Internasional

Taliban Usir Minoritas Hazara dari Kampung Leluhurnya, Dituduh Anut Aliran Sesat

Penguasa Afghanistan, Taliban mengusir satu kelompok minoritas, kaum Hazara di Provinsi Daykundi. Kelompok itu dituduh menganut aliran sesat

Editor: M Nur Pakar
NBC News
Sebuah foto yang diambil oleh Mohammad menunjukkan keluarga Hazara di Provinsi Daykundi Afghanistan meninggalkan rumah setelah Taliban memerintahkan mengungsi dari rumah mereka bulan ini. 

SERAMBINEWS.COM, KABUL - Penguasa Afghanistan, Taliban mengusir satu kelompok minoritas, kaum Hazara di Provinsi Daykundi.

Kelompok itu dituduh menganut aliran sesat, sehingga Taliban meminta mereka meninggalkan rumahnya.

Hal itu dialami oleh Gulsom dua hari lalu, saat meninggalkan rumahnya dengan suami dan tiga anak perempuan mereka, seperti dilansir The NBCNews, Senin (11/10/2021).

Wanita berusia 25 tahun itu dan keluarganya, merupakan satu dari ratusan keluarga Hazara yang diusir paksa dari rumah mereka akhir bulan lalu.

Pengusiran memicu kekhawatiran bahwa etnis minoritas yang menjadi sasaran rezim Taliban Afghanistan sebelumnya dianiaya lagi.

“Itu sangat sulit,” kata Gulsom dalam pesan suara WhatsApp (WA) pada Kamis (7/10/2021).

Dia menambahkan Taliban telah mengambil segalanya dari mereka.

Baik Gulsom dan suaminya, Mohammad (35) lahir dan besar di sebuah desa kecil di provinsi Daykundi.

Sekaligus, sebagai tempat mereka tumbuh sebelum menikah dan memulai keluarga baru.

Baca juga: Mantan Komandan Taliban Diadili di AS, Bunuh Tiga Tentara Amerika dan Culik Wartawan Pada 2008

Pasangan itu, yang tidak ingin memberikan nama belakang atau nama desa mereka karena takut akan penganiayaan, mengatakan mereka mengandalkan pertanian makan.

Disebutkan, tanpa akses ke pertanian, mereka tidak tahu bagaimana akan bertahan hidup.

"Aku begitu bingung dan saya tidak bisa tidur,” kata Mohammad.

“Istri saya mengatakan, setiap malam dia mengalami mimpi buruk," tambahnya.

Untuk saat ini, keluarga tersebut menemukan tempat tinggal jangka pendek di sebuah rumah kosong milik seorang kerabat di ibu kota Kabul.

Mereka juga meminjam sejumlah uang dari seorang teman untuk membeli makanan.

Tetapi kerabat berencana menjual properti itu dan setelah itu, kata Mohammad, dia tidak bisa memprediksi masa depannya.

Juru bicara Taliban Bilal Karimi mengatakan telah terjadi perselisihan atas tanah di mana Gulsom, Mohammad dan keluarga Hazara lainnya telah tinggal.

Dikataka, pengadilan Syariah telah memutuskan mendukung penggugat, sehingga mereka harus pergi.

Tetapi seorang aktivis hak asasi manusia, Dr. Saleem Javed, mengatakan Taliban membenarkan pengambilalihan tanah Hazara yang telah lama dikuasai.

“Orang-orang ini telah tinggal di tanah leluhur mereka,” kata Javed, seorang Hazara yang tinggal di Swedia.

“Semua orang tahu, daerah itu milik Hazara,” tambahnya.

Javed, yang bersama dengan aktivis lainnya telah melacak tindakan Taliban di desa-desa Hazara.

Dia memperkirakan setidaknya 1.500 keluarga telah dipaksa keluar dari rumah mereka di Provinsi Daykundi dan Urugzan Afghanistan.

Meskipun dia mengatakan jumlahnya bisa dua kali lipat.

Dengan banyak dari mereka yang mengandalkan pertanian, situasinya bisa menjadi “bencana”.

Baca juga: Taliban Ancam Keluarga Mahasiswa Afghanistan di Inggris

“Orang-orang ini adalah petani sederhana, penduduk desa," ujarnya.

"Mereka tidak punya cara menghasilkan pendapatan, selain bertani” katanya.

“Tanah dan desa ini, milik mereka … Tapi Taliban tidak mengindahkan ini,” ungkapnya.

Daniel Balson dari Amnesty International mengetahui ratusan keluarga Hazara dipaksa keluar dari rumah mereka.

Tetapi dia tidak dapat memverifikasi berapa banyak orang yang telah mengungsi.

Dia juga memperingatkan, selain keluarga Hazara yang kehilangan satu-satunya mata pencaharian mereka, juga harus menghadapi suhu saat musim dingin.

"Sebentar lagi akan menjadi sangat dingin," katanya.

“Banyak dari orang-orang ini yang diusir dari rumah, tanah mereka dari desa mereka," jelasnya.

"Mereka akan menghadapi risiko dalam kehidupan yang sangat nyata. atau cara kematian," tambahnya.

Pemindahan itu terjadi setelah berminggu-minggu peringatan dari PBB dan kelompok hak asasi bahwa Hazara dan kelompok minoritas lainnya dapat dianiaya oleh Taliban.

Sebagian besar Muslim Syiah etnis minoritas, Hazara membentuk sekitar 9 persen dari total populasi negara yang berjumlah 40 juta orang.

Bberdasarkan organisasi non-pemerintah Minority Rights Group International.

Mayoritas orang Afganistan adalah etnis Pashtun dan Muslim Sunni, yang tidak memandang Syiah sebagai anggota sejati dari agama Islam.

Akibatnya, komunitas Hazara ditindas secara brutal oleh Taliban sebelum rezim garis keras digulingkan oleh invasi pimpinan AS pada tahun 2001.

Hazara juga sering menjadi sasaran Negara Islam kelompok teroris, yang memandang mereka sebagai bidat, dan kelompok militan Muslim Sunni lainnya.

“Pada 1990-an, Taliban membantai ribuan Hazara,” kata Azra Jafari, seorang aktivis dan politisi Hazara yang membuat sejarah pada 2008.

Dia menjadi walikota wanita pertama Afghanistan.

Dia menambahkan Hazara tetap menjadi “target utama Taliban” selama 20 tahun terakhir.

Setelah Taliban mengambil alih Afghanistan pada 15 Agustus 2021, Amnesty International mengatakan 13 anggota komunitas Hazara dibunuh.

Termasuk seorang gadis remaja oleh kelompok itu.

Sembilan diyakini tentara pemerintah yang telah menyerah, kata laporan itu.

Karimi membantah Taliban berada di balik pembunuhan itu, tetapi mengatakan mereka akan menyelidiki klaim tersebut.

Anggota Taliban lainnya telah dihukum karena melanggar amnesti umum, yang ditawarkan oleh kepemimpinan kelompok itu ketika mengambil alih kekuasaan, katanya.

Namun, Javed mengatakan khawatir pengusiran paksa adalah bagian dari cara Taliban untuk menguji seberapa banyak dapat lolos sebelum masyarakat internasional campur tangan.

Jika kelompok itu tidak diberi sanksi, katanya, akan kembali ke cara lama.

Baca juga: Presiden Terguling Afghanistan Sudah Perkirakan Kabul Jatuh ke Tangan Taliban

Gulsom dan Mohammad juga mengatakan kecewa dengan sikap diam masyarakat internasional di tengah penderitaan mereka.

“Saya heran negara-negara besar, perusahaan media besar, bahkan negara tetangga kita diam saja,” kata Mohammad.

“Tidak ada negara yang mengambil posisi atau menekan Taliban," tambahnya.

“Mengapa kita harus ditindas seperti ini?” tanya,.

“Bukankah kita orang Afghanistan juga?” ujarnya.(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved