Kupi Beungoh
Ekonomi Gampong Bakongan: Mitos Malas, Migran, Pasar, dan Solusi Petani Trumon (VIII)
Kedatangan para penjajah justru mendapat pembenaran dengan tugas suci “memajukan” bangsa pribumi.
Tidak selesai dengan pengurasan sumber daya alam, residu perasaan inferior itu masih terasa baik di kalangan, birokrat, pejabat publik, akdemisi, dan berbagai kalangan lain.
Tak jarang pejabat publik dan para birokrat, ketika gagal dalam pembangunan, terutama pembangunan pedesaan, selalu menuduh kemalasan masyarakat sebagai biang utama kegagalan itu.
Baca juga: Ekonomi Gampong Bakongan: Aceh, ‘Daerah Modal’ Sawit & Kebutuhan Minyak Nabati Global Abad XXI (IV)
Baca juga: Ekonomi Gampong Bakongan: Sawit, Rekonsiliasi Ekonomi dan Lingkungan (V)
Baca juga: Ekonomi Gampong Bakongan: “The New Boeke Theory” untuk Petani Sawit Aceh? (VI)
Trumon, Sawit, dan Mitos Aceh Malas
Contoh kecil tentang ketidak benaran tesis pribumi malas adalah cerita pertumbuhan perkebunan sawit rakyat di tiga Kecamatan Trumon, Aceh Selatan dalam 10 tahun terakhir.
Uniknya, kecepatan pertumbuhan perkebunan sawit rakyat dalam masa itu terkait erat dengan maraknya budidaya jagung.
Trumon yang di dalam sejarah prakolonial disebut sebagai sebuah kerajaan penting pantai barat yang mempunyai perkebunan dan produksi lada rakyat yang dijual ke mancanegara adalah sebuah entitas yang unik.
Mulai abad ke 18, karena kesuburan tanahnya untuk lada, ditambah dengan berbagai hasil lain seperti kapur barus, sarang burung, Trumon menjadi tujuan para migran dari berbagai tempat lain di Aceh, maupun luar Aceh.
Setelah relatif lama hilang dari perbincangan ekonomi dan kemakmuran, Trumon kini bangkit kembali dengan komoditi jagung dan sawit yang sangat menjanjikan.
Diawali dengan kedatangan petani jagung dari Aceh Tenggara yang punya keahlian dan kemauan kerja keras, landskap pertanian dan perkebunan rakyat di Trumon berobah drastis.
Banyak keluarga tani kelapa sawit perdana di Trumon, yang mengizinkan kebun sawit mereka yang sudah ditanam sawit, diisi dengan tanaman sela, jagung.
Yang dimaksud adalah petani jagung suku Alas dari Aceh Tenggara dizinkan menanam jagung di kebun sawit tanpa kewajiban apa-apa.
Untuk diketahui Aceh Tenggara adalah sentra jagung Aceh yang sudah cukup lama, dimana budidaya jagung telah menjadi salah satu DNA petani di kabupaten itu.
Kedekatan dengan Kabupaten Karo, yang merupakan kabupaten terdepan dan sentra poduksi jagung Sumatera Utara adalah salah salah satu alasan diffusi budidaya jagung itu terjadi ke Aceh Tenggara.
Disamping itu keseragaman agroekologi antara Aceh Tenggara, dan Kabupaten Karo juga menjadi faktor penentu adopsi budidaya jagung Karo lebih mudah diterapkan oleh petani Aceh Tenggara.
Bahkan tidak berlebihan, sampai dengan tingkat tertentu “persaudaraan kultural” antara suku Alas dengan suku Karo yang secara anthropologi tergolong kedalam kelompok proto melayu-melayu tua juga menjadi faktor pelancar adopsi inovasi itu.