Opini
Memperkuat Fungsi Intelektual Publik
Dalam rentang tahun 2024 tidak satu lembaga negara pun yang mampu menjamin stabilitas ekonomi, politik, dan beragama di republik ini
Sederet pertanyaan di atas menajdi secuil alasan mengapa fungsi intelektual publik mesti diperkuat. Langkah memperkuat fungsi intelektual publik tidak hanya dapat dilakukan melalui lembaga-lembaga pendidikan formal, tetapi juga dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan non-formal, baik berbentuk organisasi terorganisir maupun sporadis.
Mencermati langkah untuk memperkuat fungsi intelektual publik semakin hari semakin besar tantanganya. Berbagai tantangan bertubi-tubi menghampiri Indonesia, bukan saja datang dari dalam negeri tetapi juga luar negeri melalui mekanisme kerja pasar global. Tantangan dari luar negeri tersebut hadir bukan saja karena tidak diundang, tetapi juga melalui undangan dalam bentuk kerjasama antarnegara.
Dengan mengangkat semangat dan komitmen kolektif untuk memperkuat fungsi intelektual publik ini senantiasa semua warga negara di Indonesia maupun di luar Indonesia, atau dari warga di ibu kota hingga ke desa (gampong), turut terpanggil untuk bersama-sama membangun iklim sosial agar fungsi intelektualitas publik itu menjadi alat kontrol publik menuju cita-cita negara Republik Indonesia.
Baca juga: Kemenparekraf Tetapkan Kampung Selamat Sebagai Desa Wisata
Subjek atau sosok intelektual publik tersebut bukan saja dari kalangan yang berprofesi sebagai pengajar atau dosen (penceramah), bukan saja praktisi politik dan ekonomi, bukan saja kalangan agamawan, tetapi subjek kaum intelektual publik dapat berasal dari semua warga negara yang senantiasa menjaga martabat bangsa melalui pencerahan masyarakat dan senantiasa selalu berada di sisi masyarakat.
Tanggung jawab kuam intelektual bukan saja mengembalikan filosofi pendidikan dari rakyat untuk rakyat dan kemudian menjadikan kekuasaan yang ramah dengan praksis memanusiakan manusia. Jauh dari itu, tanggung jawab kaum intelektual adalah mewariskan semangat egaliter kemanusiaan yang kemudian tidak membolehkan kekuasaan liar dengan sendirinya sembari menimpa rakyat dari hari ke hari.
Untuk itu, dengan tegas disebut bahwa kehadiran intelektual publik adalah dari rakyat untuk rakyat, bukan dari kampus untuk kempus, atau dari kampus untuk istana.
Disadari atau tidak, seiring “berdamai” dengan covid-19, postur sosial politik semakin berubah, arah pendidikan juga semakin deras berubah, demikian pula pasar di belakangnya juga siap berubah dalam menampung kebutuhan manusia. Atas kondisi perubahan yang begitu cepat tersebut diharuskan kaum intelektual publik tidak mudah goyah dengan banyaknya tantangan yang dihadapi.
Baca juga: Traktor Bantuan APBN Masih di Gudang
Mungkin saat ini kita telah sampai apa yang dikatakan Presiden Soekarno bahwa “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri”.
Melalui argumentasi visionernya Presiden Soekarno senantiasa harus menjadi renungan, kajian serta tindakan nyata apa yang mesti digarap oleh kaum intelektual publik dan publik itu sendiri.
Apa yang diuraikan dalam tulisan ini bukanlah sesuatu yang menggiring pada lemahnya fungsi perguruan tinggi dan karya-karya yang diterbitkannya dalam menciptakan stabilitas nasional dari sektor pendidikan pencerahan publik. Tetapi tulisan ini mencoba mengajak publik untuk mencermati bahwa semestinya semakin banyak perguruan tinggi, semakin banyak pula manusia merdeka.
Semakin banyak lembaga civil society, seharusnya semakin kuat keadaban dalam bernegara. Semakin banyak para pendidik, semestinya semakin banyak pula rakyat yang tercerahkan.
Akhirnya, marilah lihat ke belakang dan kondisi Indonesia hari ini, pendidikannya seperti apa? Kaum intelektualnya berlagak seperti apa? Inilah wajah kita, wajah Indonesia. Selamat Guru Nasional!