Opini
Ie Bu Peudah, Masakan Retro Khas Ramadhan di Aceh
SEHARI menjelang Ramadhan, 29 Syakban 1442 Hijriah, bertepatan dengan 12 April 2021 Masehi, beberapa sisi jalan utama di Kota Banda Aceh

AYU ‘ULYA, Koordinator Perempuan Peduli Leuser (PPL) dan Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe), melaporkan dari Aceh Besar
SEHARI menjelang Ramadhan, 29 Syakban 1442 Hijriah, bertepatan dengan 12 April 2021 Masehi, beberapa sisi jalan utama di Kota Banda Aceh telah menjelma menjadi titik-titik perdagangan. Yang didagangkan adalah daging lembu dan kambing meugang menyambut bulan puasa. Mentari tampak terik sejak pagi. Namun, hal itu sama sekali tak menyurutkan semangat masyarakat untuk berbelanja stok pangan demi memenuhi kebutuhan sahur dan berbuka puasa.
Menariknya, selama menempuh 17 kilometer perjalanan dari Darussalam menuju Lhoknga, pemandangan aktivitas serupa juga terlihat di sepanjang kawasan Aceh Besar. Gerah, awan tak hendak menaungi, jalanan macet di sana-sini. Hingga tiba di sebuah gampong bernama Nusa, barulah saya bisa kembali merasakan suasana adem dan tenang.
Hanya perlu beberapa menit bagi kendaraan roda dua melintasi jalan aspal gampong hingga tiba di Meunasah Desa Nusa. Tak jauh dari sana, di salah satu sudut rumah warga, terdengar bunyi jeungki—alat tumbuk tradisional khas Aceh—berderik-derik.
Seorang nenek—akrab disapa Nek Po—duduk di balai kayu mini sembari mengayak jeu-e (tampi/nyiru). Dia pisahkan bumbu kering berwarna hijau kekuningan yang telah halus dari bumbu yang masih kasar. Tak jauh dari sana, ada Rubama dan Nurhayati sedang memfungsikan lesung kayu. Bergantian, mereka menggenjot ekor jeungki untuk menghaluskan beragam dedaunan dan rempah yang dimasukkan dalam lubang di bawah moncong kayu penumbuk.
Seketika semerbak aroma herbal menyeruak ke udara. Kabarnya, rempah-rempah yang sedang mereka racik merupakan bumbu masakan khas Aceh di bulan Ramadhan; ie bu peudah.
Ie bu peudah merupakan sejenis bubur yang diolah menggunakan 44 jenis dedaunan dan rempah. Jika diterjemahkan, ie bu peudah bermakna bubur nasi pedas. Sebab, sajian sehat ini diracik menggunakan beraneka bahan alami yang memberikan efek pedas di mulut dan hangat di perut.
Dedaunan khusus yang digunakan di dalam racikan ie bu peudah, antara lain, oen keulayu, oen simirah dong, oen sibuah, oen leumak, oen trapat, oen baruh, oen balee angen, oen jarak, oen kunci, oen sitahe, oen peugaga, oen capa, oen manek manok, oen sineukut, oen paya, oen mulieng, dan sebagainya. Untuk menerjemahkan nama-nama dedaunan ke dalam bahasa Indonesia, menurut warga, masih cukup sulit. Sebab, mereka terbiasa mengenal dan menghafal nama-nama tumbuhan tersebut dalama bahasa Aceh.
Kemudian, rempah-rempah kaya manfaat yang digunakan dalam ie bu peudah terdiri atas bawang merah, bawang putih, ketumbar, kunyit, lengkuas, jahe, serai, lada, dan jagung yang digongseng. Demi memperkaya rasa, biasanya saat dimasak, dalam racikan akan dimasukkan pula beras, kacang hijau, ubi, ketela, kukuran kelapa pateun, dan air kelapa. Untuk menetralkan rasa pahit dari dedaunan, adonan bubur tersebut juga boleh diberi sedikit taburan gula.
“Hari ini, anak-anak muda sepertinya sudah tidak lagi mengenal ie bu peudah. Mungkin sudah terbentur budaya luar. Orang-orang seakan bangga dengan makanan luar. Padahal, ini ada makanan indatu yang bisa membuat kita sehat,” jelas Nurhayati.
Sebagai warga Gampong Nusa yang punya segelintir ilmu terkait tumbuhan herbal, ia menyayangkan pola konsumsi masyarakat Aceh di zaman modern kini yang makin jauh dari gaya hidup sehat. Setuju dengan penjelasan itu, Nek Po—yang tetap bugar di usia menjelang 80 tahun—ikut berkomentar. “Kan Tarawih, makan ie bu peudah, biar kuat,” jelasnya sumringah. Menurut Rubama, bagi Nek Po, tiada Ramadhan tanpa ie bu peudah. “Wah, kalau enggak ada ie bu peudah, bisa ngambek Nek Po,” candanya.
Ie bu peudah merupakan salah satu jenis masakan khas Aceh yang sudah hadir semenjak berdirinya Kerajaan Aceh. Hidangan retro (masa lalu) tersebut awalnya diciptakan bukan hanya sebagai menu berbuka puasa, tetapi juga sebagai obat alami. “Memang dulu Aceh sering terkena wabah ta-eun. Makanya dikondisikan herbal-herbal sebagai bahan makanan publik. Sebagai antisipasi ta-eun,” terang seorang pakar sejarah Aceh, M Adli Abdullah PhD, saat saya hubungi via WhatsApp.
Teracam punah
Sebesar manfaatnya, sebesar itu pula perjuangan dalam mempersiapkan segala bahan sajian ie bu peudah ini. Bukanlah hal mudah untuk menemukan beragam jenis tumbuhan herbal di dalam hutan. Perlu berhari-hari pencarian untuk menemukan bahan racikan masakan yang dibutuhkan.
“Ie bu peudah ini merupakan makanan tradisional khas berbuka puasa Ramadhan. Tidak didapatkan pada bulan-bulan lainnya. Untuk mencari daun-daun ini juga enggak mudah. Apalagi sekarang marak perambahan hutan untuk dibikin jalan, bangunan, dan sebagainya. Jadi, banyak jenis daun yang sudah hilang,” papar Nurhayati.