Citizen Reporter
Melirik Potensi Kopi Liberika, Kopi Rasa Nangka Asal Tangse Pidie
Di pegunungan Tangse, kopi liberika tumbuh subur dan lebat. Sepanjang perbukitan, pohon-pohon liberika ini tinggi menjulang.
TAUFIK AR RIFAI, jurnalis dan fotografer lepas asal Tangse yang bermukim di Banda Aceh, melaporkan dari Tangse, Kabupaten Pidie.
CUACA mulai mendung ketika Edi Azhari (39) merapikan terpal jemuran biji kopi liberika di teras rumahnya.
Biji kopi yang sudah dibersihkan kulitnya sejak dua hari lalu ini sudah terlihat agak kering.
Jika disinari matahari yang cukup, butuh sekitar tiga hari lagi agar menghasilkan biji kopi kering.
Biji kopi yang dijemurnya pun berasal dari buah kopi yang sudah ranum.
"Jika cuacanya stabil, sekitar lima hari untuk proses penjemuran," kata Edy Azhari saat penulis temui di rumahnya di Tangse, Minggu (16/8/2020) lalu.
Pria yang akrab disapa Edi Tangse ini sedang memberdayakan kembali kopi asal Liberia, Afrika tersebut.
Pasalnya, tanaman perkebunan itu kini mulai hilang di pegunungan Tangse.
Meski tak setenar kopi arabika dan robusta, kopi liberika mulai digrandungi petani penggarap.
Kopi liberika, merupakan jenis kopi yang berasal dari Liberia yang dibudidayakan oleh masyarakat Tangse.
Jenis kopi ini paling banyak diminati oleh berbagai kalangan, baik masyarakat Indonesia maupun luar negeri.
Bagi warga Tangse, mereka menyebutnya kopi panah (nangka).
Ini dikarenakan memiliki citarasa dan aroma khas buah nangka.

Citarasa kopi liberika ini juga tidak jauh berbeda dengan arabica.
Karakter kopi liberika ini juga tidak jauh berbeda dengan jenis kopi lainnya di Indonesia.
Hanya saja, kopi liberika ini memiliki aftertaste, atau rasa tertinggal di mulut usai mencicipinya dan cenderung lebih bersih
• LIVE VIDEO - Pariwisata Aceh dan Kopi, Bersama Deputi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
• MAA: Tak Perlu Membatasi Perempuan ke Warung Kopi, Tapi Ini yang Harus Dilakukan
Subur, Lebat, dan Menjulang
Di pegunungan Tangse, kopi liberika tumbuh subur dan lebat.
Sepanjang perbukitan, pohon-pohon liberika ini tinggi menjulang.
Mulanya, kopi ini dibawa masa kolonialis Belanda.
Karakter liberika ini terlihat dari ukuran pohonnya lebih tinggi dari arabika.
Bahkan, bisa tumbuh hingga lima meter.
Produktifitasnya pun bisa dibilang cukup tinggi.
Dalam satu hektare, bisa menghasilkan 3 ton lebih.
Selain beraroma buah nangka, si biji hitam ini juga memiliki kadar kafein rendah, sehingga nyaman di perut.
Rasanya juga tidak terlalu pekat dengan kadar keasamannya seimbang.
“Ada empat varian kopi, yakni arabica, robusta, liberika, dan ekselsa. Alhamdulillah, di Tangse ada 3 jenis kopi yang tumbuh, yaitu arabica, robusta, dan liberika,” kata Edi Tangse.
Edi mengaku, profesi pemberdayaan bibit liberika itu kembali ditekuninya sejak tahun 2006 silam.
Salah satu alasannya, karena prihatin dengan banyaknya tanaman kopi liberika yang ditebang pemiliknya sejak tahun 1997.
• Secangkir Kopi Aren di Bukit Cinta
• Jeddah Minati Kopi Arabika Aceh
Selain sulit memanen karena pohohnya sudah besar dan tinggi, petani mulai menggantikannya dengan tanaman kakao.
Ini disebabkan harga kakao di pasaran saat itu kian menggiurkan.
“Padahal, daerah ketinggian 900 hingga 1.000 mdpl seperti Tangse tidak cocok dengan tanaman kakao,” kata Edi Tangse.
“Buktinya, setelah buahnya dipanen dua atau tiga kali, pohon dan buahnya rentan diserang hama. Sejak dulu, Tangse sudah dikenal sebagai sentral penghasil kopi selain Daratan Tinggi Gayo,” tambahnya.
Atas dasar itulah, pria yang pernah menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi di Jogjakarta ini konsen mempromosikan si biji hitam khas Tangse tersebut.
Melihat produktifitas dan harga liberika yang baik, tambah Edi, para petani kembali bergairah.
Di cafe H2E yang letaknya persis di pinggir jalan Tangse-Meulaboh ini, Edi mulai mempromosikan kopi Tangse ke seantero Nusantara.
“Warga yang ngopi kemari umumnya menyukai espresso madu, baik espresso arabika atau liberika madu. Madunya pun berasal dari hutan Tangse yang kita beli dari warga,” pungkasnya.(*)