Kupi Beungoh
Ekonomi Gampong Subulussalam: Peremajaan Sawit Rakyat Aceh dan Kasus Korupsi Rp 664.8 Miliar (XII)
Kejaksaan Tinggi Aceh dalam kasus peremajaan sawit rakyat ini telah memeriksa paling kurang 10 orang saksi
Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
SEJUMLAH laporan yang ditulis tentang kelapa sawit rakyat Aceh oleh media cetak daerah dan nasional beberapa waktu yang lalu membuat pilu dan miris bagi yang membacanya.
Pasalnya hanya satu, namun dapat dujadikan sebagai refleksi tingkat keseriusan pemerintah mengurus rakyat kecil.
Kali ini berhubungan dengan rakyat petani pekebun sawit di Aceh yang berurusan dengan paling kurang 1 juta manusia.
Pantulan keseriusan itu adalah dugaan korupsi terhadap program peremajaan sawit rakyat di 8 kabupaten kota di Nanggroe Aceh Darusalam dengan nilai Rp 684.8 miliar.
Pada tanggal 24 Juli, Kejaksaan Tinggi Aceh sudah memberikan aba-aba, status tahap penyidikan yang telah ditetapkan beberapa waktu yang lalu, telah menghasilkan dua tersangka awal dari dua kabupaten, Aceh Tamiang, dan Aceh Barat.
Dari keterangan yang diberikan oleh kejaksaan, disebutkan dua calon kasus itu baru tahap pendahuluan.
Dipastikan akan ada lagi calon tersangka lanjutan di sejumlah kabupaten lainnya.
Kejaksaan Tinggi Aceh dalam kasus peremajaan sawit rakyat ini telah memeriksa paling kurang 10 orang saksi, baik di kabupaten, provinsi, dan pihak terkait di Jakarta.
Baca juga: Ekonomi Gampong Bakongan: Kisah Pengusaha Aceh di Medan dan Program Sawit Berkelanjutan (XI)
Baca juga: Ekonomi Gampong Bakongan: Pasar dan Adab Baru Global Agribisnis Sawit (X)
Peremajaan Sawit Rakyat
Seperti diketahui, Aceh bersama dengan empat provinsi lain di Sumatera mendapat dana Peremajaan Sawit yang disediakan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDKS), semenjak tahun 2018.
Adapun fokus Program Sawit Rakyat ini ditujukan kepada sejumlah provinsi di Sumatera, yakni Sumut, Sumbar, Riau, Bangka Belitung, Bengkulu, Jambi, dan Sumatera Selatan.
Program ini merupakan sebuah proyek politik, sekaligus komitmen Presiden Jokowi untuk memperkuat posisi perkebunan sawit rakyat dengan luas 2.8 juta hectare yang sangat memerlukan peremajaan.
Keseriusan ini terbukti dengan terbitnya dua Perpres No. 61/2015 dan Perpres No.66/2018.
Komitmen pemerintah itu penting untuk digarisbawahi, sebab peremajaan sawit adalah sesuatu yang niscaya karena sejumlah kelemahan sawit rakyat dewasa ini.
Secara nasional kelemahan itu antara lain; 66 persen karena umur tua, 22 persen karena bukan bibit hibrida, 8 persen karena populasi per hektar sangat rendah, dan 4 persen karena faktor lain (Apkasindo 2021).
Untuk Aceh, sesungguhnya sejumlah kelemahan itu juga tidak berbeda jauh.
Bahkan dalam hal penggunaan bibit yang diberikan oleh pemerintah dalam 15 tahun terakhir, dari beberapa laporan LSM dan media, cukup banyak ditemukan bukan bibit híbrida, dan bahkan sering ditemukan bibit asalan produksi rakyat.
Di Aceh, dari total luas perkebunan sawit 535.002 ha, seluas 240.366 ha (44,92%) dikelola oleh masyarakat.
Sedangkan selebihnya dikelola oleh perusahaan.
Laporan APKASINDO (2021) menunjukkan dari 240.366 ha kebun sawit rakyat di Aceh, yang sudah menjalani peremajaan sampai dengan tahun 2020 adalah 30.600 hektare, atau 12,73 persen.
Baca juga: Puluhan Petani di Tenggulun Bertahan di Kebun Kelapa Sawit Halau Gajah Liar
Baca juga: Program Peremajaan Sawit Rakyat di Subulussalam Capai 2.356 Hektare, Total Anggaran Rp 78 Miliar
PRS, Anugerah Penguatan Sawit Rakyat.
Terus terang apa yang terjadi dengan perjalanan sawit rakyat di Aceh, terutama yang berurusan dengan interaksi pemerintah dengan petani swadaya lebih banyak berjalan apa adanya.
Ada daftar panjang masalah, mulai dari persoalan lahan, penyimpangan dalam pelaksanaan, persoalan bibit dan input lainnya, dan infrastruktur jalan di kawasan sentra produksi.
Atas dasar itu, ketika program Peremajaan Sawit Rakyat dilancarkan sebagai program nasional prioritas, Aceh seharusnya menjadikan program ini sebagai titik awal baru pemberdayaan dan penguatan sawit rakyat.
Hal ini sangat penting untuk dicatat, karena penyediaan dana hibah dari program ini yang relatif lengkap dan memadai.
Disamping itu juga ketersediaan kredit untuk perkebunan sawit jika petani memang menginginkannya.
Sebagai catatan, seluruh persyaratan dan implementasi program ini sepenuhnya berazaskan kepada penerapan Good Agrcultural Practices, - GAP dalam baju besar sawit berkelanjutan.
Secara lebih runtut peremajaan sawit rakyat disebut memenuhi kriteria sawit berkelanjutan, karena program ini berurusan dengan aspek legalitas lahan, aspek peningkatan produktivitas, aspek sertifikasi ISPO, dan prinsip keberlanjutan itu sendiri.
Program ini mempunya sebuah misi mulia, yakni ingin menjadikan kesetaraan antara produktivitas perkebunan sawit rakyat dengan perusahaan.
Disamping itu program ini juga ingin membereskan sejumlah masalah fundamental, mulai dari asas legalistas lahan, sekaligus jaminan pemasaran internasional, di tengah isu lingkungan dan keadilan sosial yang semakin menggema.
Capaian kuantitatif angka 30,600 hektare peremajaan sawit rakyat di Aceh sampai dengan tahun lalu bagaimanapun adalah sebuah prestasi yang bagus.
Jumlah itu merupakan bagian dari total luas yang sudah diajukan untuk tahun progran 2018-2021 sebesar 47,800 hektare.
Sisa 17.200 hektare sedang dalam proses untuk realisasi tahun 2021.
Adapun rencana total luas peremajaan sawit Aceh antara tahun 2018-2022 adalah 67.500 hektare dengan sebaran di delapan kabupaten kota.
Namun kini dalam pelaksanaannya ternyata cukup banyak indikator kuantitatif dan kualitatif dari program ini yang mulai tampak bermasalah.
Pertama, dari rencana 8 kabupaten penerima, konsentrasi luasan terbesar berada di tiga kabupaten saja yakni, Aceh Tamiang, Nagan Raya, dan Aceh Barat.
Kedua, menurut keterangan pihak kejaksaan, temuan dalam dugaan kasus korupsi Rp 664.8 miliar itu berurusan dengan proses verifikasi.
Kasus yang paling menonjol adalah aspek legalitas lahan calon penerima manfaat, dan pengajuan yang tidak mengacu kepada ketentuan, yakni melalui kelompok tani, gabungan kelompok tani, dan atau koperasi.
Tanpa harus masuk ke dalam detail penyalahgunaan keuangan, kedua hal fundamental itu adalah gambaran kelemahan atau bahkan ketidakpedulian pemerintah daerah dalam pembangunan kelapa sawit rakyat selama ini.
Kedua hal itu erat kaitannya dengan ketersediaan data yang akurat tentang perkebunan sawit rakyat, dan kelembagaan esensial perkebunan, yakni kelompok tani, gabungan kelompok tani, ataupun koperasi.
Baca juga: Kejati Aceh Tingkatkan Kasus Dugaan Korupsi Program Peremajaan Sawit Rakyat ke Penyidikan
Baca juga: TA Khalid Cecar Dirut BPDPKS Soal Program Peremajaan Sawit Rakyat dan Biodiesel
Database: Ukuran Komitmen dan Keseriusan Pemda
Dalam hal ketersedian data yang komplit tentang petani sawit Aceh, sampai hari ini tidak ada data yang jelas dan komprehensif tentang petani sawit di seluruh Aceh, baik itu petani swadaya, maupun petani plasma.
Menariknya keberadaan perkebunan sawit rakyat Aceh telah berjalan lebih dari 10 tahun.
Praktis sampai dengan hari ini data yang disuguhkan lebih banyak berbentuk data estimasi yang bersifat tabular dengan tingkat validasi yang rendah.
Kecuali di kabupaten Aceh Tamiang, hampir semua kabupaten yang mempunyai kebun sawit rakyat, sampai dengan hari ini belum melaksanakan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/Permentan/OT. 140/2013, tentang Surat Tanda Daftar Budidaya Tanaman-SDTB.
Pemerintah daerah mungkin tidak melihat nilai strategis jangka pendek dan jangka panjang.
STDB akan menjadi instrument berbagai kebijakan pembangunan sawit rakyat, sekaligus merupakan prasyarat untuk menuju sistem sertifikasi perkebunan sawit berkelanjutan (ISPO).
Mungkin saja sejumlah kebupaten lain telah melaksanakannya secara diam-diam, akan tetapi bukti nyata tentang pelaksanaan kewajiban itu seharusnya tercermin dengan tersedianya database perkebunan sawit rakyat setiap kabupaten.
Database SDTB ini menjadi sangat penting dan strategis untuk program peremajaan sawit rakyat, karena akan memberikan data yang cukup lengkap, sehingga sebuah persoalan dasar rekruitmen petani praktis selesai.(*)
*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.