Kupi Beungoh

Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Keislaman, Keacehan, dan Keindonesiaan (VI)

Bagi kebanyakan orang Aceh, walaupun yang tidak sembahyang, tidak puasa, penjudi, dan bahkan peminum arak sekalipun, Islam adalah Aceh.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/Handover
Sosiolog Aceh, Ahmad Humam Hamid, berkunjung ke galery lukisan seniman Indonesia kelahiran Meulaboh Aceh Barat, Abdul Djalil Pirous (AD Pirous), di kawasan Dago Pakar, Bandung, April 2021. 

Pirous juga menikmati bacaan terjemahan di perpustakaan sekolahnya dengan buku-buku “hebat’ dunia seperti The Count of Monte Christo, karangan Alexander Dumas, serial Winnetau, karangan Karl May yang juga menjadi bacaan masa kecil orang-orang seperti Albert Einstein, Hitler, dan dua pemenang nobel Hermaan Hesse dan Bertha von Suttner.

Baca juga: VIDEO Berhias Kaligrafi dan Aneka Seni Aceh Ini Dia Guntomara

Baca juga: VIDEO Dihiasi dengan Kaligrafi, Batu Nisan Putroe Balee Pidie Disebut Dijadikan Batu Asah

Lukisan kaligrafi Surat Al-Ikhlas karya AD Pirous. Lukisan ini disimpan di Serambi Pirous, Studio Galeri, di Jl. Bukit Pakar Timur II/111 Bandung, 40198, Indonesia.
Lukisan kaligrafi Surat Al-Ikhlas karya AD Pirous. Lukisan ini disimpan di Serambi Pirous, Studio Galeri, di Jl. Bukit Pakar Timur II/111 Bandung, 40198, Indonesia. (SERAMBINEWS.COM/Handover)

Tentara Pelajar yang Islam Sejak Lahir

Pirous menjadi tersentuh dengan imajinasi tentang Indonesia dan keindonesiaan ketika ia ikut bergabung dengan Tentara Pelajar Indonesia pada umur 18 tahun di Meulaboh dan bertugas menggunakan seninya dalam membuat  selebaran, pamflet yang mengkampanyekan seruan kebangsaan.

Semangat romantisme Pirous sangat tersentuh dengan kelompok muda Islam modernis yang berurusan dengan seruan Daud Beureueh untuk rakyat Aceh agar bergabung dengan Republik Indonesia.

Keindonesiaam Pirous terus tumbuh dan berkembang ketika ia tinggal di Medan dengan abangnya Arifin yang juga seorang seniman pembuat komik yang juga berpengaruh terhadap pilihan hidup senirupa Pirous.

Ia bersekolah di SMA Priyatna, sebuah sekolah hebat dengan keragaman suku dan agama, di mana Ibrahim Hasan, mantan Gubernur Aceh juga pernah menjadi siswa di situ.

Keindonesiaan Pirous kian tumbuh dan berkembang di Bandung, Jawa Barat ketika ia bersekolah di ITB.

Pirous tidak pernah mengklaim dirinya sebagai orang Islam yang taat, tetapi selain melihat kelakuan ibadah mahzah dan keteguhan prinsip-prinsip hidup islami, seorangpun tidak tahu hubungan seorang makhluk dengan Allah SWT.

Dalam hidupnya pun ia berprinsip sangat sederhana.

Ia memegang hadis rasul yang juga dipaterikan pada salah satu kanvasnya, Khairunnaas anfa’uhum linnaas -sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat untuk manusia yang lainnya- Ia bahkan berujar pada orang-orang yang bertanya tentang hidup dan kehidupan padanya, seseorang sebenarnya tak punya hak hidup kalau ia tidak pernah melakukan tindakan yang berguna bagi orang lain.

Dalam setiap pembicaraan dengan banyak orang, Pirous sering menggunakan kalimat “saya ini Islam sejak lahir”, dan itu adalah bukti konkrit bagi Pirous sebagai penegasan identitas, bahwa  Islam dan Aceh baginya telah melebur menjadi satu.

Ia juga “bukan’ orang Inndonesia sejak lahir, karena negerinya dijajah oleh Belanda, padahal sebelumnya rakyat Aceh mampu mengurus dirinya selama berabad-abad, bahkan beratus tahun sebelum Indonesia lahir.

Keislaman dan keacehan Pirous yang telah duluan tumbuh, kemudiaan disusul oleh Keindonesiaan yang dia peroleh dari bacaan, dan cerita.

Ia melihat Belanda yang dikalahkan oleh Jepang, yang pada beberapa tahun kemudian dikuti oleh proklamasi kemerdekaan oleh Sukarno.

Itu semua membuat identitas Pirous bertambah dari hanya agama, dan suku, kepada identitas Indonesia, yang kesemuanya akan terlihat banyak dalam karya-karyanya.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved