Sejarah Aceh
Hari Ini 18 Tahun Lalu, Aceh Darurat Militer, Perang Berakhir dengan Bencana Tsunami
Operasi ini dilakukan setelah GAM menolak ultimatum dua minggu untuk menerima otonomi khusus untuk Aceh di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia
Penulis: Subur Dani | Editor: Zaenal
Setelah melalui perundingan alot yang dimediasi oleh Crisis Management Initiative (CMI), kedua belah pihak yang berseteru mengambil keputusan untuk sepakat berdamai, agar rakyat Aceh yang telah babak belur dihantam konflik serta bencana gempa dan tsunami, bisa kembali menatap masa depannya.
Tanggal 15 Agustus 2005, di Helsinki Finlandia, kedua pihak menandatangani naskah perjanjian damai yang mengakhir konflik 30 tahun di Aceh.
Kesepakatan ini sangat melegakan masyarakat internasional dan berbagai lembaga kemanusiaan yang kala itu sedang membantu rakyat Aceh melewati masa-masa tersulit dalam kehidupan.
Baca juga: Papua Ingin Tiru Pola Penyelesaian Konflik Aceh dengan Cara Dialog dan Gencatan Senjata
Baca juga: Pilo Poly, Sosok Penyair di Balik Bunga Rampai Seperti Belanda, Dari Konflik Aceh ke MoU Helsinki
Baca juga: Dari Konflik Aceh ke MoU Helsinki: Christine Tjoet Nja Dhien Hakim, Tuhan tak Suka Orang Sombong
Sejarah Operasi Militer di Aceh
Operasi yang dilancarkan pada 19 Mei 2003 itu, bukanlah operasi kali pertama yang diberlakukan Pemerintah Indonesia di Aceh.
Sebelumnya, pemerintah juga telah melancarkan operasi militer Indonesia di Aceh pada tahun 1990-1998 atau juga disebut Operasi Jaring Merah.
Dari wikipedia.com, ini adalah operasi kontra pemberontakan yang diluncurkan pada awal 1990-an sampai 22 Agustus 1998 melawan GAM di Aceh.
Selama periode tersebut, Aceh dinyatakan sebagai Daerah Operasi Militer atau dikenal dengan DOM.
Dalam operasi militer yang dilancarkan pada 19 Mei 2003, pemerintah mengirimkan lebih dari 30.000 tentara dan 12.000 polisi.
Presiden Megawati Soekarnoputri kala itu memberikan izin operasi militer melawan GAM dan menerapkan darurat militer di Aceh selama enam bulan.
Operasi militer ini terjadi setahun setelah meninggalnya Panglima GAM, Tgk Abdullah Syafi'e dalam penyergapan yang dilakukan TNI pada 22 Januari 2002 pukul 09.00 WIB.
Tak lama berselang, Muzakir Manaf alias Mualem menggantikan sosok Tgk Abdullah Syafi'e sebagai Panglima GAM.
Setahun kemudian, pada 28 April 2003, Pemerintah Indonesia memberikan ultimatum untuk mengakhiri perlawanan dan menerima otonomi khusus bagi Aceh dalam waktu dua minggu.
Namun, Pemimpin GAM yang berbasis di Swedia menolak ultimatum tersebut, tetapi Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa mendesak kedua pihak untuk menghindari konflik bersenjata dan melanjutkan perundingan perdamaian di Tokyo.
Dilansir wikipedia.com, pada 16 Mei 2003, pemerintah menegaskan bahwa otonomi khusus tersebut merupakan tawaran terakhir untuk GAM, dan penolakan terhadap ultimatum tersebut akan menyebabkan operasi militer terhadap GAM.