Opini
Memperkuat Fungsi Intelektual Publik
Dalam rentang tahun 2024 tidak satu lembaga negara pun yang mampu menjamin stabilitas ekonomi, politik, dan beragama di republik ini
Zulfata, M.Ag
Direktur Sekolah Kita Menulis (SKM)
Dalam rentang tahun 2024 tidak satu lembaga negara pun yang mampu menjamin stabilitas ekonomi, politik, dan beragama di republik ini. Kondisi sedemikian mengharuskan Indonesia mendapat tenaga tambahan dalam mewujudkan Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur.
Melalui keberadaan intelektual publik senantiasa dapat mengambil peran sebagai tenaga tambahan untuk memperkuat Indonesia. Sehingga Indonesia jauh dari perpecahan, kebencian saudara, politik sandiwara, hingga potensi praktsis yang kaya dan berkuasa memanipulasi yang miskin dan lemah.
Dengan adanya kaum intelektual publik, masyarakat akan tercerahkan saat agenda penjaringan politik 2024 semakin gencar dilakukan hari ini. Berbagai proses penjaringan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) beserta pemetaan koalisi yang berujung pada komposisi menteri nantinya sudah dalam pembicaraan para elite.
Baca juga: Agil dan Aida Duta Pelajar Sadar Hukumsadar
Artinya, elite politik jauh lebih visioner daripada kaum intelektual publik dalam menentukan kondisi masa depan Indonesia. Atas kondisi inilah kaum intelektual publik harus mampu mendongkrak daya kesadarannya dan daya konsolidasi kerakyatan untuk mampu mengimbangi kekuatan elite dalam merancang masa depan Indonesia melalui Pemilu 2024.
Harus disadari bahwa poros intelektual publik bukanlah akademisi yang berada di perguruan tinggi, dan bukan pula intelektual partai politik (parpol), serta bukan pula intelektual yang mahir memanipulasi ajaran agama demi menguatnya kekuasaan jangka pendek. Jauh dari itu, intelektual publik adalah manusia yang tercerahkan tanpa takut pada penguasa dan senantiasa terus memperjuangkan hak-hak rakyat.
Kaum intelektual tidak semata-mata mengabdi pada lembaga pendidikan formal, namun pikiran, strategi dan taktiknya untuk mendongkrak kekuatan rakyat menjadi panglima kekuasaan di Indonesia.
Kaum intelektual publik muncul sebagai antitesis dari keberadaan kaum akademisi yang lebih memilih zona nyaman dan ada pula yang tunduk di hadapan kekuasaan sepihak, sehingga pikiran dan kontribusi karyanya tidak benar-benar untuk meningkatkan kekuatan moral dari rakyat untuk rakyat.
Kehadiran kaum intelektual publik berusaha mengembalikan spirit dan praktik para tokoh pendidik sekaligus pendiri bangsa yang menjadikan pendidikan sebagai ujung tombak melawan praktik penjajahan di atas permukaan bumi.
Di balik tanggung jawab kaum intelektual publik ini terdapat praktik penjajahan atas nama pendidikan yang harus dibongkar. Semakin banyak yang menyelesaikan strata pendidikan, semakin banyak pula kesenjangan. Semakin banyak yang memiliki gelar akademik, semakin tinggi pula angka penganggguran.
Semakin tinggi kelompok yang mengaku bergama, semakin tinggi pula praktik yang tidak mendamaikan antarrakyat dan pejabat negara.
Yang seharusnya dengan kekuatan pendidikan dapat mendongkrak kemerdekaan rakyat, justru hari ini terlihat adalah pendidikan tunduk pada agenda-agenda politik lima tahunan. Belum lagi problem adanya guru besar yang mengejar posisi di ketek kekuasaan sesaat.
Diakui atau tidak, arah kekuatan kaum intelektual hari ini tidak sedang menuju pencerdasan publik layaknya yang dicita-citakan dalam pembukaan UUD 1945. Wujud kekuatan intelektual menjadi ilusi. Saat ini wujud intelektual tersebut menjadi pekerja formal, tidak lagi menguat pada pekerja sosial yang mendongkrak tingkat partisipatif rakyat dalam menciptakan stabilitas negara lintas sektor.
Apa yang terjadi pada kalangan intelektual Indonesia hari ini? Apakah kalangan yang mengaku sebagai kaum intelektual merasa bangga ketika tidak ikut campur membenahi permasalahan politik bengsa dan negara? Atau sudah meyakini bahwa tanggung jawab intelektual bukan lagi mengurus rakyat, tetapi mengurus dirinya sendiri?
Baca juga: Guru Besar UIN Ar-Raniry Tausiah di Pidie