Kupi Beungoh

Makmeugang di Aceh antara Tradisi, Martabat dan Kesempatan Berbagi

Secara Agama, budaya dan adat Aceh , Meugang merupakan syiar islam dalam rangka momen suka cita untuk menyambut datangnya bulan suci ramadhan

Editor: Muhammad Hadi
Dok Pribadi
Tarmizi A Hamid atau CekMidi adalah Pembina Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) dan Kolektor Manuskrip Kuno Aceh serta Pemerhati Seni dan Budaya Aceh 

Makmeugang di Aceh antara Tradisi, Martabat dan Kesempatan Berbagi

Oleh: Tarmizi A Hamid *)

Aceh memiliki berbagai corak ragam dan pernak pernik tradisi, baik yang umum maupun tradisi yang khusus nan istimewa, tradisi khusus itu tersebutlah Makmeugang, ada yang mengatakan Madmeugang dan Meugang.

Tradisi istimewa ini mengandung nilai religius karena dilakukan pada jelang tiga atau dua hari jelang memasuki bulan Ramadhan, waktu seperti ini masyarakat Aceh menganggap sangat suci.

Secara Agama, budaya dan adat Aceh , Meugang itu sendiri merupakan syiar islam dalam rangka momen suka cita untuk menyambut datangnya bulan suci ramadhan.

Di Aceh budaya dan adat dilingkari dengan syariat artinya budaya dan adat secara turun temurun harus berlandaskan syariat, dulu di Aceh banyak budaya terbawa dari Hindu.

Namun semua budaya itu sudah dimodifikasi kedalam budayanya orang Islam.

Baca juga: Tradisi KWPSI Sambut Ramadhan, Meugang Bersama Hingga Bantu Anak Yatim dan Duafa

Masyarakat Aceh secara tradisi, Meugang ini menganggap sebagai perayaan syiar serta penghormatan yang setinggi-tingginya atas datangnya Ramadhan, dimana bulan ini bulan yang di tunggu-tunggu oleh muslim diberbagai penjuru dunia.

Masyarakat Aceh sangat memuliakan datangnya Ramadhan sebagai penghulu bulan (saidus syuhur)

Secara budaya dan adat Meugang itu sendiri seakan ingin menyampaikan bahwa bulan Ramadhan itu mempunyai marwah yang lebih mulia sehingga harus disambut denga penuh suka cita.

Suasana lapak daging di Pasar Lambaro Aceh Besar, Minggu (11/4/2021). Harga jual daging sapi di hari pertama meugang di Banda Aceh dan Aceh Besar  mencapai Rp 180.000 per kilogram
Suasana lapak daging di Pasar Lambaro Aceh Besar, Minggu (11/4/2021). Harga jual daging sapi di hari pertama meugang di Banda Aceh dan Aceh Besar mencapai Rp 180.000 per kilogram (SERAMBINEWS.COM/HENDRI)

Saat meugang semua orang status sosialnya sama, baik orang kaya ataupun miskin. Mereka semua beli daging untuk dimakan bersama keluarga,

Tradisi meugang ini sudah dilakukan sejak masa Sultan Iskandar Muda memimpin Aceh. Kala itu, sebulan sebelum meugang kepala desa sudah menerima surat untuk mendata warga miskin di desanya.

Setelah Sultan melihat semua data yang dikumpulkan, menjelang meugang baru dikirim uang kepada warga untuk membeli hewan ternak.

Baca juga: Fasilitas Nuklir Natanz Diserang, Agen Mossad Disebut Terlibat, Iran: Aksi Terorisme Nuklir

Dalam literatur buku "Singa Aceh", disebutkan bahwa Sultan sangat mencintai rakyatnya baik fakir miskin atau pun kaum dhuafa.

Orang tidak mampu kala itu menjadi tanggung jawab Sultan. Dia kemudian mengeluarkan satu qanun yang mengatur tentang pelaksanan meugang itu sendiri.

Setelah disahkan, qanun itu diberi nama "Qanun Meukuta Alam atau di luar Aceh lebih populer dengan sebutan Qanun Al-Asyi", yang disusun pada masa Sultan Iskandar Muda memimpin Kerajaan Aceh Darussalam (Abad ke 17 M) Pada Bab II pasal 47 qanun tersebut disebutkan:

Sultan Aceh secara turun temurun memerintahkan Qadi Mua'zzam Khazanah Balai Silatur Rahmi yaitu mengambil dirham, kain-kain, kerbau dan sapi dipotong dihari Mak Meugang.

Maka dibagi-bagikan daging kepada fakir miskin, dhuafa, orang lasa, buta. Pada tiap-tiap satu orang yaitu; daging, uang lima mas dan dapat kain enam hasta.

Maka pada sekalian yang tersebut diserahkan kepada keuchieknya masing-masing gampong daerahnya.

Sebab sekalian semua mereka tersebut itu hidup melarat lagi tiada mampu membelikannya, maka itulah sebab Sultan Aceh memberi pertolonganya kepada rakyatnya yang selalu dicintai.

Baca juga: Aroma Rempah Dalam Tradisi Meugang di Aceh

Sultan punya alasan tersendiri mengeluarkan aturan tersebut. Ketika itu, kerajaan Aceh terkenal dengan hasil alam melimpah dan kekayaannya.

Sebagai seorang pemimpin, Sultan tidak ingin ada rakyatnya kesusahan saat menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.

"Kenapa diatur begitu karena Aceh saat itu memiliki kelebihan, kemakmuran, dan hasil alam yang sangat berlimpah. Jadi artinya menjelang bulan puasa sultan ingin rakyatnya tidak susah dalam menjalankan ibadah di bulan Ramadan,"

Lambat laun, meugang menjadi tradisi bagi masyarakat Aceh yang mayoritas Islam. Meski modelnya berbeda dengan masa Kesultanan, makna terkandung di baliknya sama.

Pedagang menjual daging kerbau dan sapi di pinggir Jalan Manyang, Dusun IV Keude Siblah, Blangpidie, Abdya,
pada hari meugang menyambut Ramadhan 1442 H, Minggu (11/4/2021).
Pedagang menjual daging kerbau dan sapi di pinggir Jalan Manyang, Dusun IV Keude Siblah, Blangpidie, Abdya, pada hari meugang menyambut Ramadhan 1442 H, Minggu (11/4/2021). (SERAMBI/ZAINUN YUSUF)

Perayaan ini juga bagian dari kegembiraan menyambut Ramadan. Bulan suci bagi warga Aceh punya arti tersendiri.

Tak heran, jauh hari sebelumnya, warga sudah menyiapkan persiapan dari perlengkapan ibadah sampai kebersihan lingkungan.

Secara garis besar Qanun Al Aisyi mengatakan, sultan menenpatkan secara khusus perihal Makmeugang ini sehingga menjadi pedoman masyarakat pada eranya.

Meugang melekat nilai adat dan budaya sesuai dengan syariahnya, diantaranya adalah nilai-nilai kebersamaan dalam semangat kepedulian sosial sesama.

Meugang juga menunjukkan semangat persaudaraan maupun silaturrahmi yang kemudian berlanjut pada maaf-memaafkan serta pertemuan yang akrab dalam makan bersama.

Baca juga: Harga Emas Hari Ini Turun, Berikut Rincian Harga Emas Per Gram Senin 12 April 2021

Hikmah lainnya bagi pengantin pria yang baru berumah tangga, dirinya dituntut bertanggung jawab terhadap nafkah dan belajar membentuk diri yang kualitas harkat dan martabatnya dalam membina sebuah keluarga yang baru.

meugang merupakan sebuah simbol yang sangat menumental di kalangan masyarakat Aceh dalam membangun hubungan kekeluargaan dalam konteks islami.

Seperti sudah menjadi sebuah keharusan, pada hari meugang umumnya warga Aceh yang merantau ke tempat lain pulang ke kampung halaman untuk menikmati daging meugang bersama keluarga.

Pembina Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI), Tarmizi A Hamid (dua dari kiri) didampingi Ketua Panitia Munawardi Ismail (kiri) dalam acara meugang bersama menyambut bulan Suci Ramadhan 1442 Hijriah dan merawat tradisi masyarakat Aceh, Minggu (11/4/2021)
Pembina Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI), Tarmizi A Hamid (dua dari kiri) didampingi Ketua Panitia Munawardi Ismail (kiri) dalam acara meugang bersama menyambut bulan Suci Ramadhan 1442 Hijriah dan merawat tradisi masyarakat Aceh, Minggu (11/4/2021) (FOR SERAMBINEWS.COM)

Sebagai penutup Makmeugang itu dalalah isyarah, haqiqat dari tradisi cara kesalehan Indatu Aceh masa terdahulu secara faktual sebagai bukti surur (gembira) dengan menyambut datangnya bulan termulia Ramadhan dengan menafkahi keluarga secara kemewahan dari biasanya.

Semoga tradisi dari kearifan sejarah Aceh masa lalu ini dapat dipertahankan hingga yang akan datang.

Semoga bermanfaat.

Baca juga: Hasil BUMG, Semua KK Warga Gampong Madat Samadua Aceh Selatan Kembali Dapat Daging Meugang dan Beras

*) PENULIS, Tarmizi A Hamid atau CekMidi adalah Pembina Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) dan Kolektor Manuskrip Kuno Aceh serta Pemerhati Seni dan Budaya Aceh

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved