Kupi Beungoh
Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Keislaman, Keacehan, dan Keindonesiaan (VI)
Bagi kebanyakan orang Aceh, walaupun yang tidak sembahyang, tidak puasa, penjudi, dan bahkan peminum arak sekalipun, Islam adalah Aceh.
Pirous sangat bangga dengan apa saja yang dinikmatinya di Meulaboh pada masa itu.
Ketika menceritakan masa kecil dan masa remajanya, ia bahkan mengklaim Aceh sebagai kawasan agamis yang kosmopolit.
Baginya, sekalipun ada istilah agama Islam yang sudah menjadi tradisi, hal itu sama sekali bukanlah menjadi penghalang untuk menjadi Aceh yang moderen.
Ia menyebutkan banyak hal kepada George (2010) dengan satu dua kata kunci tentang kondisi Aceh pada masa itu seperti, “orang Aceh tidak sendirian di dunia yang luas karena punya pegangan kultural yang kaya.”
Yang hendak ia sampaikan sesungguhnya bahwa spektrum budaya Aceh ketika ia kecil dan remaja tidak sempit dan miskin.
Baca juga: VIDEO Batu Giok Meulaboh Lebih Banyak Dibeli Orang Luar Aceh daripada Konsumen Lokal

Pirous dengan runtut menceritakan tentang kekayaan kultural yang ia saksikan seperti saudagar Eropah dan Gujarat yang datang silih berganti, dan Cina pemilik toko.
Ada pula perkebunan ayahnya yang melibatkan buruh kebun dari Jawa.
Ia ingat tentang ustaz atau guru agama yang kebetulan orang Arab.
Ia kemudian sangat terkesan tentang percampuran bahasa Aceh dengan bahasa Melayu, Arab, Belanda, dan Gujarat.
Pirous sangat hapal dengan kekayaan budaya kain bordir, paduan warna yang bersingungan atau bertabrakan dengan benang emas, berikut dengan pola geometris maupuh organis.
Ia juga ingat bagaimana orang Aceh memakai kain pulikat , dan memakan aneka kari dari kampungnya kakek nenek Pirous di Gujarat, India.
Pirous juga sangat ingat tentang madrasah, masjid, dan bioskop, syair hikayat Perang Sabil ketika ia kecil dan remaja.
Ada sepatu, ada sandal, ada pula celana panjang.
Kadang, sekali dua ada musik jazz tahun 1930-an dari pemusik sekelas Count Basie, Duke Ellington, dan Benny Goodman di satu dua rumah orang kaya kota.
Ia ingat pada umur tujuh tahun setelah mengaji di sekolah, ia juga mengunjungi bioskop untuk nonton film-film Flash Gordon dan Gene Autry yang kemudian menggugahnya seumur hidup untuk menonton film-film asing.