Kupi Beungoh
Pandemi, Ekonomi Digital, dan Gampong Meukat Dotcom (Bagian I)
Kecanggihan pengembangan prinsip algoritma yang kita kenal dengan dunia digital, kini telah membuat ekonomi bawah permukaan berkembang dengan cepat.
Oleh Ahmad Humam Hamid*)
APAKAH pandemi yang telah meluluhlantakkan berbagai sektor kehidupan di banyak negara telah membuat kegiatan ekonomi mati kutu?.
Laporan sepintas dari negara maju dan negara berkembang menunjukkan keterpurukan pertumbuhan ekonomi dengan angka kontraksi yang parah.
Kesan itu memang tidak salah, karena dari semua negara di seluruh permukaan bumi, hanya Cina yang telah menunjukkan pertumbuhan positif 4,9 persen pada kuartal ketiga, dan diprediksi akan mengalami pertumbuhan ekonomi tahun 2020 sekitar 2 persen.
Sebaliknya diramalkan, semua negara lain akan mengalami pertumbuhan negatif, dengan harapan tahun 2021, pertumbuhan akan kembali bergerak, sekalipun tidak akan persis sama dengan angka yang diperoleh selama pra pandemi Covid-19.
Dalam kenyataannya, penularan “virus ekonomi” juga mengikuti gerakan virus Covid-19, ketika satu negara terkena, dimulai dengan Cina, dan negara Asia Timur, Eropah, dan kemudin AS, terjadi disrupsi produksi, konsumsi, ekspor, impor, dan kemudian menjalar dengan cepat ke tempat lain.
Intinya, proses globalisasi ekonomi global, mempercepat globalisasi pandemi, dan pada gilirannya kembali mempercepat dan memperdalam globalisasi “virus ekonomi” ke semua belahan bumi.
Inilah salah satu kerangka yang membuat kontraksi ekonomi negara maju, negara berkembang, dan juga negara miskin, dapat diterangkan dan dimengerti dengan mudah oleh penalaran awam tentang bagaimana Covid-19 telah menciptakan bencana ekonomi bagi ummat manusia.
Ada sebuah pertanyaan besar, apakah ketika transportasi nyaris berhenti total, kantor pemerintah dan swasta ditutup, sebagian besar pekerjaan, terutama pekerjaan kognitif-otak dan pengetahuan dikerjakan di rumah, lalu kegiatan ekonomi berhenti?
Memang benar secara umum berhenti, karena banyak pabrik dan kegiatan industri berhenti, pengangguran meningkat pesat, pasar sepi, ekonomi lesu, dan pengamatan di permukaan, kegiatan ekonomi praktis berhenti.
Apa yang terjadi di permukaan, sesungguhnya tidak persis sama dengan yang terjadi di bawah permukaan.
Ibarat air yang mengalir ke mana-mana, di bawah permukaan kinerja ekonomi rupanya terus berjalan, mencari berbagai format yang tak tampak menurut pengamatan biasa.
Kecanggihan pengembangan prinsip algoritma yang kita kenal dengan dunia digital, kini telah membuat ekonomi bawah permukaan berkembang dengan cepat.
Baca juga: Wali Kota di Meksiko Nyamar Jadi Penyandang Disabilitas, Demi untuk Membuktikan Kinerja Bawahannya
Baca juga: Tokoh Media Muslim, Amani Al-Khatahtbeh Ribut dengan Pria Kulit Putih, Ditangkap di Bandara Newark
Pengunaan Internet Tumbuh Cepat
Sebuah kajian terakhir yang dibuat oleh salah satu BUMN Singapore terbesar di dunia, Temasek, bekerjasama dengan Google, dan perusahaan konsultan Bain&Company (2020) melaporkan ekonomi digital ASEAN, dalam masa sulit ini tumbuh 5 persen, dan diperkirakan pada akhir tahun 2020 akan mencapai 105 miliar dolar.
Laporan tahun 2020 itu juga mengaitkan pertumbuhan ekonomi digital dengan kenaikan angka pengguna internet di seluruh ASEAN yang telah mencapai 400 juta, atau sekitar 70 persen dari jumlah total penduduk 8 negara Asia Tenggara itu.
Pandemi telah mempercepat penduduk negara-negara ASEAN menggunakan internet, terutama Indonesia dan Vietnam.
Angka pertumbuhan dua digit dicapai oleh Indonesia, 16 persen, sementara Vietnam, 11 persen.
Negara-negara lain umumnya berada pada pertumbuhan satu digit antara 6-7 persen, yakni Malaysia, Flipina, dan Thailand.
Uniknya satu di antara 3 pendaftar pemakaian internet ASEAN merupakan pamakai perdana.
Manfaat dari pemakaian internet dirasakan di bidang pendidikan 55 persen, penjualan retail bahan makanan 47 persen, dan jasa pinjaman 44 persen.
Di Indonesia, pandemi telah mempercepat penetrasi internet.
Survei yang dilakukan APJII, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (2020) yang dipublikasikan pada minggu awal November lalu menemukan hampir sepertiga penduduk Indonesia- 73,7 persen, atau 196,71 juta orang telah menjadi pemakai digital.
Angka ini naik dari hanya 64,8 pada tahun 2019, dengan jumlah pengguna baru sekitar 25,54 juta penduduk.
Sekalipun APJII berkesimpulan infrastruktur baru Palapa Ring dan pandemi, sebagai faktor yang mempercepat adopsi penggunaan digital, namun tak dapat dibantah, pandemi Covid-19 lah yang menjadi penyebab utama kenaikan jumlah pengguna baru itu.
Sekalipun angka pertumbuhan ekonomi digital ASEAN pada tahun 2020 adalah 5 persen, laporan Temasek, Google, dan Bain menyebutkan ekonomi digital Indonesia tumbuh lebih tinggi dari rata-rata ASEAN, yakni 11 persen.
Menariknya dari jumlah total 105 miliar ekonomi digital ASEAN, sekitar 1.481 triliun rupiah, Indonesia adalah kontributor terbesar dengan jumlah sekitar 41,9 persen, yakni 44 miliar dolar, atau setara dengan Rp 621,15 triliun.
Laporan itu juga memproyeksikan pada tahun 2025, pertumbuhan ekonomi digital ASEAN akan mencapai 24 persen, di mana Indonesia akan tumbuh sekitar 23 persen.
Sebenarnya kecepatan pertumbuhan ekonomi digital ASEAN tidaklah terlalu mengherankan, bila diketahui ada keterlibatan raksasa digital ekonomi Cina yang menjadi akselerator pertumbuhan.
Jaringan e-comerce Alibaba dan Tencen dengan penetrasinya di berbagai unicorn regional ASEAN telah menjadi natalis pertumbuhan itu.
Diperkirakan dari 11 perusahaan besar e-comerce ASEAN, 10 diantaranya mendapat sokongan besar dari investor Cina.
Mengambil contoh sederhana saja, jaringan e-comerce Alibaba kini mempunyai saham di sejumlah e-commerce, jasa pengiriman, jasa investasi dan jasa pembayaran Indonesia.
Perusahaan ini memiliki saham di 14 triliun rupiah di Tokopedia, saham mayoritas di Lazada, dan juga ikut berinvestasi di True Money, HelloPay, dan perusahaan logistik J&T. Express.
Pengalaman hebat pembangunan ekonomi digital oleh raksasa e-commerce global sekelas Alibaba dan Tencen di Cina yang telah mengubah landskap ekonomi Cina, kini sedang dicangkokkan kepada ekonomi digital ASEAN.
Mereka tidak hanya mengirim teknisi dan berbagai aplikasi yang disesuaikan, tetapi juga mengirimkan CEOnya untuk membimbing perusahaan regional ASEAN.
Baca juga: Aduh, Kasus Positif Covid-19 di Langsa Kembali Naik, Kini Jumlahnya Menjadi 23 Orang
Baca juga: Pakistan Klaim Memiliki Bukti Serangan Teroris Disponsori India
Lompatan Katak Ekonomi Digital, Kampung Taobao, dan Kita
Rute jalan kesuksesan Cina dalam hal ekonomi digital sepertinya akan terjadi dan direplikasi lagi di ASEAN, dan bukan tidak mungkin akan terjadi percepatan, leapfrog- “lompatan katak” ekonomi digital di kawasan ini.
Kalau dikaitkan dengan posisi Indonesia sebagai pengguna digital terbesar dan kontributor terbesar pertumbuhan ekonomi digital ASEAN, maka hampir dapat dipastikan pula Indonesia akan berada di barisan depan momen leap frog ekonomi digital, dan berpeluang menjadi lebih hebat dari capaian negara-negara lain yang pernah tumbuh hebat sebelumnya.
Banyak pengamat yang menyebutkan bahwa kondisi e-commerce Indonesia hari ini mempunyai banyak kemiripan dengan apa yang terjadi ke e-commerce mulai di Cina.
Bedanya hanya mungkin karena Cina memiliki pebisnis sekelas Jack Ma, mantan CEO Yahoo yang tulang ke Cina membangun Alibaba yang dalam beberapa tahun telah menjadi raksasa global, bahkan bersaing ketat dengan Amazonnya AS.
Bagimanapun, walaupun tidak sekelas Alibaba, kehadiran Tokopedia, Bukalapak, Lazada, yang walaupun tidak sepenuhnya dimiliki oleh warga Indonesia, namun telah menjadi penghela besar terhadap pesaran online industri dalam negeri, baik yang berskala besar, maupun yang kecil seperti UMKM.
Dalam konteks ekonomi digital ke depan, tantangan terbesar Indonesia adalah bagaimana mengupayakan sebanyak mungkin UMKM di berbagai provinsi di Indonesia, masuk dan berselancar dalam arus besar e-commerce nasional dan ASEAN sehingga akan memberi dampak yang besar dan akan terus berkembang dengan sangat cepat.
Jumlah UMKM Indonesia yang berada saat ini diperkirakan kurang lebih 60 juta unit, yang jika sepersepuluhnya saja terhela ke dalam arus e-comerce, akan memberikan dampak besar terhadap peningkatan produk domestik bruto nasional.
Selanjutnya kekuatan itu juga akan menjadi mesin penggerus kemiskinan yang sangat efektif.(Bersambung)
*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.