Konflik Nelayan

Konflik Antarnelayan di Simeulue, Dipicu Soal Penggunaan Kompressor di Kawasan Konservasi Perairan

Akibat konflik antarnelayan yang terjadi, pelaku pelanggaran dan pihak yang mengawasi, kini sama-sama terjerat hukum.

Penulis: Taufik Hidayat | Editor: Taufik Hidayat
Foto kiriman warga
Boat robin yang digunakan lima nelayan penyelam di Kabupaten Simeulue yang melakukan pelanggaran karena menggunakan kompressor. 

Panglima Laot Lhok Air Pinang, Sahmal, mengaku menyesal atas adanya peristiwa pemukulan itu, dan berharap kejadian ini tidak terulang lagi ke depannya.

Ia menyebutkan, peristiwa ini dipicu oleh adanya nelayan yang melakukan pelanggaran dalam menggunakan alat tangkap yang dilarang, yaitu soal penggunaan kompressor oleh nelayan pencari tripang dan lobster. Apalagi pelanggaran ini dilakukan di wilayah kawasan konservasi perairan (KKP PISISI) yang ditetapkan berdasarkan KepMen KP Nomor 78 tahun 2020.

Kompressor ini sebenarnya bukan alat tangkap ikan seperti pukat harimau atau semacamnya. Mesin kompres udara yang biasa digunakan oleh penambal ban ini, lebih digunakan sebagai alat bantu pernapasan, karena fungsinya mengisap dan menyimpan udara ke dalam tabung.

Udara bertekanan di dalam tabung kemudian disalurkan melalui selang untuk menyuplai oksigen kepada penyelam yang mencari tripang dan lobster di dasar laut.

Para pencari tripang dan lobster di Simeulue, senang menggunakan alat ini. Karena selain murah dan mudah didapat, mereka juga bisa bertahan berjam-jam di dasar laut.

Sementara, jika menggunakan alat selam modern seperti Scuba Diving, selain mahal dan butuh keahlian khusus untuk menggunakannya, juga hanya bertahan paling lama satu jam. Selanjutnya penyelam harus naik ke permukaan untuk mengganti tabung oksigen.

Sebelumnya, kompressor ini sudah cukup lama digunakan oleh para penyelam pencari tripang dan lobster. Hingga kemudian alat ini dilarang karena dapat merusak terumbu karang dan membahayakan penggunanya.

Ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang  Perikanan yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, dimana Pasal 9 Ayat (2) mengatur ketentuan alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumberdaya ikan.

Pada penjelasan Pasal 9 UU tersebut, dirincikan bahwa; alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumberdaya ikan, termasuk di antaranya jaring trawl atau pukat harimau, dan kompressor.

Di Kabupaten Simeulue, selain dilarang dalam hukum adat laot, penegakan atas aturan ini kembali diperkuat dengan Surat Edaran (SE) Bupati Simeulue Nomor 523/875/2020 Tentang Peningkatan Koordinasi Penertiban Nelayan Pengguna Kompressor, yang ditujukan kepada seluruh camat di kabupaten itu, untuk menertibkan nelayan yang menggunakan kompressor, bersama Panglima Laot setempat.

Sedangkan kegiatan pengawasan dan pemantauan dilimpahkan kepada Pokmaswas, sebuah lembaga yang pembentukannya digagas oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI dan kemudian di-SK kan oleh pimpinan daerah setempat (bupati/wali kota). Lembaga ini dibentuk di tiap desa yang bersinggungan dengan kawasan konservasi perairan.

Karena lembaga ini bukan sebagai perangkat penegakan hukum, maka Pokmaswas hanya bisa memantau dan melaporkan berbagai pelanggaran yang ditemukan, kepada pihak Panglima Laot untuk penindakan secara adat, atau kepada kepolisian untuk proses hukum positif.

Pola kerja seperti ini sudah berjalan di Kabupaten Simeulue, setidaknya sejak tahun 2017. Namun pelanggaran masih saja terus terjadi, yang berakibat pada kerusakan ekosistem laut yang semakin parah di kawasan itu.

Panglima Laot Lhok Air Pinang mengungkapkan, upaya sosialisasi dan membangun pemahaman tentang pentingnya pelestarian ekosistem laut di Kawasan Konservasi Perairan Pulau Pinang, Pulau Siumat dan Pulau Simanaha (KKP PISISI) sudah dilakukan sejak tahun 2013. Namun upaya yang lebih massif terhadap nelayan yang melanggar, baru dilakukan mulai tahun 2017.

Dari hasil pemantauan secara swadaya oleh nelayan di kawasan itu pada periode 2017 hingga 2020, tercatat 346 kali terjadi pelanggaran berupa penangkapan ikan/tripang/lobster menggunakan alat bantu kompressor.

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved