Opini
Jangan Bermental Pengemis!
Selain kemacetan yang tidak terkendali seperti biasanya, terdengar suara syiar dakwah yang dilantunkan oleh oknum pemuda berpakaian rapi layaknya

Oleh M.Anzaikhan, S.Fil.I., M.Ag Dosen Fakultas Syariah IAIN Langsa dan Founder Pematik
Ada yang menarik ketika saya memperhatikan hiruk-pikuk pasar pada salah satu kota di Aceh.
Selain kemacetan yang tidak terkendali seperti biasanya, terdengar suara syiar dakwah yang dilantunkan oleh oknum pemuda berpakaian rapi layaknya ustadz atau ulama.
Sembari memegang pengeras suara (toa), ia berjalan ke sana dan kemari untuk memberi tausiah dengan berjalan kaki.
Sepintas itu kelihatan luar biasa, dan saya mengagumi semangat dakwahnya dengan metode yang unik.
Jika biasanya tausiah dilakukan di masjid atau pusat pengajian, kini dilakukan di tengah pasar di mana orang-orang pada sibuk dengan proses jual-beli.
Namun ada yang menganggu kekaguman itu, oknum tersebut membawa keranjang dengan harapan menerima sumbangan dari para pengunjung pasar.
Lebih dari itu, saya melihat ada rekan yang berbaju mirip dengannya (sorban ala timur tengah) yang langsung masuk ke toko-toko untuk menadah tangan dengan keranjang yang serupa.
Kemudian saya berfikir, “Apakah ini model meminta-minta gaya baru?” Sebenarnya saya tidak terlalu masalah dengan fenomena itu, namun jika melihat kondisi fisik yang sangat muda.
Baju yang putih bersih bak harum toko, serta nilai-nilai spiritual yang dilantunkan ke sudut- sudut jalan.
Saya fikir, mereka malah berkompetisi dengan para pengemis tulen, termasuk yang dalam kondisi cacat, buta, dan menggunakan pakaian compang-camping.
Baca juga: 5 Fakta Kakek Suhud, Pria Tua yang Dimarahi Baim Wong dan Disebut Pengemis, Bikin Hati Teriris!
Baca juga: Baim Wong Minta Maaf Usai Bilang Kakek Suhud Pengemis, Sebut Teguran Disaat Hari Kelahiran Sang Anak
Uniknya lagi, ketika tausiah digemakan, tak jarang beradu suara dengan lagu-lagu dangdut yang dinyanyikan tuna netra.
Tak lama setelah memerhatikan para peminta-minta dengan berbagai style dan kondisi, saya melihat ada salah seorang anak di bawah umur yang ke sana kemari menjual kerupuk di pinggangnya.
Meskipun masih belia, ia tidak menadah tangan dan aktif mencari rezeki dengan jalan yang lebih terhormat.
Bahkan yang membuat saya terkejut, ia turut memberikan sebagian uang recehnya untuk penceramah yang bertausiah sebelumnya.
Fenomena ini kemudian membuat saya mengambil kesimpulan; “Ini bukan lagi perkara mampu atau tidak mampu, tapi sudah persoalan mental pemberi atau peminta.
” Kemudian saya teringat sebuah istilah; “Di balik tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat.
” Ternyata tidak semua hal bisa digeneralisasikan seperti itu.
Masih banyak kenyataan di lapagan orang yang cacat namun jiwanya tegar.
Ia pantang mengeluh dan tidak menjadikan kekurangannya untuk menerima belas kasihan dari pihak lain.
Begitu juga dengan tubuh yang sehat, tidak semua dari mereka jiwanya baik-baik saja.
Buktinya, kebanyakan pasien rumah sakit jiwa adalah oknum-oknum dengan kondisi sehat.
Begitu juga dengan penghuni penjara, meskipun berfisik lengkap namun jiwanya (moral) bermasalah.
Baca juga: Peminta Sumbangan Bersorban di Aceh Utara Ditangkap Warga dan Jadi Tersangka, Ini Sebabnya
Padahal, Aceh adalah bangsa yang memiliki sejarah besar.
Filosofi orang Aceh, menjunjung tinggi harga diri dan bukan tipe peminta-minta.
Bahkan, ketika Indonesia membutuhkan bantua Aceh, masyarakat Aceh menyumbangkan emas-emas mereka sehingga Republik Indonesia memperoleh pesawat jenis Dakota dengan nomor sayap RI-001.
Pesawat sumbangan rakyat Aceh ini memainkan peran vital dalam terbentuknya diplomasi Indonesia yang masih morat-marit masa itu.
Ini menunjukan, bahwa karakter bangsa Aceh adalah sosok pemberi (tangan di atas).
Bukan peminta-minta seperti yang belakangan marak di sana-sini.
Seharusnya, bila masyarakat Aceh memiliki spirit mental masa lalu, harus membiasakan budaya memberi (dermawan).
Jika dulu masyarakat yang membantu negara, mengapa hari ini justeru banyak oknum yang menadah tangan pada bantuan pemerintah? Realita menjadi bukti, ketika ada bantuan dari pemerintah, (baik itu dana desa, dana Covid-19, bansos dan lain sebagainya), kuota yang diberi selalu kurang dengan jumlah penerima.
Masyarakat saling beribut, bahkan berlomba-lomba membuktikan diri bahwa dirinyalah yang paling miskin (layak).
Saya melihat ini bukan lagi sebagai fenomena ekonomi, namun lebih kepada fenomena psikologi sosial.
Mental masyarakat hari ini didominasi oleh oknum-oknum penadah tangan.
Baca juga: Kisah Ahmad Nur, Pemuda Bersorban dan Wajah Penuh Tato, Ingin Jadi Pendakwah, Hafiz 24 Juz Al-Quran
Mereka merasa bangga dan bahagia ketika memperoleh uang atau sembako gratis.
Mental ini kemudian menjadi satu kesatuan di masyarakat, bertransformasi dengan berbagai budaya dan pandangan hidup sehingga terciptalah sebuah bangsa penadah tangan.
Seharusnya, masyarakat Aceh harus membudayakan memberi.
Kebiasaan memberi akan mengubah pola fikir untuk berupaya menjadi orang yang berekonomi lebih.
Ini menjadi batu loncatan untuk memotivasi semangat kerja sehingga pantang untuk bersifat malas-malasan, apalagi meminta-minta.
Bila mental masyarakat Aceh seperti ini, maka tidak akan ditemukan para peminta-minta di berbagai sudut kota apalagi yang mengatasnamakan agama.
Pada sebuah hadis dijelaskan; “Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.
Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu.
Dan sebaik-sebaik sedekah adalah yang dikeluarkan dari orang yang tidak membutuhkannya.
Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya, maka Allah akan menjaganya dan barangsiapa yang merasa cukup, maka Allah akan memberikan kecukupan kepadanya.
”(HR.Bukhari dan Muslim) Hadis ini dengan jelas mengintruksikan kepada kita, bahwa kemampuan financial manusia diawali dari keyakinan (optimis) bahwa dirinya cukup dan mampu.
Allah SWT sudah menjamin, bahwa rezeki seseorang akan dipermudah bila ia semakin kuat dan tekun dalam berikhtiar.
Pada sebuah hadis dijelaskan bahwa tangan yang paling disukai Rasulullah SAW adalah tangan-tangan yang kasar (kapalan).
Hadis ini mengintruksikan bahwa Nabi suka dengan muslim yang pekerja keras, apalagi dengan kerja kerasnya ia menjadi mapan dan dermawan.
Pengemis berdasi Berbicara mental pengemis, ternyata tidak hanya eksist di jalanan, namun ada pula yang berada di kantor, bahkan di dalam masjid.
Pengemis di kantor adalah pihak-pihak yang hanya mengandalkan proyek atas dasar kemampuanya dalam ‘menjilat’ pimpinan atau stakeholder.
Padahal, seorang dianggap profesional dan terhormat jika ia mampu mendapatkan proyek atas dasar kinerja dan prestasinya.
Oknum-oknum pengemis berdasi inilah, yang terkadang membuat sebuah lembaga rusak dari dalam.
Adapun pengemis di masjid, adalah fenomena-fenomena dimana imam atau khatib dijadikan lahan bisnis.
Berdasarkan hasil diskusi di lapangan, terdapat oknum pengurus masjid (BKM) khususnya wilayah kota besar Indonesia, yang memilih imam tetap atas dasar bagi hasil di bawah meja.
Sebagai contoh, pihak A memilih pihak B sebagai imam tetap karena pihak B setuju gaji bulannya diberikan sekian persen kepihak A.
Baca juga: Wasekjen PBNU Pulang Kampung, Ingin Jadikan Aceh Tamiang Pusat Dakwah Ahlussunnah Wal Jamaah
Bila kandidat imam menolak, maka ia akan tereliminasi dan digantikan oleh pihak yang bersedia.
Bayangkan, dimana kehormatan ketua BKM jika dana masjid pun berani digarap.
Lagi-lagi ini bukan perkara miskin atau kaya, namun perkara mental.
Seseorang yang mentalnya bermasalah, gaji selangit pun ia akan suka memakan yang bukan haknya.
Nauzubillah!
Baca juga: Sering Berperan Antagonis hingga Pasang Susuk & Punya Jimat, Aktor Ini Kini Hijrah jadi Pendakwah
Baca juga: Dari Pertemuan dengan Aktivis Dakwah Aceh, Ini Sederet Saran Ustaz Abdul Somad