Kupi Beungoh
Prestasi Aceh di MTQ Padang, Gejala atau Penyakit? (Bagian I)
Publik Aceh tentu saja lebih sehat ketika mendengar kafilah Aceh hanya masuk satu orang saja ke final MTQ Padang.
Pertanyaannya kenapa hanya Jawa Timur dan NTB saja yang mempunyai jumlah peserta ke babak final yang jauh lebih banyak, kenapa Aceh tidak. Mungkin saja jawabannya itu adalah kebetulan, apakah mungkin kebetulan itu terjadi untuk 22 dari 23 kategori?
Baca juga: Satu Per Satu Sahabatnya Meninggal Dunia, Dr Mahathir Mohamad: Saya Sedih, Saya Kesunyian
Kalau ukurannya adalah asosiasi antara keislaman dan kemelayuan-suku Melayu, apa yang kurang dengan Aceh?
Sementara semua provinsi yang mempunyai “benang merah” kemelayuan juga mengirim banyak perserta ke babak final seperti Riau, Kepulauan Riau, dan Bangka Belitung.
Indikator apapun yang digunakan, tetap memberikan teka-teki besar apa yang salah dengan Aceh?
Dan, hari ini provinsi yang “way of life” masyarakatnya dinyatakan sepenuhnya berasas kepada “Dienul Islam” mendapat posisi corot dalam gelanggang MTQ Nasional?
Kalaulah benar “Dienul Islam” sebagai pandangan hidup mayarakat Aceh ditambah dengan legislasi ekstra kewenangan syariah, tambahan dua lembaga penguatan dan pemantapan Dienul Islam, ditambah lagi dengan lembaga Wilayatul Hisbah sebagai lembaga law enforcement kehidupan syari’yah masyarakat, bagaimana mungkin Aceh mempunyai prestasi yang begitu tragis?
Siapapun orang luar, yang tahu Aceh baik dari bacaan, cerita, dan tontonan, satu hal yang pasti mereka sepakati, yakni Aceh sangat islami.
Diyakini prinsip dan praktek kehidupan beragama, dalam hal ini agama Islam adalah darah daging Aceh.
Karenanya ketika ada MTQ nasional seperti yang kejadian di Padang beberapa hari yang lalu, mereka tidak akan heran kalau Aceh memperoleh juara pertama, atau paling kurang masuk tiga besar.
Ketika Aceh lima besar, apalagi sepuluh besar saja akan jadi pertanyaan besar.
Tetapi ketika Aceh terlempar jauh ke bawah, timbul sebuah pertanyaan besar? Kenapa Aceh? Ada apa dengan Aceh?
Bagimana mungkin Aceh yang membelanjakan uang begitu banyak untuk kehidupan beragama tak ada apa-apanya dalam MTQ nasional?
Baca juga: Luthfia Wahyu Marnisa, Qariah Pertama Asal Simeulue yang Lolos ke MTQ Nasional
Bagamana mungkin provinsi yang mempunyai lembaga tahfiz Quran yang begitu banyak, berprestasi seperti itu?
Bagaimana mungkin Aceh yang begitu banyak bupati dan walikotanya menganjurkan anak-anak untuk membaca Alquran satu hari, satu ayat justeru tidak ada apanya ketika dipertandingkan?.
Aceh bahkan kalah telak dari DKI yang kehidupan keseharian masyarakatnya berdampingan antara “keta’atan” ummat dan “kemaksiatan” orang lain.