UU Ciptaker

Ini Empat Pasal di UU Cipta Kerja yang Berpotensi Sengsarakan Buruh

Lembaga riset IDEAS menyoroti beberapa pasal di dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang berdampak kepada kesejahteraan buruh.

Editor: Taufik Hidayat
Serambinews.com
Aksi mahasiswa di Lhokseumawe, Kamis (8/10/2020). 

SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menyoroti beberapa pasal di dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang berdampak kepada kesejahteraan buruh.

Dari sekian banyak dampak yang mungkin terjadi, IDEAS memilih beberapa pasal khusus yang sesuai dengan ketersediaan data.

Pertama, jam lembur. UU Cipta kerja memperpanjang waktu kerja lembur. Pada UU sebelumnya (UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan), Pasal 78 ayat (1) butir b menyebutkan bahwa waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam 1 minggu.

“Undang-undang Ciptaker ini mengubah ketentuan lembur menjadi paling lama 4 jam dalam 1 hari dan 18 jam dalam 1 minggu,” ucap Askar Muhammad, Peneliti IDEAS dalam konferensi pers di Jakarta pada Kamis.

Berdasarkan data IDEAS pada 2019, kata Askar, terdapat 39,1 juta pekerja Indonesia yang bekerja 41-54 jam per pekan dan 21,1 juta pekerja Indonesia yang bekerja di atas 54 jam per pekan.

Jika jam kerja ditingkatkan, kata Askar, maka waktu luang berkurang yang berpotensi memperburuk kondisi keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi atau 'work life balance' para pekerja.

Padahal, kata Askar, "work life balance' merupakan salah satu indikator dalam kerja layak.

Kedua, sistem kontrak. Menurut Askar, UU Ciptaker menghapus ketentuan mengenai batasan perpanjangan kontrak.

Di undang-undang sebelumnya disebutkan bahwa perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.

“Dihapusnya ketentuan ini berpotensi melahirkan pekerja kontrak ‘seumur hidup’. Hal ini memberikan ketidakpastian bagi para pekerja,” kata Askar.

IDEAS menemukan pekerja tidak tetap memiliki rata-rata upah yang lebih rendah dibandingkan pekerja tetap.

Di pulau Jawa, 62 persen pekerja tetap memiliki upah di atas UMK. Sementara, hanya 24,6 persen pekerja tidak tetap yang memiliki upah di atas UMK.

Puluhan Mahasiswa Unsam Langsa Memilih Bermalam di Gedung DPRK, Tuntutan Belum Dipenuhi

VIDEO Mahasiswa dan Buruh di Nagan Raya Bakar Pocong Yang Ditempel Gambar Puan Maharani

Ketua DPRK dan Enam Anggota Dewan Nagan Raya Teken Petisi Tolak UU Cipta Kerja

VIDEO Aksi Mahasiswa di Lhokseumawe Menolak UU Cipta Kerja Omnibus Law

Ketiga, sistem pengupahan. Askar mengatakan pada undang-undang sebelumnya hanya disebutkan setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan layak bagi kemanusiaan.

“Namun, UU Ciptaker memberikan ketentuan tambahan terkait sisten penentuan upah,” tutur Askar.

Dia menyebutkan di dalam Pasal 88B upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan satuan hasil yang dibiarkan mengambang dan diserahkan sepenuhnya pada peraturan pemerintah.

Perubahan sistem pengupahan ini, kata dia, ternyata memiliki dampak signifikan terhadap besaran upah yang akan diterima para pekerja.

IDEAS menemukan fakta semakin sering upah diberikan, maka semakin kecil upah yang diterima. Dari 37,4 juta pekerja yang diupah dengan sistem upah bulanan, 23,3 juta atau 63 persen di antaranya memiliki upah di atas UMP.

Selanjutnya, tukas Askar, dari 9,6 juta pekerja yang diupah secara mingguan, 3,1 juta atau 33 persen di antaranya memiliki upah di atas UMP.

Selanjutnya, dari 10,5 juta pekerja yang diupah secara harian, 1,7 juta atau 16,2 persen di antaranya memiliki upah di atas UMP.

Lebih lanjut, kata Askar, dari 2,3 juta pekerja yang diupah secara borongan, 500 ribu atau 21,7 persen di antara memiliki upah di atas UMP.

Terakhir, dari 3,9 juta pekerja yang diupah per satuan hasil, hanya 500 ribu atau 12,8 persen dari mereka yang memiliki upah di atas UMP.

“Sekali lagi, dapat dilihat sebuah pola bahwa upah yang ditetapkan dengan satuan waktu dan/atau satuan hasil memberikan tingkat upah yang lebih rendah. Fakta tersebut semestinya dijadikan pertimbangan pada penyusunan peraturan pemerintah nanti,” ungkap Askar.

Keempat, upah minimum. Askar mengatakan berbeda dengan undang-undang sebelumnya yang diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak, UU Ciptaker menyatakan upah minimum ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. 

IDEAS memandang upah minimum harus tetap didasarkan pada pencapaian hidup layak.

Meskipun pada draf final UU Ciptaker ini, UMK memiliki potensi untuk tetap eksis. Ketentuan mengenai bagaimana penentuan dan rumusnya juga masih dibiarkan mengambang untuk ditentukan nanti pada peraturan pemerintah.

“Pada penentuan UMK nanti, pemerintah sebaiknya mengambil langkah serupa, yaitu menyeimbangkan antara kondisi perekonomian dan pencapaian hidup layak,” tutup Askar.(AnadoluAgency)

Berusaha Mengelabui Petugas, Kapal Ikan Vietnam di Natuna Utara Kembali Ditangkap

Gadis 16 Tahun Hamil karena Diperkosa, Dibunuh dan Dimutilasi Oleh Ayah dan Kakaknya Demi Kehormatan

Meski Bukan Pelaku Utama, Terdakwa Kasus Perdagangan Satwa Dilindungi Dituntut Penjara 10 Bulan

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved