Opini

Kantor Urusan Luar Negeri Aceh

Hampir satu tahun yang lalu, sebuah video berjudul "Dari Helsinki ke Stockholm" beredar di YouTube. Video itu menceritakan

Editor: hasyim
zoom-inlihat foto Kantor Urusan Luar Negeri Aceh
FOTO/IST
Teuku Zulman Sangga Buana, S.H Alumni Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Aktivis International Law Association (ILA) Indonesian Branch

Teuku Zulman Sangga Buana, S.H

Alumni Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Aktivis International Law Association (ILA) Indonesian Branch

Hampir satu tahun yang lalu, sebuah video berjudul "Dari Helsinki ke Stockholm" beredar di YouTube. Video itu menceritakan, di antaranya tentang bagaimana ketika Tim Perunding GAM melapor kepada Teungku Muhammad Hasan di Tiro mengenai upacara penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki di kediamannya, Swedia.

Secara garis besar para tokoh Aceh itu membicarakan perihal bagaimana respon pihak asing terhadap Perjanjian Helsinki. Apa yang paling menarik perhatian dari perbincangan itu bagi penulis, ialah penggunaan dua bahasa sebagai bahasa pengantar pertemuan, bahasa Aceh dan Inggris.

Beberapa kali terdengar percampuran antara keduanya, seperti: "Nyoe na saboh teuk dari U.S. State Department" dan "Oh lheuh nyan, tapajoh lunch together." Untuk menyebut Menteri Luar Negeri dan Kementerian Luar Negeri, istilah yang digunakan ialah "menteri lua" dan "Kementerian Lua", cukup khas.

Video ini menambah keyakinan penulis, bahwa memang kemampuan Aceh dalam menjalin hubungan luar negeri pada masa kerajaan dahulu, bukanlah sesuatu yang terlalu dilebih-lebihkan. Lagi pula, banyak sudah tulisan-tulisan yang dapat dipertanggungjawabkan menceritakan hal ini, antara lain sebagaimana digambarkan oleh Anthony Reid dalam bukunya "Asal Mula Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19 (2007)".

                                                                                                                Keistimewaan secara hukum

Aceh kini sebagai bagian dari Republik Indonesia, secara hukum telah lama memiliki keistimewaan dalam bidang hubungan luar negeri. Pasal 8 ayat (1), Pasal 9, dan juga Pasal 23 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh mengatur tentang keistimewaan itu.

Sayangnya hingga hari ini, Pemerintah Aceh tampak belum memanfaatkan secara maksimal keistimewaan itu. Walaupun ada upaya-upaya ke arah sana yang dapat disaksikan langsung oleh publik, seperti pelaksanaan turnamen sepak bola internasional Aceh World Solidarity Cup (AWSC), ikhtiar menghidupkan kembali Pelabuhan Kuala Langsa, dan upaya menyambungkan Aceh dengan Kepulauan Andaman-Nicobar, India-yang sekarang tidak lagi terdengar.

Belum maksimalnya pengelolaan kekhususan ini salah satunya dapat dilihat dari sisi struktur organisasi Pemerintah Aceh, yang tidak memiliki bidang khusus untuk menangani kekhususan dimaksud. Berbeda dengan struktur Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat yang mempunyai Subbagian Kerja Sama Luar Negeri. Berbeda juga dengan Pemerintah Provinsi Papua yang memiliki Biro Perbatasan dan Kerja Sama Luar Negeri.

Untuk tingkat kabupaten/kota, Pemerintah Kota (Pemko) Bandung juga memiliki bidang yang serupa, yaitu Kerja Sama Luar Negeri (KSLN). Sehingga tidak mengherankan, kerja sama sister city (kerja sama antara pemerintah kota dengan pemerintah kota di luar negeri) Kota Bandung dapat dikelola dengan baik.

Sebagai perbandingan, berdasarkan data dari situs resmi masing-masing pemerintah kota, Pemko Bandung telah menjalin kerja sama sister city dengan setidaknya empat belas kota di luar negeri yang berasal dari sembilan negara yang berbeda. Berbanding jauh dengan Pemko Banda Aceh yang baru memiliki kerja sama sister city dengan tiga kota di luar negeri dari tiga negara yang berbeda.

Wali Nanggroe Aceh, Tgk. Malik Mahmud al-Haytar, memang pernah meminta kepada Wakil Menteri Luar Negeri untuk membuka foreign office atau Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Luar Negeri (Kemlu) di Aceh agar memudahkan para investor dan orang asing mendapatkan informasi yang berhubungan dengan Aceh.

Namun yang mengagetkan, beliau meminta sebuah Kanwil dan mengapa bukan Kantor Urusan Luar Negeri sendiri? Mengingat kewenangan yang dimiliki Aceh dalam hal ini bukanlah kewenangan biasa, tetapi sebuah kewenangan khusus-dalam format desentralisasi.

                                                                                                                       Hubungan internasional

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved