Kupi Beungoh

Ekonomi Gampong Bakongan: Sawit, Pemerintah Daerah, dan Inspirasi Revisi Teori Boeke (VII)

Tidak jarang program penanaman kelapa sawit yang digerakkan pemerintah hanya sebatas pra TBM yang hanya berlangsung dalam hitungan 1-2 tahun anggaran

Editor: Amirullah
SERAMBINEWS.COM/Handover
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Penopang Ekonomi

Dengan jumlah petani sawit Aceh pada tahun 2018 (Kata Data 2019), 158 920 keluarga, dengan asumsi 5 orang per keluarga, maka jumlah penduduk Aceh yang berada di lini satu yang hidupnya bergantung pada sawit tidak kurang dari 794.600 orang.

Dengan luas rata rata antara 2-5 hektare, jika kita menganggap tambahan 200.000 saja indidvidu lain yang terkait langsung dengan kebun sawit rakyat seperti menjadi buruh ketika panen dan perawatan, sawit telah menjadi pengelola ekonomi desa yang mumpuni.

Angka itu menjadi lebih solid ketika ditambahkan tenaga kerja tidak langsung sepanjang rantai pasok dari kebun sampai industri pengolahan, dan keluar dari batas Aceh.

Ini artinya tidak kurang 1 juta atau seperlima dari penduduk Aceh, hidup dan kehidupannya bergantung pada kelapa sawit
Pilihan kebijakan publik oleh eksekutif dan legislatif seringkali terkait dengan adopsi sejumlah ide dan kerangka pemikiran yang berkembang.

Baca juga: Ekonomi Gampong Bakongan: Aceh, ‘Daerah Modal’ Sawit & Kebutuhan Minyak Nabati Global Abad XXI (IV)

Dan itu berhubungan dengan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang dimiliki.

Inilah yang kemudian menjadikan dalam hal adisi berbagai ide kemajuan, setiap orang, komunitas, masyarakat, atau penduduk terbagi menjadi kelompok penerima cepat -early adopter yang kemudian terus berlanjut beberapa kelas sampai kepada mereka yang paling ujung yang disebut dengan “laggard”-pencorot.

Nasihat Boeke muda ketika baru lulus Doktor dari Universitas Leiden dengan spesial topik Ekonomi Rumah Tangga Kawasan Tropis kolonial, ia menulis banyak rekomendasi dalam disertasinya.

Salah satu rekomendasinya yang kontroversial yang membuat kaum liberal di parlemen Belanda marah adalah ketika ia menganjurkan agar pemerintah jajahan membiarkan saja ekonomi pribumi tumbuh apa adanya.

Dan pemerintah kolonial Belanda memang tidak mendengarkan anjuran Boeke pada masa itu, walaupun ekonomi pribumi pedesaan juga tidak mendapat perhatian besar-besaran.

Baca juga: Ekonomi Gampong Bakongan: Sawit, Rekonsiliasi Ekonomi dan Lingkungan (V)

Fokus pemerintahan kolonial tetap saja kepada penguatan perusahaan besar perkebunan yang berorientasi penuh ke pasar dan menetapkan sepenuhnya prinsip-prinsip imu pengetahuan dalam usaha perkebunan mereka.

Keadaan hari ini tentang sawit rakyat dan sawit perusahaan secara substansi sesungguhnya tidak berbeda jauh dari apa yang dilihat Boeke pada awal abad ke 20.

Bedanya ada, petani rakyat sudah mulai bergerak ke wilayah komersial, motif keuntungan, namun masih terbelenggu dengan berbagai hambatan struktural yang membuat mereka mustahil mampu mengejar, atau sedfikit berada di bawah posisi produksi TBS dan harga perusahaan swasta.

Tragisnya, keberlanjutan struktural itu oleh pejabat publik kita sedang membiarkan dirinya menjadi penganut yang paling baik dari Boeke muda-Doktor ekonomi tropis, dari universitas Leiden yang kontroversial itu.

Biarkan saja petani sawit berjalan sendiri, persis seperti pengulangan rekomendasi Boeke dalam disertasinya sekitar 100 tahun yang lalu.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved