Opini
"Apam Pembangunan" dalam Pusaran Oligarki
Belum lama ini sempat heboh atas beredarnya buku yang berjudul "How Democracies Die" yang ditulis oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt
A. Wahab Abdi
Dosen FKIP Universitas Syiah Kuala
Belum lama ini sempat heboh atas beredarnya buku yang berjudul "How Democracies Die" yang ditulis oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Banyak orang terkejut, khususnya di Indonesia yang baru memasuki gerbang demokrasi.
Buku itu menyoroti kondisi demokrasi di Amerika Serikat yang secara sosio-kultur dan politik berbeda dengan Indonesia. Namun apa yang terjadi AS itu bukan berarti tidak terjadi di Indonesia, hanya saja pola dan bentuknya yang berbeda.
Di AS sebagai negara kaya, persoalan demokrasi adalah pertarungan politik antara ideologi konservatisme Partai Republik dan liberalisme Partai Demokrat yang mulai melampaui norma dan etika politik. Hal ini diperkirakan akan menyebabkan demokrasi pelan-pelan akan mati.
Sementara persoalan demokrasi di Indonesia dengan sistem multipartai tak memperlihatkan adanya pertarungan ideologi secara kasat mata yang melampaui batas.
Persoalan lebih banyak muncul yang terpaut dengan ekonomi. Setiap pemilu, baik pilpres, pilkada, maupun pileg selalu muncul "bandit-bandit" politik yang disokong oleh cukong yang memiliki tujuan jangka pendek. Mereka tak mempersoalkan aspek eduksi politik dan kelanggengan demokrasi yang sehat.
Hal semacam ini juga menyelimuti atmosfer politik di Aceh. Kehadiran parlok misalnya, yang seharusnya menjadi partai alternatif, ternyata tak mampu menstimulasi munculnya pertarungan ideologi partai lokal versus nasional secara sehat. Lagi-lagi di sini persoalan ekonomi juga lebih dominan muncul.
Adanya gugatan sementara terhadap kepala daerah terpilih atas sikap "ingkar" janji sebelum pilkada adalah salah satu bukti kebenaran hipotesis ini. Tak jauh berbeda dengan itu, keberadaan timses adalah juga indikasi kuatnya pertarungan kalangan pemodal dalam arena pilpres dan pilkada. Para timses ini adalah kalangan "pembisik" sekaligus "pengatur" sehingga menjadi variabel moderator yang mempengaruhi kebijakan presiden atau kepala daerah yang terpilih.
Efek dari praktik perpolitikan seperti ini adalah munculnya demokrasi oligarki. Kekuasaan hanya dikendalikan oleh sekelompok orang yang memiliki hubungan persaudaraan, kekerabatan, dan kekuatan ekonomi atau militer. Rakyat sebagai pemiliki hakiki demokrasi tereduksi haknya.
Hubungan mutualis
Bukanlah rahasia umum bahwa pada setiap perhelatan pilpres dan pilkada, kandidat butuh sumber daya politik, manusia dan sumber daya finansial yang memadai.
Secara politik pasanan calon harus ada partai pendukung agar bisa masuk ke dalam bursa calon. Dalam konteks ini muncul istilah "mahar" politik yang harus disanggupi oleh pasangan calon. Jika tidak ada, maka dukungan partai sulit diperoleh-bahkan bisa dikatakan tidak mungkin.
Akibat adanya kebutuhan ini, pasangan calon harus menyiapkan sumber daya manusia dan keuangan yang mumpumi. Sumber daya manusia diperlukan untuk merancang peta politik, strategi kampanye dan memoles pasangan calon. Sedangkan dana dibutuhkan untuk membayar mahar dan membiayai rencana peta politik yang sudah dirancang.
Di sinilah muncul variabel antara-yang kelak menjadi variabel moderator jika pasangan calon terpilih, yaitu para timses dan penyandang dana. Mereka ini menghubungkan pasangan calon dengan pemilih atau konstetuen. Para penyandang dana ini dalam percaturan politik akan menempatkan faktor ekonomi di atas segala-galanya.