Jurnalisme Warga

Prosesi Hukuman Cambuk di Kota Jantho

Perjalanan ke Jantho, Aceh Besar, kali ini menyisakan kesan yang mendalam. Saya dan Teuku Multazam menjadi orang yang beruntung

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Prosesi Hukuman Cambuk di Kota Jantho
FOR SERAMBINEWS.COM
TEUKU MUTTAQIN MANSUR, Direktur Geuthee Institute Aceh, melaporkan dari Jantho Aceh Besar

Dalam melaksanakan tugasnya, algojo mengikuti instruksi hitungan dari jaksa. Satu, dua, tiga, dan seterrusnya, jaksa mulai menghitung. Beriringan dengan itu, cambukan algojo mendarat di punggug pelanggar. Sesekali terdengar jelas rintihan pelanggar yang menahan sebatan.

Seorang perempuan dokter yang berada di atas panggung terlihat memperhatikan dengan serius para pelanggar yang dicambuk. Beberapa kali, saya yang berdiri di sisi kanan teratak kehormatan dengan jarak sekitar 4 atau 5 meter melihat raut wajah pelanggar yang tertunduk malu dan menahan rasa sakit. Dokter kadang juga menghampiri dan menanyakan keadaan pelanggar. Jaksa juga memastikan apakah pelanggar masih sanggup melanjutkan. Pelanggar pria dicambuk oleh algojo pria. Sedangkan yang wanita dicambuk oleh algojo wanita.

Hujan mulai turun deras kala prosesi cambuk terakhir untuk seorang wanita muda dengan kasus perzinaan. Bahkan, air hujan membasahi panggung utama menyebabkan prosesi cambuk dihentikan beberapa saat. Algojo wanita terus mengayunkan cambukannya dengan keras. Wanita muda itu merintih, aduuhh... sambil menahan rasa sakit. Dokter mendekat, memeriksa dan menanyakan kesanggupannya kala cambukan ke-80 kali mendarat di punggungnya. Terlihat wanita muda itu menganggukkan kepalanya, menunjukkan ia masih sanggup menerima hukuman lanjutan. Kemudian, jaksa melanjutkan hitungannya diikuti ayunan rotan cambukan sang algojo. “Sembilan puluh enam, sembilan puluh tujuh, sembilan puluh delapan, sembilan puluh sembilan, seratus. Selesai,” kata jaksa.

Saya kembali teringat kata-kata Waled Husaini pada bagian terakhir tausiahnya. Ia mengajak pelanggar dan  semua yang hadir, untuk sama-sama menjaga dirinya, keluarga dari api neraka, kuu anfusakum wa ahlikum naara, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.  Mari kita memohon ampun kepada Allah Swt, semoga Allah menjauhkan kita dari Covid-19 dan bencana lainnya akibat ulah kita melakukan perbuatan yang dilarang Allah Swt," tutup Waled di akhir tausiahnya.

Setelah menunaikan shalat Asar, hujan deras masih mengguyur Kota Jantho, saya dan Teuku Multazam memutuskan untuk terus kembali ke Banda Aceh karena sebentar lagi magrib akan tiba.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved