Breaking News

Opini

"Apam Pembangunan" dalam Pusaran Oligarki

Belum lama ini sempat heboh atas beredarnya buku yang berjudul "How Democracies Die" yang ditulis oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt

Editor: hasyim
zoom-inlihat foto
IST
A. Wahab Abdi, Dosen FKIP Unsyiah Darussalam, Banda Aceh

Hubungan ini sangat alamiah karena saling membutuhkan. Pasangan calon butuh orang yang mampu dan mau mendanai kegiatan kampanyenya. Sementara pihak penyandang dana akan mendukung jika terpilih kelak ada feedback dari pasangan calon terpilih melalui fasilitas proyek dan sebagainya. Di sini terjadi hubungan mutualisme antara kedua pihak.

Dalam khazanah budaya Aceh hubungan ini sering dianalogikan dengan cerita lucu atau anekdot "lagei ureung ceureit ngon asei deuk"- kisah orang mencret dengan anjing lapar. Maaf, ini hanya suatu anekdot, tak ada maksud melecehkan martabat manusia. Sama-sama dalam kondisi butuh dan memahami posisi masing-masing.

Apam pembangunan

Keberadaan variabel moderator ini yang mempengaruhi hubungan pasangan terpilih dengan rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang hakiki, akan berdampak luas secara politik. Kebijakan pasangan terpilih senantiasa harus mampu mengakomodasi kepentingan para penyandang dana, termasuk perlakuan khusus untuk mendapatkan pekerjaan proyek yang dibiayai dengan dana pemerintah.

Hampir dapat dipastikan bahwa sasaran kebijakan publik dan pembangunan pasangan terpilih tak lagi murni untuk memenuhi aspirasi rakyat. Paling kurang kebijakan pemimpin terpilih ikut menampung aspirasi penyandang dana yang secara politik memiliki tujuan sesaat, primordial, dan jangka pendek.

Praktik di lapangan yang amat sering dijumpai adalah terjadinya ketidak-sesuaian dalam mengelola "apam pembangunan"-meminjam istilah Prof. Syamsuddin Mahmud. Pembangunan yang dilakukan tidak merata, tidak tepat sasaran, kualitas diturunkan dan kuantitas diperkcil. Lumrah ditemukan banyak proyek berdana besar akhirnya terbengkalai, tidak sesuai dengan spesifikasi, dan unsur mark-up begitu dominan.

Atmosfer politik seperti ini hanya mampu menambah pundi-pundi kekayaan kalangan kaya. Kalangan kaya ini adalah para mitra pemerintah yang menikmati keuntungan dari proses pembuatan "apam pembangunan". Asalkan ada pekerjaan proyek dari pemerintah, mereka pasti akan menerima keuntungan. Sedangkan hasilnya, yaitu "apam pembangunan" itu tak mampu mendorong turunnya persentase penduduk miskin.

Efek pembangun setiap tahun kurang berdampak kepada kalangan miskin. Padahal harapannya sederhana sekali. Misalnya bagi petani, bagaimana mereka bisa mengolah sawah yang selama ini satu kali setahun berubah menjadi dua atau bahkan tiga kali setahun. Kalau selama sulit membeli pupuk, bagaimana mereka bisa mendapatkan pupuk murah karena subsidi. Bagaimana nasib petani berubah dari hanya

sebagai produser saja, berubah sekaligus menjadi penjual dengan harga yang diproteksi oleh pemerintah.

Begitulah keadaan hiruk pikuk pembangun di era demokrasi oligarki. Apam pembangunan ada, nyata, dan secara kuantitas meningkat dari tahun ke tahun sesuai dengan kemampuan negara. Tapi efeknya terhadap rakyat belum maksimum, banyak yang hilang dalam pusaran demokrasi oligarki.

Jika kenyataanya Aceh kembali menjadi daerah termiskin di Sumatra, padahal dana melimpah, maka tak mengherankan. Sebab secara kualitas sebenarnya kekayaan masyarakat ada peningkatan, tapi secara kuantitas orang tidak berhasil diturunkan.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved