Luar Negeri
Kisah Keluarga Tanpa Sidik Jari, Terus Menerus Didenda Karena Tak Bisa Membuat SIM, KTP & Paspor
Dalam panggilan video dengan wartawan BBC News, Apu Sarker menunjukkan telapak tangannya yang terbuka.
Penulis: Agus Ramadhan | Editor: Zaenal
Ketika kantornya mulai menggunakan sistem absensi sidik jari, Gopesh harus meyakinkan atasannya untuk mengizinkannya menggunakan sistem lama, yakni menandatangani lembar absensi dengan pena.
Amal Sarker menjalani sebagian besar hidupnya tanpa terlalu banyak kesulitan, katanya, tetapi dia merasa kasihan pada anak-anaknya.
"Itu tidak ada di tangan saya, itu adalah sesuatu yang akan saya warisi," katanya.
"Tapi cara saya dan anak-anak saya menghadapi segala macam masalah, bagi saya ini sangat menyakitkan," ujarnya.
Baca juga: Tak Bisa Sidik Jari, Pasien RS Sigli Mengaku Disuruh Pulang, Direktur: Tetap Dilayani Manual
Amal dan Apu baru-baru ini mendapatkan jenis KTP baru yang diterbitkan oleh pemerintah Bangladesh, setelah menunjukkan sertifikat medis.
KTP ini juga menggunakan data biometrik lain, dengan menggunkan pemindaian retina dan pengenalan wajah.
Tetapi mereka tetap tidak bisa membeli kartu sim untuk HP atau mendapatkan SIM, dan mendapatkan paspor adalah proses yang panjang dan berlarut-larut.
"Saya lelah menjelaskan situasi berulang-ulang. Saya sudah meminta nasehat banyak orang, tetapi tidak ada dari mereka yang bisa memberi saya jawaban pasti," kata Apu.
"Seseorang menyarankan agar saya pergi ke pengadilan. Jika semua opsi gagal, itulah yang mungkin harus saya lakukan," sambungnya.
Apu berharap dia bisa mendapatkan paspor, katanya.

Dia ingin sekali bepergian ke luar Bangladesh. Dia hanya perlu memulai lamarannya.
Kelainan genetika ini pertama kali dikenal luas pada tahun 2007 ketika Peter Itin, seorang dokter kulit Swiss, dihubungi oleh seorang wanita di negara itu, yang mengalami kesulitan memasuki AS.
Wajahnya cocok dengan foto di paspornya, tetapi petugas bea dan cukai tidak dapat merekam sidik jari.
Setelah pemeriksaan, Profesor Itin menemukan wanita dan delapan anggota keluarganya memiliki kondisi aneh yang.
Bekerja dengan dokter kulit lain, Eli Sprecher, dan mahasiswa pascasarjana Janna Nousbeck, Profesor Itin melihat DNA dari 16 anggota keluarga.