Jurnalisme Warga

Surat Terbuka dari Seorang Dokter Paru

Face shield dan masker yang saya pakai membuat suasana makin sunyi senyap. Kulit terasa panas, peluh mengalir deras, mulut mulai terasa kering

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Surat Terbuka dari Seorang Dokter Paru
for Serambinews
Dr. dr. BUDI YANTI, Sp.P Dokter Spesialis Paru dan Dosen FK USK, melaporkan dari Banda Aceh

Saya selalu menganggap bahwa diri saya adalah pribadi yang kuat.

Karena bila tidak, mungkin saya tidak akan sanggup menjalani profesi ini.

Tapi menghadapi kondisi pasien seperti Anda membuat saya menangis, tak bisa menahan air mata.

Anak Anda memohon pada saya agar berjanji mengupayakan agar Anda tetap hidup.

Saya bilang bahwa itu sangat sulit.

Sebagai dokter yang terlatih dengan kondisi berat nan payah ini, saya tak boleh menawarkan harapan semanis apa pun pada Anda dan keluarga.

Tapi melihat air mata yang mengalir deras dari anak remaja yang masih butuh kasih sayang ayahnya, saya tak sanggup menolak.

Walau bergetar, bibir saya bergerak dan saya katakan padanya,

“Saya berjanji akan berusaha keras, Dik.”

Saya bekerja siang malam. Tapi, para penipu di media sosial juga demikian.

Mereka memengaruhi orang-orang baik dan mempertaruhkan segalanya hanya berdasarkan pada kata-kata bohong dan bodoh.

Marah bukanlah kata yang tepat untuk apa yang saya rasakan.

Justru stres dan frustrasi begitu mendera saya.

Tapi kekuatan datang saat saya melihat Tinsyah, perawat di ruang pinere.

Dia merawat pasien di ruang itu dengan sangat baik.

Mulai dari perawatan sehari-hari hingga mengajak pasien senam pernapasan secara pasif.

Bukan demi bayaran yang besar, ucapan terima kasih, atau penghargaan di media sosial.

Dia kerjakan semuanya ikhlas agar seluruh pasien dapat segera membaik dan bisa pulang ke rumah.

Tapi saya bertanya-tanya dalam hati, bagaimana ia bisa bekerja ikhlas seperti itu?

Tiada ucapan terima kasih untuk kami pekerja di garis depan.

Yang ada hanya ejekan, hasutan, dan cacian dari para penyebar kebohongan yang menyapa kami di dunia nyata ataupun yang berseliweran di media sosial.

“Orang Aceh sudah tidak ada lagi urusan dengan dengan Covid. Bagi kami, Covid tidak ada. Aceh kebal Covid- 19,” kata mereka.

Kekuatan plus keistikamahan juga menghampiri hati saya saat melihat Karolia, sang terapis pernapasan.

Perempuan berhijab itu menghabiskan waktunya melatih pernapasan pasien yang mulai membaik.

Sungguh tak mudah menghadapi para pasien dengan berbagai tingkah.

Tapi Karolia adalah orang paling berempati yang saya kenal.

Merasakan ketabahan teman-teman saya itu, saya merasa lebih kuat, tak goyah ataupun lemah.

Walau pandemi sudah berjalan lebih dari 16 bulan, deru empati kami masih sama seperti dulu.

Meskipun kami difitnah meraup rupiah dari penyakit menular ini, kami tetap bekerja dengan setulus mungkin untuk pasien-pasien yang kami rawat.

Di malam sunyi sering saya bisikkan doa pada Allah Yang Mahakuasa, pemilik tubuh manusia.

Mohon bantu saya menepati janji pada anak-anak pasien saya.

Meskipun saya sulit untuk bisa memahami dan merasionalisasi keraguan dan penolakan Anda tentang vaksinasi, Anda akan tetap mendapatkan terapi yang terbaik dari seluruh tenaga kesehatan di sini.

Saat saya melihat tubuh Anda yang terbaring lemah, payah tak berdaya, saya tak melihat ada keinginan politis di sana.

Saya melihat seseorang yang membutuhkan bantuan saya.

Itulah alasan kami semua, para tenaga kesehatan, melakukan pekerjaan mulia ini.

Alangkah indahnya jika kita bersama-sama saling bantu, seperti yang diperintahkan Allah Swt, “Saling bertolonganlah dalam kebaikan dan ketakwaan, dan jangan saling menolong dalam dosa dan permusuhan.”

Sumber: Website PRISB USK

Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved