Konservasi Perairan
Kasus Nelayan Kompresor di Simeulue Dilimpahkan ke Jaksa, 5 Anggota Pokmaswas Masih Ditahan
Kegiatan pengawasan oleh Pokmaswas sering berujung konflik antarnelayan, terutama dengan nelayan yang melakukan pelanggaran di kawasan konservasi.
Penulis: Taufik Hidayat | Editor: Taufik Hidayat
SERAMBINEWS.COM, SINABANG - Sebanyak tiga kasus pelanggaran penggunaan alat bantu penangkapan ikan (kompresor) oleh 14 nelayan di Kabupaten Simeulue, telah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Sinabang, oleh Penyidik dari DKP Simeulue, DKP Aceh dan PSDKP Lampulo – Kementerian Kelautan dan Perikanan.
“Selain dikenakan pasal 85 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, para tersangka juga dijerat dengan Pasal 100 dan Pasal 7 Ayat (2) Huruf (J), untuk pelanggaran yang dilakukan di Kawasan Konservasi Perairan Pulau Pinang, Pulau Siumat dan Pulau Simanaha (KKP PISISI),” kata Herno Adianto, Kepala Operasi Pangkalan PSDKP Lampulo kepada Serambinews.com, Jumat (5/3/2021).
Pasal 85 dimaksud berbunyi; Setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000 (dua miliar rupiah).
Sementara Pasal 7 Ayat (2) dan Pasal 100 pada undang-undang yang sama mengatur lebih spesifik tentang kawasan konservasi perairan dan pidana bagi nelayan tradisional yang melanggar aturan penggunaan alat tangkap/alat bantu penangkapan ikan.
Salah satu alat bantu penangkapan ikan yang dilarang dalam undang-undang ini adalah mesin kompresor, yang biasanya digunakan sebagai alat bantu pernapasan oleh nelayan penyelam yang mengambil ikan, teripang, lobster dari dasar laut.
Undang-undang inilah yang menjadi dasar hukum terkait penangkapan 14 nelayan pengguna kompresor di Simeulue, yang terjadi di tahun 2020.
Dalam menegakkan aturan tersebut, selain pihak Polair dan DKP, pihak lainnya yang aktif melakukan pengawasan khususnya di kawasan konservasi perairan, adalah Kelompok Masyarakat Pengawasan (Pokmaswas).
Namun sayangnya, kegiatan pengawasan oleh Pokmaswas yang beranggotakan para nelayan setempat ini, sering berujung konflik antarnelayan, khususnya dengan nelayan yang melakukan pelanggaran.
Seperti yang terjadi pada Minggu (29/11/2020) dini hari, saat nelayan yang tergabung dalam Pokmaswas Desa Air Pinang, Kabupaten Simeulu, terlibat bentrok fisik dengan nelayan dari desa tetangga yang melakukan pelanggaran karena menggunakan mesin kompresor untuk mencari teripang dan lobster di wilayah KKP PISISI.
Beberapa dari mereka mengalami luka serius di bagian mata, wajah dan kepala, akibat dugaan penganiayaan yang dilakukan nelayan anggota (Pokmaswas) Air Pinang.
Kasus ini pun kemudian berlanjut ke ranah hukum, dan lima orang anggota Pokmaswas Air Pinang hingga saat ini ditahan di Mapolres Simeulue, karena upaya damai antara kedua pihak tidak membuahkan kesepakatan.
Baca juga: Konflik Antarnelayan di Simeulue, Dipicu Soal Penggunaan Kompressor di Kawasan Konservasi Perairan
Baca juga: Tim Patroli Polairud, DKP dan Pokmaswas Tertibkan Penggunaan Kompressor, 9 Nelayan Ditangkap
Baca juga: Pengawasan di Kawasan Konservasi Perairan Terhenti, Nelayan Kompresor di Simelue Kembali Beraksi
Baca juga: Panglima Laot di Simeulue Minta Gubernur Aceh Bantu Anggota Pokmaswas yang Ditahan
Bantuan Hukum dari Pemerintah
Panglima Laot Air Pinang, Sahmal, meminta pemerintah tidak lepas tangan atas penahanan anggota Pokmaswas yang terjerat hukum saat mengamankan kawasan konservasi perairan dari nelayan yang melakukan pelanggaran.
“Karena yang kami lakukan ini sebenarnya membantu program pemerintah dalam mengelola kawasan konservasi perairan,” kata Sahmal beberapa waktu lalu.
Terkait permintaan ini, pihak Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Simeulue mengatakan telah meminta Pemerintah Aceh melalui DKP Aceh, untuk memberikan bantuan hukum kepada anggota Pokmaswas yang sudah tiga bulan di penjara.
“Kami sudah berkoordinasi dengan Biro Hukum Pemerintah Aceh dan DKP Aceh untuk mengupayakan bantuan hukum kepada anggota Pokmaswas yang ditahan,” kata Charles, Sekretaris DKP Kabupaten Simeulue, kepada Serambinews.com.
Bantuan hukum yang akan diupayakan antara lain, penangguhan penahanan dan meminta keringanan hukuman terhadap lima anggota Pokmaswas yang terlibat pemukulan terhadap nelayan pengguna kompresor.
Karena meskipun mereka bersalah atas tindakan pemukulan itu, namun hal ini juga tidak terlepas dari upaya anggota Pokmaswas menjaga kelestarian sumberdaya perikanan seperti yang diatur dalam UU Nomor 45 Tahun 2009.
Kepada Serambinews.com, pihak DKP Aceh juga membenarkan bahwa Pemerintah Aceh akan turun tangan membantu anggota Pokmaswas yang ditahan.
“Kami sudah menggelar rapat dengan Biro Hukum Pemerintah Aceh dan sejumlah pihak lainnya termasuk Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh untuk membentuk Tim Bersama yang akan memberi bantuan hukum kepada anggota Pokmaswas yang ditahan,” kata Nizarli, Kabid Pengawasan DKP Aceh, Jumat (5/3/2021).
Baca juga: PSDKP Lampulo Kirim Penyidik ke Simeulue, Tindaklanjuti 3 Kasus Pelanggaran di Perairan Konservasi
Baca juga: DKP Aceh Dukung Penertiban Kompressor, Perlu Perlakuan Khusus untuk Lindungi Kawasan Konservasi
Baca juga: Upaya Konservasi Perairan Menunjukkan Hasil, Nelayan Butuh Inovasi Alat Tangkap Ramah Lingkungan
Perketat Pengawasan di KKP PISISI
Untuk mencegah masifnya penggunaan kompressor oleh nelayan di Simeulue, maka DKP Kabupaten Simeulue dan DKP Aceh diharapkan memperketat pengawasan, dengan meningkatkan kegiatan patroli.
Informasi diperoleh Serambinews.com, di tahun 2021 ini, DKP Kabupaten Simeulu hanya bisa menyediakan anggaran untuk kegiatan patroli antara 5-7 kali, sementara DKP Aceh hanya menyediakan anggaran untuk 4 kali kegiatan patroli.
“Disebabkan anggaran di kabupaten (Simeulue) yang sangat terbatas, kami berharap kepada pihak berwenang lainnya untuk membantu memperketat pengawasan melalui kegiatan patroli, khususnya di wilayah KKP PISISI ini,” ungkap Charles, Sekretaris DKP Simeulue.
Karena memang, Indonesia masih mengandalkan patroli laut menggunakan kapal, sehingga membutuhkan anggaran yang besar untuk melakukan pemantauan lapangan secara efektif. Sementara, banyak negara lain sudah menggunakan drone (pesawat tanpa awak) untuk melakukan patroli laut --seperti yang dilakukan Pemerintah India-- agar pengawasan lebih efektif dan efisien.(*)