendiri,” kenangnya tentang masa kecil.

Kemampuan Gustira tidak hanya dalam bidang tari. Melainkan juga dalam musik. Ia menguasai banyak instrumen musik, seperti perkusi, gitar, biola, alat musik tradisional Gayo, teganing, canang, gong. Sekarang bahkan sudah bisa gamelan Jawa dan gondang Batak.

Semua ia palajari sendiri, dan tentu hasil interaksinya dengan mahasiswa seni di Kampus ISI tempatnya menuntut ilmu. “Sejak kuliah di ISI kemampuan bermain musik dan menari semakin terasah,” ujarnya.

Memilih ISI Yogyakarta, awalnya irekomendasikan oleh sang kakak, setelah melihat bakat dan kecenderungan dirinya dalam bisang seni. “Saya mencita-citakan membangun sebuah studio tari. Saya ingin mengembangkan pengetahuan saat pulang ke kampung halaman. Banyak hal yang bisa dipetik dari dunia kesenian dalam membangun karkater jiwa manusia,” ujarnya.

Selama menuntut ilmu di Yogya, Gustira aktif di Seuraya (Seuniman Rapa'i Aceh Yogyakarta), Sanggar Cut Nyak Dhien Yogyakarta, Sanggar Lungun Gayo Yogyakarta, Burni Telong Etnik Gayo , Sanggar Mayang Serungke Bener Meriah, Sarkem Percussion Yogyakarta, Gerakan Surah Buku Yogyakarta, dan Pendiri Gayo Arts Studio.

Gustira meraih sejumlah prestasi, antara lain Juara 1 Vokal Grup Pelajar (2011-2013), Duta Wisata Bener Meriah, kategori Favorit 2015, Juara 1 Festival Musik Etnik Kolaborasi Modern- Sabang Fair 2016, Juara 1 (berturut-turut) Olimpiade Olah Raga Siswa Nasional Cabang Catur Tunggal Putri 2013-2016, Cipta dan Baca Puisi Malam Puncak Kemerdekaan RI-GOS Takengon, 2014-2015, dan Pimpinan Produksi Pergelaran Karya Tugas Akhir ISI Yogyakarta 2019.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved