Kupi Beungoh
Ekonomi Gampong Bakongan: Aceh, ‘Daerah Modal’ Sawit & Kebutuhan Minyak Nabati Global Abad XXI (IV)
Asbabun nuzul kelapa sawit yang ditanam di Bakongan hari ini sesungguhnya punya sejarah panjang.
Ahmad Humam Hamid*)
TIDAK dapat disangkal potensi dan prospek agribisnis kelapa sawit merupakan salah satu, mungkin satu-satunya komoditi minyak nabati yang paling menjanjikan di masa depan.
Posisi kelapa sawit sebagai alternatif potensial minyak nabati global hari ini, sebenarnya tidak lebih sebagai pengulangan sejarah awal sawit itu sendiri.
Asbabun nuzul kelapa sawit yang ditanam di Bakongan hari ini sesungguhnya punya sejarah panjang.
Temuan arkelologi minyak sawit dalam kuburan Firaun 3.000 tahun yang lalu, tepatnya di Abydos, Mesir diyakini dibawa oleh para pedagang Arab pada masa itu.
Penggunaan selama lebih dari 5 000 tahun sebagai minyak makan di Afrika Barat, kemudian disaksikan oleh pengembara Eropah pada abad ke 15.
Konsumsi minyak makan oleh warga asli Afrika itu kemudian diadopsi oleh para pengembara itu, untuk kemudian dibawa pulang ke Eropah.
Lompatan pertama komersialisasi sawit terjadi seiring dengan ekspansi penjajahan Eropah pada abad ke 16 dan 17.
Minyak sawit rakyat Afrika yang berwarna merah itu, dalam perkembangannya, berjalan seiring dengan penjajahan kolonial Eropa, perdagangan budak, dan menjadi salah satu komoditi perdagangan penting, untuk konsumsi minyak makan Eropa.
Revolusi industri Inggris adalah pemicu tumbuhnya kreativitas, termasuk di dalamnya penggunaan minyak sawit sebagai baham pelumas, yang permintaannya terus membengkak.
Para pengusaha Inggris dan Eropa lainnya yang menggunakan kepakaran ilmuwan, akhirnya menemukan dua hal dalam kaitannya dengan kelapa sawit.
Pertama, kebutuhan minyak pelumas revolusi industri yang sangat besar pada masa itu mampu dijawab oleh ilmuwan dengan menggunakan minyak kelapa sawit Afrika.
Kedua, kelapa sawit yang pada awalnya hanya usaha perkebunan rakyat yang relatif kurang berdimensi komersial, oleh pengusaha Eropa diusahakan secara besar-besaran menjadi sebuah usaha agribisnis yang menguntungkan.
Kombinasi kemajuan ilmu pengetahuan tentang budidaya tanaman jenis palma ini dengan keahlian bisnis kaum kapitalis Eropa, pada ujungnya membuat beberapa bagian muka bumi hutan tropis-terutama di Malaysia dan Indonesia- berobah wajahnya dari hamparan, lembah, pergunungan menjadi perkebunan modern.
Baca juga: Kelapa Sawit ‘Penyelamat’ Perekonomian Warga Subulussalam Saat Pandemi, Begini Penjelasan Apkasindo
Baca juga: Harga TBS Kelapa Sawit Masih Stabil
Aceh: Daerah “Modal” Kelapa Sawit Nasional
Menggunakan istilah Aceh sebagai daerah modal kelapa sawit nasional seolah tampak berlebihan, karena terlalu sering daerah ini dikaitkan dengan istilah itu.
Tentang kelapa sawit, memang itulah kenyatan sejarahnya, dan karenanya tidak perlu risih untuk menyebutnya.
Untuk menjadi catatan, banyak kalangan yang tidak tahu bahwa budidaya pertama kelapa sawit di Indonesia dimulai di Aceh pada akhir abad ke 19.
Dengan modal awal 4 biji kelapa sawit dari Afrika yang dibawa pengurus Kebun Raya Bogor dan ditanam di sana, akhirnya kelapa sawit dibawa ke Aceh.
Adalah dua pengusaha Belgia, Adrian Hallet dan K.Schadt yang mengambil lokasi Sungai Liput untuk penanaman pertama seluas 30 hektare yang kemudian ditambah menjadi 1,500 hektare pada tahun 1911.
Jumlah ini terus bertambah pada tahun-tahun berikutnya menjadi lebih dari 5000 hektare.
Sesuai dengan lokasinya ia menamakan perusahaannya Sungai Liput Cultuur Maatschappij.
Hallet sendiri adalah seorang insinyur pertanian yang menjadi pebisnis kebun yang berhasil di Afrika, yang kemudian pindah ke Selangor Malaysia, dan membuka kebon sawit dengan sukses.
Perusahaan yang hari ini dikenal dengan PT.Socfindo, bermula dari apa yang dikerjakan oleh Hallet di Sungai Liput, kabupaten Aceh Tamiang.
Kesesuaian agroklimat sawit di Sungai Liput dengan produktivitasnya yang tinggi membuat Hallet dan kawan-kawanya terkagum-kagum.
Bahkan dalam catatannya ia menyebutkan produktivitas sawit kawasan Sungai Liput jauh lebih tinggi dari negeri asalnya di negara-negara Afrika Barat hari ini.
Pilihan Sungai Liput sebagai lokasi moyang PT Socfindo tidak salah, karena dalam sejarahnya sebagian besar kawasan-kawasan paling subur dan sangat cocok dengan kebutuhan agroklimat sawit di Sumatera Utara dan Aceh.
Tidak mengherankan kalau belasan lokasi kebun Socfindo hari ini di Sumatera Utara adalah lokasi-lokasi terbaik yang dimilikinya.
Pilihan lokasi-lokasi terbaik PT Socfindo di Aceh hari ini- selain Sungai Liput yang tersebar di tiga tempat di pantai Barat Selatan Aceh adalah bukti nyata tentang keunggulan agroklimat yang dimilkinya.
Pilihan terhadap lokasi Seunagan, Seumayam, dan Lae Butar adalah sebuah pernyataan akademik dan bisnis betapa kawasan itu memang kawasan yang paling cocok dan menguntungkan untuk komoditi ini.
Baca juga: Ekonomi Gampong: Bakongan, Barsela, Reaganomics, dan Kekeliruan Sri Mulyani (I)
Baca juga: Ekonomi Gampong: Bakongan, Barsela, Reaganomics, dan Kekeliruan Sri Mulyani (II)
Baca juga: Ekonomi Gampong Bakongan: Rezim Transnasional Komoditi Sawit dan Reaganomics di Barsela (III)
Pengulangan Sejarah: Sawit Sebagai Plihan Minyak Nabati Global Abad XXI
Minyak sawit sebagai bahan konsumsi pangan Timur Tengah dan Afrika semenjak 5 000 yang lalu, yang awalnya hanya untuk kebutuhan susbisten dan perdagangan barter, oleh para pedagang kolonial telah dirobah menjadi komoditi penting pada abad ke 18 dan 19.
Ketika revolusi indusri di Inggris dan sebagian Eropa terjadi, minyak sawit disamping digunakan untuk konsumsi, juga digunakan sebagai alat lubrikasi mesin-mesin industri.
Dalam perkembangannya sampai hari ini dengan berbagai riset dan pengembangan telah menghasilkan semakin banyak produk yang berbasis sawit.
Bahkan adalah Uni Eropa paling gemar menggunakan minyak sawit sebagai bahan bakar untuk mengurangi emisi karbon yang semakin menggila.
Di sebalik kemajuan itu, dalam 50 tahun terakhir telah terjadi perobahan besar dalam kemajuan peradaban manusia.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, jumlah penduduk miskin dunia turun bahkan mendekati 10 persen.
Kalau saja dunia tidak dilanda pandemi, barangkali dalam tempo 10 atau 20 tahun lagi kemiskinan akan menjadi “tontonan” untuk kunjungan turis mancanegara, karena memang kemiskinan akan menjadi sejarah.
Cina, India, negara-negara Asia, Afrika, yang dahlunya sangat sering berasosiasi dengan kemiskinan, kini telah berangsur maju.
Kelas menengah dunia yang pada tahun 2009 masih berjumlah 1,8 miliar jiwa, pada tahun 2020 kemarin telah bertambah menjadi 3,2 miliar.
Sekalipun pekembangan ekonomi dunia akibat pandemi Covid-19 terasa berat, namun begitu pulih dalam satu atau dua tahun yang akan datang, jumlah kelas menengah dunia akan bertambah menjadi 4,9 miliar pada tahun 2030.
Konsentrasi pertambahan kelas menengah global umumnya akan terjadi di kawasan Asia-Pasifik, untuk kemudian akan diikuti oleh Amerika Latin, Eropa Timur, dan Afrika.
Diantara semua negara di dunia, pertambahan kelas yang menengah yang paling mencolok adalah Cina dan India, dengan jumlah populasi secara berturut-turut adalah 1,43 miliar dan 1,37 miliar.
Dalam konteks minyak sawit, kedua negara itu saat ini adalah berstatus pegimpor terbesar minyak sawit di dunia.
Cina dan India adalah gambaran mayoritas masyarakat yang naik kelas dari status miskin-menjadi menengah, untuk kemudian sebagiannya menjadi kaya, dan sangat kaya.
Sejarah nutrisi dan perobahan pola konsumsi masyarakat yang hari ini disebut sebagai negara-negara maju adalah sejarah perpindahan dari pengurangan jumlah asupan karbohidrat kepada penambahan protein dan lemak.
Penelitian Marc Roda (2019) tentang pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan, dan perobahan pola konsumsi sejak abad ke 18 di Prancis menemukan, ketika asupan kalori per kapita mencapai puncaknya- 3000-3500 kalori perhari, jumlah kalori dari karbohidrat menurun, sementara asuman kalori dari pangan lemak meningkat.
Pengalaman Prancis menunjukkan ketika konsumsi pangan dirasakan sudah mencukupi, masyarakat akan menaikkan konsumsi lemak ke tingkat yang lebih tinggi, bahkan ke titik maksimal.
Temuan Roda (2019) berlaku secara umum di hampir semua negara maju dengan variasi yang berbeda baik jumlah, maupun jenis-hewani vs nabati.
Semenjak tahun delapanpuluhan konsumsi lemak hewani telah berpindah secara perlahan dan akhirnya semakin tajam kepada lemak nabati.
Negara-negara yang baru maju, yang dicirikan oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan urbanisasi yang juga tinggi juga mengukuti pola yang serupa, yakni konsumsi lemak nabati yang relatif lebih tinggi dari lemak hewani.
Pertumbuhan penduduk dan kemajuan ekonomi akan memberikan profil baru konsumsi bahan makanan dimasa yang akan datang.
Mengikuti perkembangan konsumsi minyak nabati di negara maju dan negara yang baru maju dan ikutannya diperkirakan permintaan lemak nabati pada pertengahan abad ke 21 akan meningkat tajam.
Perkiraan kebutuhan global minyak nabati pada tahun 2050 diperkirakan berkisar antara 240 (Coorley 2009) sampai dengan 350 juta ton (Roda 2019).
Sebagai perbandingan konsumsi global minyak nabati dunia saat ini berada pada posisi 170-180 juta ton per tahun.
Dengan melihat kepada kondisi saat ini, dan tantanan ketersediaan lahan, produkstivitas tanaman, dan tantangan permintaan tahun 2050, jelaslah ada persoalan besar ketimpangan yang akan terjadi.
Pertanyaannya adalah tanaman apa yang mungkin digunakan, di lahan yang bagaimana, dan di kawasan dunia bagian mana produksi itu akan terjadi.
Jawabannya sangat singkat. Tanaman yang paling memungkinkan adalah sawit, dan tempatnya adalah di kawasan tropis.
Baca juga: Dilema Petani Kelapa Sawit di Musim Trek, Produksi Menurun Saat Harga Tinggi
Baca juga: Anda Ingin Coba Pola Makan Berbasis Nabati? Ayo Ikuti Program Gratis Ini dan Nikmati Manfaatnya
Pohon Minyak vs Tanaman Minyak
Membandingkan sawit dengan pesaingnya yang lain sebagai sumber minyak hayati-kedele, jagung, rape seed, bunga matahari, adalah membandingkan pohon minyak yang terus menerus berproduksi semenjak umur 4 tahun sampai dengan umur 30 tahun.
Sebaliknya, semua pesaing sawit adalah tanaman yang berumur 3 bulan yang harus terus menerus ditanami.
Saat ini penggunaan konsumsi global minyak nabati terbanyak adalah minyak kelapa sawit -34 persen, diikuti oleh minyak kedelai 27 persen, selebihnya terbagai kepada minyak rapa, minyak bunga matahari dan lainnya.
Dalam kenyataannya tingkat kompetitif sawit jauh lebih tinggi dari jenis minyak apapun, untuk ukuran apapun.
Dengan satuan luas yang sama, katakan saja satu hektare, sawit mampu menghasilkan minyak 5-8 kali lebih banyak dari tanaman penghasil minyak nabati lainnya.
Ini artinya, tanaman lain membutuhkan 5-8 kali tanah lebih banyak dibandingkan dengan sawit untuk menyamai produktivitas yang sama dengan sawit.
Perhitungan ekonomi lanjutan, terutama input seperti pupuk dan bahan-bahan perawatan lainnya berikut dengan tenaga kerja menunjukkan sawit jauh lebih sedikit biayanya dibandingkan dengan jenis-jenis tanaman sumber minyak nabati lainnya.
Dengan proyeksi kebutuhan dunia pada tahun 2050 yang mendekati 2 kali lipat dari konsumsi hari ini, harus diakui hanya sawit yang paling memungkinkan untuk menyelamatkan ancaman kekurangan minyak nabati yang dibutuhkan.
Indikator apapun yang digunakan seperti kebutuhan lahan, efisiensi produksi, dan penggunaan tenaga kerja, tetap menunjukkan sawit adalah tanaman yang sangat memungkinkan dan menjanjikan.
Disamping itu, karena agribisnis sawit hanya memungkinkan di kawasan tropis, seperti Indonesia, Malaysia, dan beberapa negara Afrika, agribisnis ini juga berkontribusi penting untuk mengurangi kemiskinan, terutama di kawasan pedesaan.
Memang benar ada persoalan lain yang juga sangat penting untuk diperhatikan dalam persoalan sawit.
Persoalan itu adalah ancaman kerusakan lingkungan.
Hal itu memerlukan pembahasan tersediri yang lebih khusus dalam serial lanjutan.
*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.