Kupi Beungoh

MoU Helsinki, Nasibmu Kini…

Surat itu juga saya tembuskan kepada Martti Ahtisaari dan Komite Politik & Keamanan Uni Eropa.

Editor: Mursal Ismail
For Serambinews.com
Fadhli Espece, Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 

Saya memaknai bahwa pensiunnya Martti Ahtisaari pada tahun 2020 yang lalu secara tidak langsung juga menyatakan bahwa ia telah selesai dan melepaskan diri dari agenda perdamaian Aceh.

Lantas bagaimana dengan kelanjutan implementasi MoU Helsinki? 16 tahun setelah kesepakatannya, MoU Helsinki tampaknya tidak lagi menjadi acuan pemerintah RI dalam segala kebijakannya untuk Aceh.

Pemerintah Aceh sendiri telihat tidak lagi memiliki bargaining yang kuat di hadapan Pemerintah RI. Buktinya, upaya yang dilakukan sedari dulu tidak memiliki dampak signifikan, selain menghabiskan APBA.

Pelanggaran atas MoU akan terus menjadi tontonan belaka di tengah masyarakat.

Sebenarnya penyelesaian atas pelanggaran-pelanggaran tersebut menjadi tanggung jawab Aceh Monitoring Mission (AMM).

Namun apa lacur, AMM telah dibubarkan pada 15 desember 2006. Sejak saat itu MoU Helsinki sudah mulai terombang-ambing.

Baca juga: Peringatan 16 Tahun Damai Aceh, Ini Pesan Gubernur Aceh

Pada tahun 2019, DPRA sempat membentuk Tim Kajian dan Advokasi MoU Helsinki dan UUPA yang diwakili oleh unsur dewan dan akademisi.

Beberapa bulan yang lalu, tim yang serupa juga dibentuk oleh Gubernur Aceh atas perintah Wali Nanggroe, dengan nama yang sedikit berbeda; Tim Pembinaan dan Pengawasan Pelaksanaan MoU Helsinki.

Bahkan, sampai Presiden Jokowi pun telah menunjuk Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko untuk menyelesaikan polemik ini. Tetapi, jangan tanya apa hasilnya. Gelap!

Kunjungan-kunjangan elit Aceh ke Jakarta untuk advokasi MoU Helsinki justru memperlihatkan ketidaksetaraan antara dua pihak yang berunding. Kesannya seperti anak yang meminta jatah jajan pada orangtuanya.

Mungkin tidak menjadi masalah jika tuntutannya itu dipenuhi.

Tapi apa yang terjadi adalah tim ini dan tim itu dibentuk terus, disaat yang bersamaan pembonsaian juga jalan terus. Elite-elite Aceh sibuk lobi sana dan lobi sini, namun implementasi MoU Helsinki tetap tidak pasti.

Ketidakpastian ini dapat menjadi boomerang bagi elit kuasa Aceh. Hal ini dianggap sebagai kegagalan penguasa di Aceh dalam mewujudkan kesepahaman yang telah ditandatangani.

Pada titik tertentu, perkara juga menjadi boomerang bagi rakyat sendiri. Misalnya dalam kasus bendera Bintang Bulan.

Sejak disahkan dalam Qanun Aceh, polemik tentang Bendera ini telah memakan banyak korban.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved