Kupi Beungoh
Instruktur Lantang Berkepribadian Teladan (In Memoriam Prof. Dr. H. Farid Wajdi Ibrahim, MA)
Sang instruktur Leadership Rasulullah yang berkumis melintang dan yang berteriak lantang itu bernama Farid Wajdi, Ketua Umum Pengurus Wilayah PII Aceh
Oleh: Bustami Abubakar*)
“MUHAMMAD adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…”
Kalimat di atas adalah terjemahan dari ayat al-Quran, surah al-Fath:29.
Syarahan dari ayat itu pertama kali saya dengar dalam hidup saya pada suatu malam pertengahan tahun 1989.
Saat itu saya masih duduk di bangku kelas 3 SMA dan sedang mengikuti satu kegiatan yang bertajuk Fajar (Forum Aspirasi Juang Antar Remaja).
Setelah saya menjadi peserta kegiatan, barulah saya tahu ternyata Fajar adalah kamuflase dari Leadership Basic Training (LBT) Pelajar Islam Indonesia (PII) yang digelar oleh Pengurus Daerah PII Kota Banda Aceh.
Saat itu, organisasi PII di seluruh Indonesia dibekukan oleh Pemerintah Indonesia melalui SK Menteri Dalam Negeri No. 120 dan 121 tanggal 10 Desember 1987 sebagai konsekwensi dari penolakan organisasi ini terhadap implementasi UU No. 5 Tahun 1985 atau yang dikenal dengan UU Pancasila sebagai Azas Tunggal.
Meski demikian, PII tidak membubarkan diri melainkan tetap beraktivitas terutama dalam bidang kaderisasi kendati harus dengan cara sembunyi-sembunyi atau yang lazim disebut gerakan bawah tanah.
Nah, ketika dikader dalam gerakan bawah tanah PII itulah, saya mendengar ulasan menarik dan menggelegar tentang Q.S. al-Fath:29 tersebut dalam materi Leadership Rasulullah.
Materi ini disampaikan oleh seorang instruktur yang juga cukup menyita perhatian: berperawakan kecil, kumis melintang garang, dan bersuara tinggi melengking.
Praktis, saya dan teman-teman peserta yang kekurangan tidur “dipaksa” melek dan mendengar dengan khusyuk.
Satu fragmen yang paling berkesan dan membekas dalam memori saya sampai sekarang adalah ketika sang instruktur memberi penekanan dengan nada dan volume suara yang tinggi pada kalimat “keras terhadap orang-orang kafir, berkasih sayang sesama mereka”.
Menurutnya, itulah karakteristik kepemimpinan Rasulullah Muhammad SAW. Lalu, sang instruktur menyajikan data dan beberapa kasus kehidupan sosial umat Islam yang merefleksikan kebalikan dari ayat al-Quran itu.
“Umat Islam hari ini takut dan berlemah-lembut dengan orang-orang kafir, tetapi mampu bersikap bengis kepada sesama muslim” teriak sang instruktur dengan berapi-api.
Sebagai seorang remaja yang sedang mencari identitas diri pada masa itu, kalimat-kalimat instruktur “garang” itu mampu menginjeksi kesadaran tentang keawaman saya terhadap ajaran dan kepemimpinan Muhammad SAW.
Darah saya memanas, mata yang minta tidur melotot seakan hendak keluar dari kelopaknya. “Gawat that instruktur nyoe”, batin saya.
Sejak saat itu, rasa penasaran ingin mengenal lebih jauh sang instruktur mulai mengganggu pikiran saya.
Tapi saya harus menunggu sampai malam penutupan kegiatan.
Karena memang, Sistem Operasional Prosedur (SOP) PII tidak memperkenankan instruktur memperkenalkan diri di dalam kelas.
Pada malam penutupan, semua instruktur dihadirkan untuk memperkenalkan diri sekaligus menerima kritikan dari para peserta mengenai metode dan materi yang disampaikannya.
Rasa penasaran saya terjawab malam itu.
Sang instruktur Leadership Rasulullah yang berkumis melintang dan yang berteriak lantang itu bernama Farid Wajdi, Ketua Umum Pengurus Wilayah PII Aceh.
Baca juga: Memaknai Kerisauan dan Kepergian Farid Wajdi
Baca juga: Prof Farid Wajdi, Ulama Keras Nan Bijak
Hati Terpaut Pada PII
Usai pengkaderan itu, hati saya benar-benar terpaut kepada PII.
Saya berkomitmen seraya terus menempa diri untuk berbuat hal-hal berguna bagi masyarakat melalui organisasi ini, sebagaimana karya nyata yang telah ditunjukkan oleh para kanda/yunda kami.
Ketika saya berstatus mahasiswa, seiring dengan proses penempaan kader yang saya jalani, saya mulai dipercaya menjadi instruktur dalam training-training yang kami lakukan.
Saat itu, kami tidak lagi membekali peserta dengan materi ke-PII-an, sehingga kami tidak menyebutnya sebagai LBT, meskipun semua materi berbasis pada kurikulum pengkaderan PII.
Kami hanya menyebutnya sebagai training keislaman, yang diselenggarakan oleh masyarakat, remaja masjid dan kelompok keagamaan yang ada di beberapa SLTA di Banda Aceh dan Aceh Besar.
Momentum libur semester dan bulan Ramadhan adalah waktu favorit bagi kami untuk membina generasi Islam dengan akhlak dan fikrah keislaman.
Pada hampir semua training itu, saya selalu mendapatkan tugas khusus sebagai instruktur lokal di samping juga instruktur materi.
Dalam ragam kesempatan training itulah, saya secara lebih intensif berinteraksi dengan Bang Farid Wajdi.
Materi Leadership Rasulullah telah menjadi trade mark baginya sehingga saya selalu mendampinginya di dalam kelas.
Seingat saya, Bang Farid selalu hadir di kelas saat diminta oleh koordinator instruktur, tak peduli waktu malam, cuaca mendung atau bahkan hujan deras.
Padahal, setahu saya, waktu itu bang Farid belum mempunyai kenderaan roda empat, namun dia selalu ada saat kami butuhkan.
Di sini saya belajar banyak tentang komitmen, kedisiplinan, dedikasi, dan loyalitas dari pribadi bang Farid.
Setelah saya diangkat menjadi dosen di IAIN Ar-Raniry (sekarang UIN Ar-Raniry), intensitas interaksi saya dengan bang Farid tidak lagi di lokasi training, melainkan di kampus, di masjid, dalam ragam pertemuan atau kegiatan Keluarga Besar PII, dan dalam aktivitas kemasyarakatan.
Dalam dua tahun terakhir kepemimpinannya sebagai Rektor UIN Ar-Raniry, saya diangkat sebagai Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama pada Fakultas Adab & Humaniora.
Dalam rentang masa inilah, interaksi kami lebih intensif.
Dalam masa ini pula, saya lebih memahami karakternya dan mereguk banyak ilmu darinya: tentang kepemimpinan, etika, kedisiplinan, kesederhanaan, persahabatan, keutamaan silaturrahim, simpati dan empati kepada orang lain, dan ragam “pelajaran hidup” yang lain.
Porsi terbesar dari pelajaran hidup itu tidak saya dapatkan melalui instruksinya sebagai atasan, atau nasihat sebagai seorang guru & senior, melainkan saya peroleh langsung melalui perilakunya yang uswatun hasanah dalam ragam peran/posisi yang diembannya.
Baca juga: Ini Kata Gubernur Aceh Nova Iriansyah Terhadap Sosok Almarhum Prof Farid Wajdi Ibrahim
Baca juga: Aceh Kehilangan Pemikir Teladan, Seribuan Orang Shalati Jenazah Prof Farid Wajdi
Bang Farid Patut Diteladani
Ruang yang terbatas ini tentu tidak cukup bagi saya untuk menuliskan satu-persatu perilaku Bang Farid yang patut diteladani.
Di antara perilaku teladan itu adalah mudah memaafkan dan tidak pendendam, baik kepada orang yang berbuat culas kepadanya maupun kepada orang yang membuat dirinya marah dan kesal.
Seringkali Bang Farid memarahi bawahannya tapi tak lama setelah itu dia bercanda ria sambil ngopi dengan orang yang dimarahinya itu.
Dia juga dikenal sebagai pribadi yang humble, mudah ditemui oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun.
Dia juga dikenal sebagai sosok yang memudahkan dan menyegerakan menuntaskan segala urusan orang lain yang terkait dengan dirinya.
Sebagai contoh yang sederhana, misalnya untuk menandatangani selembar surat, tak harus di atas meja kerja, tetapi bisa saja di lapangan bola kaki dengan punggung orang difungsikan sebagai meja.
Satu hal lain yang mungkin hanya diketahui oleh orang-orang yang dekat dengannya adalah bahwa dibalik kumisnya yang melintang garang dan suaranya yang lantang menggelegar, Bang Farid sesungguhnya seorang yang sangat humoris dan memiliki jiwa yang lembut dan penyayang.
Dia juga menyantuni dan memiliki hubungan baik dengan banyak anak yatim dan kaum dhuafa.
Setelah tidak lagi menjabat Rektor, Bang Farid disibukkan dengan aktivitasnya sebagai seorang organisatoris.
Beberapa organisasi bergengsi pada level provinsi dipimpinnya, seperti ICMI, Jam’iyatul Washliyah, dan Majelis Adat Aceh (MAA).
Di luar itu, dia dikenal sebagai da’i yang tegas dan keras menyuarakan kebenaran dan penderitaan rakyat.
Dia seringkali turun ke seluruh kabupaten/kota di Aceh untuk berdakwah. Gayanya berceramah serta materi yang aktual dan membela kaum muslimin telah menjadikannya sebagai ikon baru yang selalu dinantikan kehadirannya oleh masyarakat.
Ceramahnya yang lugas, berapi-api dan disertai kelakar, telah mendorong masyarakat menabalkannya sebagai Singa Podium Aceh.
Dalam situasi seperti ini, saat Bang Farid sedang menjadi oase di tengah kehidupan sosial-keagamaan masyarakat Aceh, malaikat Izrail menjemputnya.
Sabtu siang, 14 Agustus 2021 adalah hari yang kelabu bagi rakyat Aceh.
Banyak orang tak percaya dan shock menerima berita kepergiannya.
Sulit bagi kita menemukan pengganti sekaliber dirinya.
Tetapi bagaimanapun, Allah lebih mencintai Bang Farid daripada kita semua.
Selamat jalan abangku, guru, senior, atasan, mitra kerja, teman diskusi, dan teladan umat. Semoga husnul khatimah.
Yaa ayyatuha an-nafsu al-muthmainnah, irji’ii ilaa rabbiki raadhiyatan mardhiyyah…
*) PENULIS Bustami Abubakar adalah Dosen Fakultas Adab & Humaniora UIN Ar-Raniry dan Mantan Ketua Umum PD PII Kota Banda Aceh (1998-1999). E-mail: bustamiantro@gmail.com
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.