15 Tahun Damai Aceh
15 Tahun Damai Aceh - Ketika Teriakan Allahu Akbar Menggema di Masjid Raya Baiturrahman
Suasana haru-biru itu terjadi di halaman Masjid Raya Baiturrahman pada acara nonton bareng penandatanganan MoU antara RI-GAM.
LKBN Antara juga menggambarkan 'semangat' masyarakat Aceh menyikapi penandatanganan kesepakatan damai RI-GAM untuk mengakhiri sebuah konflik bersenjata yang telah berlangsung puluhan tahun.
Kesepakatan damai tersebut menjadi bahasan pokok dalam "diskusi" kecil masyarakat di warung‑warung kopi, balai desa, dan tempat keramaian umum lainnya.
Dari diskusi‑diskusi kecil yang berkembang baik di warung kopi, pusat perdagangan, terminal angkutan kota, sekolah hingga perguruan tinggi di seantero NAD, masyarakat sangat berharap agar prosesi penandatanganan kesepakan damai (MoU) tersebut benar‑benar terlaksana dengan baik dan lancar.
"Masyarakat Aceh sudah cukup menderita sejak daerah ini dilanda konflik bersenjata, ditambah lagi musibah gempa dan tsunami akhir tahun lalu. Oleh karena itu tidak ada alasan untuk menunda‑nunda perdamaian di Aceh," kata Muhammad Yusuf, seorang pedagang kaki lima di Pasar Aceh, Kota Banda Aceh. "Perdamaian harus menjadi harga mati," tandas seorang warga lainnya.
Harapan agar kedamaian benar-benar langgeng juga disampaikan keluarga TNI yang menguni sejumlah asrama/barak TNI di Banda Aceh.
Mereka berharap, perselisihan menahun antara RI-GAM yang telah merenggut korban jiwa, baik di kalangan GAM, prajurit TNI/Polri maupun masyarakat tak berdosa, hendaknya segera berakhir.
Sehingga, keluarga besar TNI/Polri organik yang selama lima tahun terakhir bermukim di asrama, yang umumnya berdampingan dengan pemukiman penduduk, yang selama ini merasa terusik, hendaknya terbebas dari gangguan atau sasaran GAM.
Sementara itu, seorang supir labi‑labi (angkot) menyatakan kesepakatan damai RI‑GSA yang ditandatangani di Helsinki itu juga dapat diwujudkan para pihak yang ada di lapangan, sehingga masyarakat benar‑benar bisa menghirup kembali "udara" kedamaian di Aceh.
"Jangan di Helsinki, para wakil RI‑GSA itu berdamai, kemudian di lapangan di Aceh, kedua pihak tetap berperang. Perang itu hanya membuat kehidupan masyarakat lebih menderita. Selama konflik memanas di Aceh, kami (supir) sulit mencari makan dengan tenang karena situasi keamanan yang terganggu," katanya.
Abdullah, pedagang nasi di Banda Aceh juga berharap kedua pihak (RI‑GSA) benar‑benar dengan tulus dan ikhlas untuk berdamai, sehingga perselisihan bersenjata yang telah banyak merenggut korban jiwa anak bangsa ini bisa berakhir.
"Kami masyarakat kecil sangat menderita. Perang hanya menyisakan penderitaan berkepanjangan bagi masyarakat. Musibah gempa dan tsunami harus menjadi pelajaran bagi kita untuk tidak lagi saling membunuh sesama anak negeri," ujar Abdullah.(a/dtc/ant/nas/awi)