Breaking News

Kupi Beungoh

Prestasi Aceh di MTQ Padang, Gejala atau Penyakit? (Bagian I)

Publik Aceh tentu saja lebih sehat ketika mendengar kafilah Aceh hanya masuk satu orang saja ke final MTQ Padang.

Editor: Zaenal
KOLASE SERAMBINEWS.COM
Ahmad Humam Hamid, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala. 

Ketika itu terjadi maka soal membaca Alquran sudah tidak lagi hanya masalah yang sakral secara agama semata, tetapi sudah jauh merasuk ke wiayah tradisi dan budaya keseharian.

Soal MTQ Padang kemudian bagi masyarakat Aceh menjadi apa yang terjadi, dan apa yang seharusnya terjadi.

Soal kejuaraan membaca Alquran telah merasuk jauh kedalam sanubari budaya, bahkan orang Aceh yang tidak sembahyang, tidak puasa, penjudi, bahkan mungkin penzina sekalipun akan sangat tersinggung ketika berita itu tersebar dalam masyarakat.

Prestasi kejuaraan membaca Alquran, dalam perlombaan nasional sesungguhnya adalah arena memperlihatkan kelebihan Aceh, sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang kehidupan beragamanya mendapat formalisasi secara hukum, dan diakui dalam undang-undang.

Tidak ada provinsi lain di Indonesia yang mempunyai sejumlah kekhususan dalam kehidupan beragama.

Tidak ada provinsi lain yang videonya beredar ke seluruh muka bumi tentang “demonstrasi” hukum di depan publik terhadap mereka yang terlibat khamar, khalwat, dan maisir.

Tidak ada provinsi lain yang mempunyai Perda- Aceh qanun tentang Jinayat.

Barangkali tidak ada ketentuan hukum apapun di Indonesia yang mempunyai 75 pasal yang dominasi kosa kata Arab  begitu banyak seperti, ‘uqubat, hudut, ta’zir, ikhtilath, jarimah,qadzaf, liwath, dan musahaqah.’

Itu semua ada di Provinsi Aceh, provinsi yang mempunyai  desentralisasi asymetris dalam tataran kewenangan tertentu, yang salah satunya adalah agama, dalam konteks hubungan  antara pusat dan daerah.

Tidak cukup dengan itu, Aceh juga punya dua lembaga, bahkan tiga lembaga yang mendapat tugas khusus dengan dana yang berlimpah untuk méngurus kehidupan, ketaatan, dan kalau perlu “kekhususan” orang Aceh mempraktekkan kehidupan beragamanya.

Ada Dinas Syariat Islam, ada Badan Dayah, ada, pula Satpol PP yang di Acehkan dengan nama Wilayatul Hisbah.

Lembaga yang terakhir ini adalah lembaga khusus yang mengurus ketertiban umum kota, kabupaten, dan propinsi, terrmasuk memastikan semua pemegang KTP Aceh “taat” beragama.

Kalaulah ukuran “keislaman” yang digunakan untuk berbagai provinsi Indonesia, hampir semua eks provinsi pemberontak di Indonesia yang berbasis Islam mempunyai kelebihan tersendiri, kecuali Aceh yang hanya mengirimkan 1 peserta ke final.

Hal ini terlihat dengan jumlah peserta yang masuk final dari provinsi eks pemberontak, Sumbar 23, Jabar 15, Sulsel 4.

Kalau ukurannya provinsi dengan jumlah pesantren perkapitanya terbanyak, maka Aceh, Jawa Timur, dan NTB adalah teratas.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved