Internasional
Pengembalian Perdana Menteri Sudan ke Pemerintahan, Cegah Perang Saudara Seperti di Suriah
Kesepakatan yang dibuat untuk mengembalikan Perdana Menteri Abdalla Hamdok telah menyelamatkan negara dari perpecahan.
SERAMBINEWS.COM, KHARTOUM - Kesepakatan yang dibuat untuk mengembalikan Perdana Menteri Abdalla Hamdok telah menyelamatkan negara dari perpecahan.
Dilaporkan, kudeta militer tidak sempurna telah menyelamatkan negara itu dari tergelincir perang udara, kata Volker Perthes, Utusan PBB untuk Sudan pada Jumat (26/11/2021).
Perthes berbicara tentang kesepakatan antara pemimpin militer Sudan dan Perdana Menteri Abdallah Hamdok, yang digulingkan.
Hamdok sempat dijadikan tahanan rumah setelah kudeta bulan lalu yang memicu kecaman internasional.
Pengambilalihan militer akan menggagalkan proses transisi demokrasi yang telah dimulai negara itu sejak penggulingan otokrat lama Omar al-Bashir.
Kesepakatan itu, yang ditandatangani pada Minggu (21/11/2021) malam dipandang sebagai konsesi terbesar oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan.
Namun, kelompok pro-demokrasi telah menolaknya dengan menyebut tidak sah.
Baca juga: Abdallah Hamdok Kembali Jadi Perdana Menteri Sudan, Berjanji Usut Pembunuhan Demonstran
Bahkan, menuduh Hamdok membiarkan dirinya menjadi jembatan untuk melanjutkan pemerintahan militer.
“Kesepakatan itu tentu saja tidak sempurna,” kata Perthes kepada The Associated Press (AP), Jumat (26/11/2021).
“Tetapi lebih baik daripada tidak memiliki kesepakatan dan melanjutkan jalan di mana militer pada akhirnya akan menjadi penguasa tunggal." tambahnya.
Kedua penandatangan merasa terdorong untuk membuat konsesi pahit untuk menyelamatkan negara dari risiko kekacauan dan isolasi internasional.
“Tidak mungkin untuk mengecualikan skenario yang akan membawa Sudan ke sesuatu yang dekat dengan apa yang telah kita lihat di Yaman, Libya atau Suriah,” kata Perthes.
Dia berbicara kepada AP melalui konferensi video dari Khartoum.
Sudan telah berjuang dengan transisinya ke pemerintahan yang demokratis sejak militer menggulingkan al-Bashir pada 2019.
Hal itu menyusul pemberontakan massal terhadap tiga dekade pemerintahan Bashir.