Kupi Beungoh
Prestasi Aceh di MTQ Padang, Gejala atau Penyakit? (Bagian I)
Publik Aceh tentu saja lebih sehat ketika mendengar kafilah Aceh hanya masuk satu orang saja ke final MTQ Padang.
Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
LAYAKKAH pertandingan bola kaki diperbandingkan dengan kejuaraan membaca kitab suci Alquran?
Jawabannya tentu saja tidak, karena yang pertama adalah pertandingan bola, hasil kreativitas manusia.
Sementara kejuaraan membaca kitab suci Alquran adalah sebuah kegiatan membaca “indah” dan “benar” firman Ilahi yang menjadi panduan kehidupan ummat.
Bolakaki adalah permainan, sementara Alquran adalah keyakinan.
Bagaimana kalau kedua hal itu ditarik sebentar ke luar, dibawa ke dalam wilayah budaya masyarakat, apalagi kalau ada unsur prestise, kebanggaan, dan marwah yang melekat pada kehidupan umum.
Bayangkan saja kalau Brazil, Argentina, Uruguay, Jerman, atau Italia, jeblok prestasinya di piala dunia.
Mungkin saja kalah di final, kalah di semifinal, dan kadang kalah di prakuaifikasi.
Warga mereka akan marah, berdemo, sumpah serapah massal, merusak, bahkan ada warga yang bunuh diri.
Itu semua artinya, bola kaki telah menjadi bagian dari budaya dominan warga dan bahkan budaya negara.
Bola kaki telah dianggap sebagai marwah, sebagai prestise, dan bahkan sebagai taruhan untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa ada suatu kelebihan yang dimiliki yang membuat bangsa itu diperhitungkan, dan seluruh kebanggaan lain menjadi lengkap atau tidak lengkap hanya karena urusan bola kaki.
Publik Aceh tentu saja lebih sehat ketika mendengar kafilah Aceh hanya masuk satu orang saja ke final MTQ Padang.
Tak elok kalau masyarakat bersumpah serapah, berdemo untuk sebuah kekalahan, apalagi merusak barang-barang milik umum seperti layaknya fans bola di beberapa negara, termasuk di Eropah, yang timnya kalah.
Tetapi semua pihak di Aceh tahu, betapa pilu, dan sedihnya masyarakat Aceh ketika mendengar Aceh berada di ranking jauh di bawah.
Mereka juga sangat terpukul ketika tahu bahwa Aceh berada di bawah provinsi Papua.
Baca juga: MTQN Ke-28 di Padang, Ketika Cabang Khat Jadi Pelipur Lara Kafilah Aceh
Baca juga: Gejolak Batin Rahma, Putri Aceh yang Harus Melawan Kawan Sedaerah di MTQN Sumbar
Ketika itu terjadi maka soal membaca Alquran sudah tidak lagi hanya masalah yang sakral secara agama semata, tetapi sudah jauh merasuk ke wiayah tradisi dan budaya keseharian.
Soal MTQ Padang kemudian bagi masyarakat Aceh menjadi apa yang terjadi, dan apa yang seharusnya terjadi.
Soal kejuaraan membaca Alquran telah merasuk jauh kedalam sanubari budaya, bahkan orang Aceh yang tidak sembahyang, tidak puasa, penjudi, bahkan mungkin penzina sekalipun akan sangat tersinggung ketika berita itu tersebar dalam masyarakat.
Prestasi kejuaraan membaca Alquran, dalam perlombaan nasional sesungguhnya adalah arena memperlihatkan kelebihan Aceh, sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang kehidupan beragamanya mendapat formalisasi secara hukum, dan diakui dalam undang-undang.
Tidak ada provinsi lain di Indonesia yang mempunyai sejumlah kekhususan dalam kehidupan beragama.
Tidak ada provinsi lain yang videonya beredar ke seluruh muka bumi tentang “demonstrasi” hukum di depan publik terhadap mereka yang terlibat khamar, khalwat, dan maisir.
Tidak ada provinsi lain yang mempunyai Perda- Aceh qanun tentang Jinayat.
Barangkali tidak ada ketentuan hukum apapun di Indonesia yang mempunyai 75 pasal yang dominasi kosa kata Arab begitu banyak seperti, ‘uqubat, hudut, ta’zir, ikhtilath, jarimah,qadzaf, liwath, dan musahaqah.’
Itu semua ada di Provinsi Aceh, provinsi yang mempunyai desentralisasi asymetris dalam tataran kewenangan tertentu, yang salah satunya adalah agama, dalam konteks hubungan antara pusat dan daerah.
Tidak cukup dengan itu, Aceh juga punya dua lembaga, bahkan tiga lembaga yang mendapat tugas khusus dengan dana yang berlimpah untuk méngurus kehidupan, ketaatan, dan kalau perlu “kekhususan” orang Aceh mempraktekkan kehidupan beragamanya.
Ada Dinas Syariat Islam, ada Badan Dayah, ada, pula Satpol PP yang di Acehkan dengan nama Wilayatul Hisbah.
Lembaga yang terakhir ini adalah lembaga khusus yang mengurus ketertiban umum kota, kabupaten, dan propinsi, terrmasuk memastikan semua pemegang KTP Aceh “taat” beragama.
Kalaulah ukuran “keislaman” yang digunakan untuk berbagai provinsi Indonesia, hampir semua eks provinsi pemberontak di Indonesia yang berbasis Islam mempunyai kelebihan tersendiri, kecuali Aceh yang hanya mengirimkan 1 peserta ke final.
Hal ini terlihat dengan jumlah peserta yang masuk final dari provinsi eks pemberontak, Sumbar 23, Jabar 15, Sulsel 4.
Kalau ukurannya provinsi dengan jumlah pesantren perkapitanya terbanyak, maka Aceh, Jawa Timur, dan NTB adalah teratas.
Pertanyaannya kenapa hanya Jawa Timur dan NTB saja yang mempunyai jumlah peserta ke babak final yang jauh lebih banyak, kenapa Aceh tidak. Mungkin saja jawabannya itu adalah kebetulan, apakah mungkin kebetulan itu terjadi untuk 22 dari 23 kategori?
Baca juga: Satu Per Satu Sahabatnya Meninggal Dunia, Dr Mahathir Mohamad: Saya Sedih, Saya Kesunyian
Kalau ukurannya adalah asosiasi antara keislaman dan kemelayuan-suku Melayu, apa yang kurang dengan Aceh?
Sementara semua provinsi yang mempunyai “benang merah” kemelayuan juga mengirim banyak perserta ke babak final seperti Riau, Kepulauan Riau, dan Bangka Belitung.
Indikator apapun yang digunakan, tetap memberikan teka-teki besar apa yang salah dengan Aceh?
Dan, hari ini provinsi yang “way of life” masyarakatnya dinyatakan sepenuhnya berasas kepada “Dienul Islam” mendapat posisi corot dalam gelanggang MTQ Nasional?
Kalaulah benar “Dienul Islam” sebagai pandangan hidup mayarakat Aceh ditambah dengan legislasi ekstra kewenangan syariah, tambahan dua lembaga penguatan dan pemantapan Dienul Islam, ditambah lagi dengan lembaga Wilayatul Hisbah sebagai lembaga law enforcement kehidupan syari’yah masyarakat, bagaimana mungkin Aceh mempunyai prestasi yang begitu tragis?
Siapapun orang luar, yang tahu Aceh baik dari bacaan, cerita, dan tontonan, satu hal yang pasti mereka sepakati, yakni Aceh sangat islami.
Diyakini prinsip dan praktek kehidupan beragama, dalam hal ini agama Islam adalah darah daging Aceh.
Karenanya ketika ada MTQ nasional seperti yang kejadian di Padang beberapa hari yang lalu, mereka tidak akan heran kalau Aceh memperoleh juara pertama, atau paling kurang masuk tiga besar.
Ketika Aceh lima besar, apalagi sepuluh besar saja akan jadi pertanyaan besar.
Tetapi ketika Aceh terlempar jauh ke bawah, timbul sebuah pertanyaan besar? Kenapa Aceh? Ada apa dengan Aceh?
Bagimana mungkin Aceh yang membelanjakan uang begitu banyak untuk kehidupan beragama tak ada apa-apanya dalam MTQ nasional?
Baca juga: Luthfia Wahyu Marnisa, Qariah Pertama Asal Simeulue yang Lolos ke MTQ Nasional
Bagamana mungkin provinsi yang mempunyai lembaga tahfiz Quran yang begitu banyak, berprestasi seperti itu?
Bagaimana mungkin Aceh yang begitu banyak bupati dan walikotanya menganjurkan anak-anak untuk membaca Alquran satu hari, satu ayat justeru tidak ada apanya ketika dipertandingkan?.
Aceh bahkan kalah telak dari DKI yang kehidupan keseharian masyarakatnya berdampingan antara “keta’atan” ummat dan “kemaksiatan” orang lain.
Apa pesan penting dari MTQ nasional Padang untuk Aceh?
Itu pertanyaan yang diajukan oleh oleh salah seorang anggota group WA, dimana saya menjadi anggotanya.
Tidak ada diskusi WA yang berlanjut lebih dari 24 jam.
Tapi untuk MTQ ini, diskusi berlangsung sampai 28 jam.
Ealaupun sesekali terus dilanjutkan sampai dengan hari ini.
Saya hanya mengirimkan pesan dengan dua kata yang mungkin bisa menjelaskan tentang realitas MTQ itu, yakni gejala atau penyakit.
Tidak ada respons satupun dari anggota group WA tentang kedua kata itu, mungkin mereka menduga saya sedang mencoba mengajak anggota untuk pindah topik dari MTQ ke isu Covid-19.
Kenapa tidak? karena istilah gejala dan penyakit dalam pembicaraan akhir-akhir ini sangat terkait dengan pandemi itu.
Ketika terjadi sesuatu yang dianggap tidak biasa, dan bahkan sangat tidak biasa, tentu ada sesuatu yang salah.
Ketika tubuh demam atau batuk, pengetahuan umum publik menyatakan itu penyakit, kemungkinan besar influenza.
Kesan itu walaupun sesungguhnya menuruti dunia medis disebut sebagai gejala saja, tetapi kosakata publik menyatakan itu penyakit.
Akan tetapi ketika ada demam tinggi, batuk berdarah, agak sukar untuk menyebut itu sebagai penyakit, akan tetapi lebih sebagai gejala dari suatu penyakit yang kita belum tahu apa namanya.
Biarlah diagnosa dokter yang akan memutuskan apa nama penyakit itu. (Bersambung)
*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.