Jurnalisme Warga

Paya Nie, Legenda Tenggelamnya Putri Cantik

INDONESIA merupakan negara yang kaya akan berbagai ragam budaya, sesuai dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Paya Nie, Legenda Tenggelamnya Putri Cantik
CHAIRUL BARIAH, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Almuslim dan Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe) Chapter Bireuen, melaporkan dari Blang Mane, Bireuen

OLEH CHAIRUL BARIAH, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Almuslim  dan Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe) Chapter Bireuen, melaporkan dari Blang Mane, Bireuen

INDONESIA merupakan negara yang kaya akan berbagai ragam budaya, sesuai dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Di negeri ini setiap daerah memiliki cerita legenda tersendiri yang dikemas dalam berbagai versi. Ada yang diabadikan dalam satu prasasti, ada juga yang kemudian menjadi destinasi wisata menarik dan penambah pendapatan daerah setempat.

Ada beberapa cerita legenda yang dikenal di Aceh, seperti tapak raksasa Tuan Tapa di Tapaktuan, Aceh Selatan, sedangkan di Aceh Tengah ada legenda Putri Pukes, Atu Belah, Putri Ijo, dan Loyang Koro. Ternyata tak jauh dari tempat saya tinggal ada juga legenda, yakni legenda Paya Nie yang berada dalam wilayah Kecamatan Kuta Blang, Kabupaten Bireuen.

Cerita ini mungkin sudah tak asing di media sosial (medsos) dalam berbagai versi. Menurut saya, kisah ini menarik, maka saya sempatkan diri bersama Pak Win dari Pemkab Bireuen  menuju lokasi, untuk berwisata sekaligus ingin mendengar cerita langsung dari masyarakat setempat tentang legenda Paya Nie.

Sore itu matahari mulai kembali ke peraduannya dan embusan angin yang menyentuh pipi seakan menemani perjalanan kami ke Kecamatan Kuta Blang, tepatnya di Desa Gle Putoh. Kami berhenti di sebuah warung kopi sederhana. Menurut seorang warga, warkop ini milik Pak Munawar yang kini menjabat keuchik di desa ini.

Pertemuan kami tetap menerapkan secara ketat protokol kesehatan di tengah pandemi, mengingat pada saat itu ada beberapa orang keuchik yang sedang menikmati kopi dan penganan pesanan masing-masing di warkop tersebut. Pak Munawar mengawali cerita bahwa pada tahun 2019 destinasi wisata Paya Nie pernah viral di medsos karena banyak pengunjung yang datang dari berbagai daerah di Kabupaten Bireuen, bahkan ada juga yang datang dari luar Aceh.

Menurut lelaki paruh baya ini, Paya Nie dikelilingi oleh tujuh gampong, yaitu Gle Putoh, Blang Mee, Kulu Kuta, Buket Dalam, Tanjung Siron, Crueng Kumbang, dan Paloh Raya. Lokasi Paya Nie jika dilihat dari udara menyerupai burung elang dengan 44 sayap, masing-masing sayap luasnya ± 3 hektare. “Lokasi ini termasuk keramat,” sebagaimana ditambahkan Pak Muhammad  Ali, salah satu warga yang menetap di pinggir Paya Nie.

Menurutnya, Paya Nie ikut berperan membantu perjuangan rakyat Aceh pada masa konflik, sebab banyak pimpinan pejuang yang bersembunyi di sana. Namun, dari pesawat yang mengangkut bom dari udara lokasi ini tidak terlihat, sehingga selamatlah mereka.

Terkait legenda, Paya Nie konon bermula dari seorang perempuan tua yang salihah, memiliki tujuh anak. Perempuan itu bernama Cut Nie. Suaminya sudah lama meninggal. Dia tinggal di sebuah rumah yang dilengkapi dengan berbagai peralatan rumah tangga, berada di tengah pulau. Dia hidup dengan salah seorang putrinya bernama Putroe Nie, sedangkan anaknya yang lain sudah pergi merantau. Sebelum kelahiran putrinya, Cut Nie dulu pernah bernazar dia akan menjaga putri  kesayangannya yang cantik itu dengan baik hingga dia dewasa dan akan dinikahkan dengan seorang pria tampan dari pulau seberang.

Suatu hari, setelah menjemur padi di halaman rumahnya Cut Nie minta izin kepada Putroe Nie untuk pergi menyampaikan undangan kepada saudara-saudaranya dan mencari bahan yang diperlukan untuk persiapan pernikahan putrinya. Sebelum berangkat, dia berpesan agar sang putri tidak turun dari rumah walau untuk urusan apa pun, karena dia tak ingin anaknya tergoda oleh piasan dunia luar. Dia juga mengatakan, jika sang Putroe melanggar, maka musibah akan menimpa mereka.

Sang putri yang cantik jelita ini patuh pada ibunya dan duduk di tangga rumah sambil menjaga padi yang dijemur. Ketika menjelang sore ibunya tak jua kembali, hujan pun tampak hendak turun. Sang putri bungsu berniat untuk membantu mengumpulkan padi yang sudah dijemur agar tidak basah oleh hujan. Dia pun keluar rumah. Ketika dia menginjakkan kaki di tanah tiba-tiba tanah berubah menjadi lumpur, kemudian turun hujan deras, disertai petir, guntur membahana, dan air bah terjadi dengan sangat cepat. Dia tak mampu lagi bergerak karena lumpur seakan mengikat kakinya.

Akhirnya, Putroe Nie tenggelam tanpa jejak. Ketika Cut Nie kembali dia melihat anak dan rumahnya tak ada lagi, dia pun kemudian hilang tertelan rawa-rawa. 

Nah, cerita inilah yang menjadi dasar pemberian nama rawa-rawa yang dikelilingi tujuh gampong itu menjadi “Paya Nie”.

Awalnya,  kawasan Paya Nie adalah padang kering dan luas. Tapi, setelah peristiwa di atas, Paya Nie menjadi bendungan sebagai sumber air untuk mengaliri sawah di sekitarnya.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Medium

    Large

    Larger

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved