Aturan Tes PCR Bisa Diperluas untuk Transportasi Darat, Anggota DPR Curigai Ada Kepentingan Bisnis
"Kalau memang harus dipaksakan (syarat wajib tes PCR), tolong jangan ada unsur bisnis di dalamnya," kata politisi PAN itu.
Puan mengatakan fasilitas kesehatan di Indonesia belum merata dan akan semakin menyulitkan masyarakat yang hendak bepergian dengan transportasi udara. Sehingga, dia menilai tes PCR itu seharusnya digunakan hanya untuk instrumen pemeriksaan bagi suspek Covid-19.
"Masyarakat juga bertanya-tanya mengapa PCR dijadikan metode screening, padahal PCR ini alat untuk diagnosa Covid-19. Dan perlu diingat, tidak semua daerah seperti di Jakarta atau kota-kota besar yang tes PCR bisa cepat keluar hasilnya. Di daerah belum tentu hasil tes PCR bisa selesai dalam 7x24 jam, maka kurang tepat ketika aturan tes PCR bagi perjalanan udara berlaku untuk 2x24 jam," kata Puan.
Maka itu Puan meminta pemerintah mendengarkan keluhan masyarakat tersebut agar tidak menodai prinsip keadilan.
"Tapi di aturan terbaru, syarat perjalanan bagi transportasi darat, laut, dan kereta api masih tetap memperbolehkan tes antigen 1x24 jam. Kebijakan yang tidak merata dan terkesan ada diskriminasi, harus di-clear-kan pemerintah," ujarnya.
Anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay curiga ada unsur bisnis dalam aturan syarat wajib tes PCR bagi penumpang pesawat yang mulai diberlakukan sejak Kamis (21/10) lalu itu.
"Kalau memang harus dipaksakan (syarat wajib tes PCR), tolong jangan ada unsur bisnis di dalamnya. Jadi tidak boleh ada persoalan pendemi itu yang bergandengan dengan persoaln bisnis," kata politisi PAN itu.
Saleh mengatakan, jika ada unsur bisnis dalam diberlakukannya tes PCR bagi penumpang pesawat, hal itu sangat tidak adil. "Hal ini tentu sangat tidak adil sekali," ucapnya.
Kalau memang tetap akan diperlakukan juga, lanjutnya, pemerintah harus memperhatikan kelengkapan alat untuk PCR di seluruh kabupaten/kota. Sehingga masyarakat tidak kesulitan dengan aturan tes PCR bagi penumpang pesawat tersebut.
"Aturan itu hanya berlaku efektif jika dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang mendukung dibelakukannya kewajiban tes PCR bagi penumpang pesawat. Kalau aturan itu tidak dilengkapi sarana dan pasarana, masyarakat akan mencari jalan lain untuk itu," ucapnya.
Baca juga: Joe Biden Tegaskan Tak Takut China, Amerika Serikat Siap Bantu Taiwan Pertahankan Kedaulatan
Adapun anggota Komisi IX DPR RI Nur Nadlifah menilai kebijakan yang dibuat Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian itu sangat memberatkan masyarakat.
"Ini kebijakan aneh. Percuma masyarakat diajak menyukseskan vaksinasi tapi kenyataan di lapangan masyarakat masih dibebankan dengan tes PCR. Seharusnya masyarakat tidak dibebankan dengan hal-hal yang mestinya tidak perlu dilakukan," ujar Nadlifah, Jumat (22/10).
Nur Nadlifah menilai pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang tidak bertolak belakang dan menimbulkan spekulasi publik mengenai konspirasi Covid-19 ini. "Kenapa saya bilang aneh? Kita selama ini berjuang mati-matian mengajak masyarakat untuk mau divaksin sehingga herd immunity tercapai. Setelah perlahan diterima publik, justru pemerintah sendiri yang merusaknya," ungkapnya.
"Contohnya kebijakan penumpang pesawat wajib PCR. Publik jadi berpikir, oh vaksin itu proyek bisnis kesehatan. Percuma vaksin wong masih wajib tes PCR," sambung Politisi Fraksi PKB itu.
Dia juga menilai Instruksi Mendagri Nomor 53 Tahun 2021 tetang PPKM yang mewajibkan tes PCR untuk perjalanan Jawa-Bali bertolak belakang dari keinginan pemerintah sendiri yang sedang bekerja keras melakukan percepatan pemulihan ekonomi.
Semestinya, kata dia, masyarakat yang ingin melakukan perjalanan dan sudah menerima vaksin dosis kedua cukup menggunakan rapid antigen.
“Meski saat ini sudah ada batas tertinggi, harga tes PCR bagi kebanyakan masyarakat masih tergolong mahal. Biaya tes PCR bisa 50 persen dari harga tiket pesawat," tutupnya.(tribun network/rin/den/dod)