Berita Simeulue

PN Sinabang Sidangkan Kasus Nelayan Kompresor di Simeulue

Sebagian terdakwa ditangkap di Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) yang telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI.

Editor: Taufik Hidayat
Foto kiriman warga
Sebanyak 14 terdakwa tindak pidana perikanan kompresor yang dititip di lapas kelas III Sinabang. 

SERAMBINEWS.COM, SINABANG - Pengadilan Negeri Sinabang kembali menggelar sidang perkara tindak pidana perikanan yang menggunakan alat bantu penangkapan ikan berupa Kompresor di KKP PISISI Kabupaten Simeulue.

Sidang terhadap kasus yang sempat menjadi perhatian publik ini kembali digelar Jumat (28/5/2021) dengan agenda pemeriksaan ahli dan saksi dari penuntut umum.

Saksi ahli dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Simeulue menjelaskan kepada Majelis Hakim bahwa kompresor sebagai alat bantu penangkapan ikan dapat mengganggu kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan perairan, merusak dasar perairan, serta dapat membahayakan penyelam yang menggunakannya.

Terkait lokasi penangkapan sembilan terdakwa, merupakan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) yang telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 78/KEPMEN-KP/2020 tentang Kawasan Konservasi Perairan Aceh Besar, Kawasan Konservasi Perairan Pulau Pinang, Pulau Siumat, Dan Pulau Simanaha, Kawasan Konservasi Perairan Aceh Barat Daya, Dan Kawasan Konservasi Perairan Aceh Selatan Di Provinsi Aceh.

Lokasi penangkapan enam orang terdakwa berinisial ARS, TWP, BM, AS, DM dan YM berada di Zona Perikanan Berkelanjutan.

Sedangkan lokasi penangkapan tiga terdakwa  lainnya berinisal MY, IR, ARF berada di Zona pemanfaatan.

Baca juga: Jaringan KuALA Minta Bupati dan Panglima Laot Aceh Bantu Selesaikan Konflik Nelayan di Simeulue

Baca juga: 14 Nelayan Pengguna Kompresor di Simeulue Diserahkan ke Jaksa

Baca juga: Didampingi LKBH Simeulue, Enam Nelayan Kompresor Mulai Disidang

Baca juga: JKMA Aceh: Konflik Nelayan Simeulue Harusnya Diselesaikan Secara Adat

Dimana kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh sembilan orang terdakwa tersebut selain melanggar Undang-Undang Perikanan No.45 Tahun 2009, juga tidak sejalan dengan program pemerintah dalam pengelolaan kawasan konservasi.

Sementara itu sidang untuk lima terdakwa lainnya dengan agenda pemeriksaan saksi HJ, HD, AM, MD dan RM yang merupakan anggota Pokmaswas, untuk menerangkan kepada majelis hakim tentang kronologis penangkapan para terdakwa pada 29 November 2020 tesebut.

Sebelumnya, Pada Selasa (18/5/2021) PN Sinabang juga melakukan sidang perdana tindak pidana perikanan terhadap 14 terdakwa nelayan kompresor dalam 3 perkara berbeda tersebut.

Mereka disidang dalam 3 sidang yang terpisah dimana Penuntut Umum yang diketuai oleh Dedet Darmadi, S.H mendakwa keseluruhnya telah melakukan perbuatan, orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut serta melakukan memiliki, menguasai, membawa dan/atau menggunakan alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan berupa kompresor di Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) yang telah ditetapkan melaui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor  78/KEPMEN-KP/2020.

Penuntut Umum menyatakan bahwa seluruh terdakwa diancam pidana sebagaimana telah diatur dalam Pasal 85 Jo Pasal 9 Jo Pasal 100B Undang Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Baca juga: Penyidik Polres Simeulue Serahkan Lima Tersangka Kasus Pengeroyokan Nelayan ke Kejaksaan

Baca juga: Panglima Laot di Simeulue Minta Gubernur Aceh Bantu Anggota Pokmaswas yang Ditahan

Baca juga: PSDKP Lampulo Kirim Penyidik ke Simeulue, Tindaklanjuti 3 Kasus Pelanggaran di Perairan Konservasi

Pokmaswas Kawal Kasus Kompresor

Sidang pada Jumat (28/5/2021) yang berlangsung secara terbuka dan online tampak dihadiri oleh kelompok masyarakat pengawas KKP PISISI.

Boyon, salah satu anggota Pokmaswas Air Pinang mengatakan bahwa ia menghadiri sidang sebagai perwakilan Pokmaswas yang di SK-kan oleh Bupati Simeulue.

“Di sini ada Pokmaswas Pulau Siumat, Ganting, Kuala Makmur dan Air Pinang,” katanya.

Boyon menyebutkan, penegakan hukum dan putusan hakim terhadap terdakwa nelayan kompresor nanti diharapkan mampu mewujudkan adanya rasa keadilan bagi sebagian besar nelayan tradisional yang terkena dampak kerusakan lingkungan akibat penangkapan ikan dengan alat bantu kompresor.

Sudah puluhan tahun, penyelam kompresor seakan tidak peduli terhadap dampak yang dirasakan masyarakat dan mengabaikan penurunanan kualitas lingkungan yang diakibatkan perbuatan mereka.

“Belum lagi, banyaknya kasus kecelakaan dan kematian penyelam kompresor di Simeulue menyebabkan banyak istri menjadi janda dan anak menjadi yatim. Ada juga penyelam yang lumpuh ditinggal pergi oleh istinya,” ungkap Boyon.

Seluruh lapisan masyarakat mulai dari nelayan, pemilik, pengusaha dan pedagang yang terlibat dalam rantai bisnis nelayan kompresor hendaknya menjadikan kasus ini sebagai pembelajaran ke depan.

Untuk ini putusan hakim hendaknya mampu memberikan efek jera.  

“Putusan yang bisa memberi efek jera diharapkan dapat mencegah nelayan lain agar tidak mengulangi kegiatan penangkapan ikan dengan alat bantu kompresor,” ujar Boyon.

“Sikap ini juga yang menjadi alasan kami hadir hari ini dan sidang selanjutnya kami akan terus hadir di pengadian. Semoga kehadiran kami dimaknai Majelis Hakim sebagai salah satu fakta persidangan bahwa sidang hari ini dan selanjutnya akan dikawal oleh nelayan tradisional Simeulue yang juga mencari keadilan pada persidangan ini,” ungkapnya.

Boyon dan rekan-rekannya juga berharap kepada JPU dan Majelis Hakim agar  dapat mengungkap siapa aktor-aktor atau oknum yang selama ini menjadi pendukung dan pelindung nelayan kompresor, sehingga pelaku-pelaku ini terkesan mengangkangi Undang-Undang dan tidak menghargai aturan adat laut.

“Pengabaian jerat hukum bagi pemilik atau penanggung jawab kapal kompresor akan mencederai rasa keadilan nelayan tradisional Simeulue. Ini juga akan terus menjadi pertanyaan masyarakat banyak dan dapat menjadi bom waktu bila diabaikan oleh penegak hukum,” katanya.

Baca juga: Mediasi Gagal, Polres Simeulue Lanjutkan Proses Hukum Dugaan Penganiayaan Nelayan

Baca juga: Konflik Antarnelayan di Simeulue, Dipicu Soal Penggunaan Kompressor di Kawasan Konservasi Perairan

Baca juga: Pengawasan di Kawasan Konservasi Perairan Terhenti, Nelayan Kompresor di Simelue Kembali Beraksi

Pernyataan Sikap Panglima Laot

Pada Kamis (27/5/2021), sembilan Panglima Laot Lhok/Pokmaswas Kabupaten Simeulue juga menyampaikan surat peryataan sikap tentang pelanggaran nelayan kompresor yang ditangani oleh Pengadilan Negeri Sinabang.

Dalam surat pernyataan itu yang ditandatangani sembilan Panglima Laot Lhok tersebut, disampaikan bahwa mereka mendukung penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran alat tangkap kompresor dan juga alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti bom, potasium, pukat harimau, jaring muro-ami dan alat tangkap lainnya yang dilarang pemerintah.

Khusus untuk alat tangkap kompresor, Panglima Laot menyatakan aktivitas nelayan kompresor dapat mengancam jiwa nelayan itu sendiri sekaligus merusak ekosistem laut sehingga berdampak pada berkurangnya sumberdaya perikanan sebagai sumber penghidupan nelayan tradisional dan masyarakat.

Dalam pernyataan tersebut, Panglima Laot juga mendukung pengawasan KKP PISISI sebagai komitmen masyarakat nelayan tradisional dalam menjaga kawasan dan memberantas pelaku pelanggaran alat tangkap.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved