Jurnalisme Warga
Uniknya Adat Walimah di Aceh Tamiang
Bicara adat tentu tak lepas dari dinamika perpaduan adat yang terkadang variatif, meski di wilayah yang sama

OLEH M. ANZAIKHAN, S.Fil.I., M.Ag., Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry dan Founder Komunitas Menulis Pematik, melaporkan dari Aceh Tamiang
KALI ini saya bercerita tentang keunikan adat pernikahan di tempat kelahiran saya, Aceh Tamiang. Bicara adat tentu tak lepas dari dinamika perpaduan adat yang terkadang variatif, meski di wilayah yang sama. Setidaknya, apa yang saya eksplorasi merupakan model adat pernikahan di Tamiang yang paling sering saya temui, baik secara langsung maupun sekadar mengamati.
Sebelum masuk pada tahapan pernikahan, pihak lelaki biasanya memberi tanda atau yang sering dikenal dengan tunangan. Meskipun di daerah Aceh pada umumnya tunangan begitu meriah, bahkan membawa talam dan perangkat kampung, di Aceh Tamiang sedikit lebih sederhana. Pihak lelaki cukup membawa orang tuanya dengan buah tangan seadanya. Bisa berbentuk gula atau buah-buahan. Itu dilakukan agar tidak memberatkan pihak pelamar.
Begitu juga soal mahar, adat Aceh Tamiang tidak terlalu mematok begitu tinggi. Cukup seadanya, walau hanya satu atau dua mayam emas (satu mayam = 3,3 gram). Bahkan ada juga segelintir oknum di Aceh Tamiang yang menjadikan seperangkat alat shalat sebagai mahar. Ini senada dengan hadis nabi yang artinya, “Sesungguhnya perkawinan yang besar berkahnya adalah yang paling mudah maharnya,” (HR. Imam Ahmad).
Terkait isi rumah yang diminta oleh pihak calon pengantin perempuan, biasanya sesuai kesepakatan. Bisa berbentuk barang seperti kasur, lemari, kulkas, atau perlengkapan utama rumah tangga. Selain barang di atas, ada juga yang meminta dalam bentuk uang. Itu pun nantinya akan dibelikan perlengkapan yang serupa. Intinya, semua itu dilakukan untuk kebutuhan berumah tangga kelak. Baik itu bila sudah memiliki rumah sendiri atau pun saat tinggal di rumah kontrakan.
Selain itu, biasanya juga ada ‘uang hangus’ yang diminta oleh pihak perempuan. Meskipun namanya uang hangus, tapi pada praktiknya ini digunakan pihak keluarga perempuan untuk membiayai segala keperluan resepsi (pesta) pernikahan. Maka, tidak heran jika 'uang hangus' ini biasanya diminta lebih awal. Sebab, budaya pernikahan di Aceh Tamiang, antara akad nikah dan walimah sering kali dilakukan pada hari yang sama.
Selanjutnya, menjelang hari H yang telah disepakati, keluarga perempuan akan menggelar rapat panitia bersama warga kampung. Semua perwakilan komponen masyarakat ikut berpartisipasi. Pada kesempatan ini akan dimusyawarahkan siapa saja yang bertugas memasak nasi, memasak rendang, mencuci piring, menyambut tamu, memasang teratak, dan sebagainya.
Pada bagian isi talam, biasanya berbentuk keranjang yang dikemas seperti parsel. Isi di dalam parsel tersebut bisa berupa perlengkapan sholat, kosmetik, buah, pakaian, sepatu, tas, kue kering, bolu, dan lain sebagainya sesuai kemampuan. Terkadang ada juga yang mengemas isi talam dengan kotak persegi berbungkus pelastik transparan. Mirip kotak akuarium dengan isi yang tak jauh berbeda dengan keranjang parsel sebelumnya.
Sesaat rombongan mempelai lelaki sampai di kediaman mempelai perempuan, biasanya akan disambut dengan pantun Melayu. Para perwakilan masing-masing akan saling berdendang dan membalas pantun dengan bahasa kedaerahan Aceh Tamiang.
Setelah itu, ada juga segelintir masyarakat yang menyisip acara tersebut dengan pencak silat yang menampilkan seni bela diri menggunakan tumbak lada selaku senjata tradisional Aceh Tamiang.
Seusai agenda tersebut, ada pula ritual tukar tepak sirih dan bale. Tepak sirih merupakan cawan yang berisikan sirih dengan dihiasi bunga pinang muda. Sedangkan bale merupakan iring-iringan yang berisi pulut kuning dengan tusukan bendera dan katung berisi telur rebus di atasnya. Bisa dibilang bale ini tergolong unik, terdiri atas 12 benderan dan 12 kantung telur dengan satu mahkota bunga besar di tengahnya. Kemewahan dan keindahan bale yang dibawa sering menjadi kebanggaan tersendiri bagi pencinta tradisi adat Tamiang.
Sebelum pengantin lelaki dipertemukan dengan pasangannya, dia akan melewati pintu rumah yang ditutup dengan kain batik. Jika ingin masuk, rombongan mempelai pria harus membukanya dengan kunci. Kuncinya adalah dengan memberikan sejumlah uang ke penjaga pintu seikhlas hati. Penjaga pintu biasanya perwakilan pihak perempuan. Setelah bersalaman, dapat kunci, barulah pintu dibuka. Di dalamnya sudah ada mempelai perempuan yang menunggu di pelaminan. Ritual ini bukan bermakna suap atau sogok, melainkan sebuah filosofi bahwa ketika sudah berkeluarga nantinya pihak lelaki selaku kepala keluarga diharapkan pulang ke rumah membawa nafkah.
Ketika mempelai lelaki sudah duduk bersama pasangannya, rombongan keluarga juga dipersilakan masuk. Agenda selanjutnya adalah 'makan berhadap' dan pasangan pengantin adalah sosok yang mencicipi menu terlebih dahulu. Keduanya saling menyuapi makanan dan bersulang minuman.
Pada hari itu, pengantin benar-benar dilayani bagaikan raja dan ratu. Mereka juga akan makan bersama dalam satu piring. Setelah acara formal selesai, maka rombongan utama mempelai lelaki akan dipersilakan makan dengan jamuan yang disediakan.
Selanjutnya, akan ada acara tepung tawar (peusijuek). Biasanya dimulai dari pihak terdekat hingga tetangga dan kerabat. Terakhir, mengakhiri ritual formal akan ada acara seserahan. Di sini biasanya akan ada balas pantun kembali yang inti dialognya adalah pihak keluarga lelaki merelakan anaknya tinggal di pihak perempuan dan pihak perempuan akan membalas pantun dengan makna bahwa menantunya akan disambut dan diterima dengan baik layaknya anak sendiri.