Jurnalisme Warga
Jomlo dan Sekelumit Wacana “Kapan Nikah?”
Di antara beragam jenis perundungan sosial yang terjadi di muka bumi ini, kelompok jomlo bisa jadi termasuk golongan masyarakat yang cukup

OLEH AYU ‘ULYA, Tim Research and Development (R&D) The Leader dan Anggota FAMe Banda Aceh, melaporkan dari Banda Aceh
Di antara beragam jenis perundungan sosial yang terjadi di muka bumi ini, kelompok jomlo bisa jadi termasuk golongan masyarakat yang cukup rentan tersakiti. Coba bayangkan, hanya dengan menuturkan satu kata, “Kapan?”, seketika mereka bisa jadi minder, merasa bersalah, hingga uring-uringan. Entah mengapa, masyarakat kita begitu gemar menganjurkan anak muda untuk segera menikah. Terlepas mereka paham ataupun tidak arti dari pernikahan itu sendiri.
Mirisnya lagi, ternyata tidak sedikit anak muda yang pada akhirnya terjerumus dalam “kampanye hitam” tersebut. Masyarakat muda yang memilih menikah tanpa “punya modal” untuk membangun keluarga. Mereka yang memutuskan berkeluarga hanya karena gengsi ataupun khawatir dianggap “tidak laku”. Mereka yang semata-mata menikah sebab lelah terus-menerus ditanyai tetangga dan sanak saudara, “Kapan kamu akan menikah?”
Penting untuk kita sadari bersama bahwa tanpa persiapan matang, pernikahan yang kerap diiming-imingkan sebagai amalan sunah itu dapat menjelma menjadi amalan makruh bahkan haram. Terutama jika pernikahan itu menjadi wadah untuk melanggengkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Menurut data Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), setidaknya tercatat 541 kasus kekerasan terhadap perempuan di Aceh. Lebih dari setengahnya merupakan kasus KDRT, selebihnya berupa kasus kekerasan psikis, kekerasan fisik, dan penelataran. Bukan hanya itu, sedikitnya 661 kasus kekerasan terhadap anak juga meningkat— terdiri atas kekerasan seksual, psikis, dan fisik—sepanjang tahun 2019.
Selain itu, setidaknya terdapat 5.665 kasus cerai talak yang diputuskan oleh mahkamah syar’iyah seluruh Aceh sejak tahun 2016-2019. Dengan kata lain, setiap hari terdapat sekitar empat kasus cerai talak di Aceh. Data Mahkamah Syar’iyah Aceh juga menyebutkan bahwa rerata setiap 2,5 jam sekali terdapat satu kasus gugat cerai di Aceh.
Maka tak heran jika para jomlo makin kebingungan menjawab tantangan sosial dari warga sekitar yang memintanya agar segera menikah ketika mereka justru dihadapkan pada fakta-fakta di atas. Namun, seperti janji Allah di dalam Surah Al-Insyirah, bukankah bersama kesulitan, ada kemudahan?
Kelas Online
Sebagai bagian dari kelompok jojoba (jomlo-jomlo bahagia) yang memimpikan pernikahan yang sehat serta ketahanan keluarga, tentu saja fenomena kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta perceraian dini di Aceh menjadi momok tersendiri. Namun, layaknya problematika sosial pada umumnya, saya percaya bahwa setiap masalah pasti ada solusinya.
Beruntung, saya mendapatkan kesempatan untuk mengikuti serangkaian seri Master Class dengan tema “Keluarga dan Relasi Kuasa di Aceh” yang digelar ICAIOS, sebuah pusat studi antaruniversitas di Aceh, baru-baru ini. Keseluruhan sesi kelas daring tersebut dilakukan sepuluh kali, terhitung sejak 1-13 Oktober 2020.
Seri webinar ini merupakan bagian dari gerakan kampanye—di samping penulisan buku, penyebaran infografis, dan pembuatan film—terkait “Pentingnya Keluarga yang Aman Tanpa Kekerasan” yang dilakukan ICAIOS bersama beberapa mitra. Kelas tersebut menghadirkan 12 cendekiawan yang mengkaji isu keluarga melalui ragam pendekatan; dari ushul fiqh, antropologi budaya, sosiologi, administrasi publik, hukum, psikologi, statistik, hingga sosiogender. Adapun pemateri yang mengisi sesi kelas online tersebut terdiri atas Prof Eka Srimulyani, Prof Al Yasa’ Abubakar, Prof Syahrizal Abbas, Dr Saleh Sjafei, Dr Agustin Hanafi, Dr Sehat Ihsan Shadiqin, Dr Ali Abubakar, Saiful Mahdi PhD, Reza Idria PhD, Rawdhah binti Yasa, Dian Rubianty, dan Muhajir Al Fairusy.
Awalnya saya sempat ragu mengikuti kelas tersebut. Saya sadar bahwa sesi kelas yang cukup panjang itu kemungkinan mengangkat isu-isu sensitif keluarga yang amat dekat dengan kehidupan. Saya jadi khawatir akan kecewa jika pembahasan yang dihadirkan nantinya hanya semata-mata teori yang tidak membumi. Saya gusar kalau-kalau para pembicara hanya menyampaikan materi yang tak serupa laku atau sekadar omong kosong. Saya juga sempat skeptis akan sesi kelas daring yang berkemungkinan tidak memberikan aksi dalam mengikis potret pahit kehidupan keluarga Aceh di masa kini.
Walau sebagian kecil kekhawatiran saya menjadi nyata, tapi secara keseluruhan saya justru mendapatkan kelas dengan sesi-sesi diskusi mencerahkan. Banyak sekali perspektif baru terkait pernikahan dan ketahanan keluarga yang saya dapatkan selama program Master Class ICAIOS ini.
Sesederhana memperoleh kejelasan makna pernikahan yang kerap dipopulerkan secara keliru di kalangan masyarakat Aceh, seakan prosesi pernikahan adalah akhir dari sebuah perjuangan. Hal tersebut tercermin jelas dari kata-kata yang kerap diucapkan masyarakat pascaakad, “Alhamdulillah, akhirnya sah.” Bukankah kalimat yang lebih cocok justru, “Alhamdulillah, awal yang sah”?
Prof Al Yasa’ Abubakar, dalam salah satu sesi Master Class, mendefinisikan makna mendasar dari sebuah pernikahan. Dia jelaskan, “Pernikahan adalah perjuangan. Bahkan lebih jauh, pernikahan adalah pengorbanan. Landasan yang membuatnya bertahan adalah kesetiaan.”