HUT Ke 33 Serambi Indonesia

33 Tahun Serambi Indonesia: Phaederus, Acta Diurna dan Sjamsul Kahar

Dalam hal menulis, Senat Romawi pada masa itu, melaporkan pekerjaan lembaga itu kepada publik yang ditulis pada batu menir yang dipahat.

Editor: Amirullah
SERAMBINEWS.COM/Handover
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Oleh: Ahmad Humam Hamid*)

Kalaulah ada sebuah kesalahan filosof klasik Yunani yang pernah dibuat Plato, yang hidup sekitar 400 tahun sebelum Masehi, adalah nasihatnya tentang tidak perlunya tulisan.

Dalam wawancara imajinatifnya antara Socrates dengan Phaderus, Plato menyebutkan tulisan dapat membuat ingatan menjadi lemah, karena mengurangi ingatan dan yang seharusnya dipikirkan.

Plato menyebut tulisan akan membuat orang tidak mau berpikir, karena tidak lagi diperlukan ingatan.

Konsentrasi energi untuk berpikir tidak lagi dibutuhkan, karena apa yang diperlukan akan didapatkan dari luar sana yang ditulis oleh orang lain.

Esensi penting untuk Plato, tulsian adalah ancaman untuk keberlanjutan latihan memori dan berpikir.

Kita tidak tahu ketika Republik Romawi, musuh bebuyutan Yunani Kuno, pada tahun 131 sebelum Masehi sama sekali mengabaikan anjuran Plato itu.

Padahal, banyak sekali kehebatan Romawi yang dijiplak dari Yunani.

Baca juga: Jenderal Andika Berpeluang Pensiun 2024, Aturan Usia Pensiun TNI Digugat ke MK

Dalam hal menulis, Senat Romawi pada masa itu, melaporkan pekerjaan lembaga itu kepada publik yang ditulis pada batu menir yang dipahat.

Batu pahatan itu dinamakan Acta Diurna yang artinya “Laporan Harian Umum”, dan diletakkan di lokasi tempat sering berkumpulnya masyarakat sehari-hari.

Dengan cara itu Senat Romawi berkomunikasi harian atau mingguan dengan publiknya.

Adalah Julius Cesar pada tahun 59 sebelum Masehi yang memerintahkan agar Acta Diurna, yang memberikan legalitas yang lebih besar, bahkan dengan menggunakan cetakan di lembar papirus, tehnologi kertas yang dibawa oleh Julius Cesar dari Mesir ketika ia menaklukkan Mesir dan mengawini Cleopatra.

Acta Diurna semakin mendapat tempat dalam kehidupan Romawi ketika disebarkan secara lebih banyak.

Baca juga: Lestarikan Budaya Leluhur, Dharma Wanita Persatuan Perkim Pidie Adakan Teot Apam Massal

Seperti diceritakan oleh Mitchell Stephens dalam bukunya” A History of News From the Drum to the Satellite” (2013), Acta Diurna kemudian berkembang tidak lagi hanya sebagai alat komunikasi pemerintah Romawi dengan publiknya, akan tetapi telah berkembang menjadi ajang pemberitaan politik, keamanan, astrologi, cerita manusia, kematian, perkawinan, kejahatan korupsi di berbagai provinsi Romawi, dan bahkan ajang gossip para elit.

Uniknya berita di kertas papirus itu menggunakan tulisan tangan.

Koran itu kemudian berkembang antara hidup dan mati seiring dengan lenyapnya Republik Romawi, dan dimulainya era diktator dan kaisar.

Kisah Serambi Indonesia

Cerita lahirnya Serambi Indonesia 33 tahun yang lalu sama sekali tidak dapat disandingkan dengan sejarah Acta Diurna, sekalipun asbabun nuzulnya mempunyai kemiripan dengan urgensi Aceh pada masa itu yang butuh pemberitaan dari, oleh, dan untuk lokal Aceh.

Sekalipun nuansa lokalnya sangat kental, Serambi Indonesia tetap saja tidak mau berlaku dan terkesan lokalistik.

Tambahan kata Indonesia adalah unik, karena bagi banyak pihak Aceh terkenal sebagai daerah Serambi Mekah.

Baca juga: Inilah Kura-kura Tertua Tercatat di Buku Rekor Dunia, Berumur 190 Tahun, Libidonya Tak Pernah Turun

Menurut cerita adalah Ibrahim Hasan yang mengusulkan nama Serambi Indonesia untuk nama koran itu, karena bukankah Aceh menjadi kawasan Indonesia paling barat yang langsung berhadapan dengan siapapun yang akan ke Indonesia, baik dari sebagian besar Asia, Afrika, dan bahkan seluruh kawasan Eropah, dan sebagian Amerika Serikat?

Ibrahim Hasan adalah pemimpi, pelaku, dan pemimpin.

Ia telah mengenal baik Sjamsul Kahar, perwakilan, sekaligus wartawan Harian Nasional Kompas.

Kita tidak tahu apakah mereka membaca habis tentang naifnya Plato, dan hebatnya Romawi tentang pemberitaan dan komunikasi publik.

Yang pasti, sekalipun Aceh pernah mempunyai berbagai media cetak pada masa pra dan pasca kemerdekaan, bahkan ketika awal Orde Baru, pada tahun 80an, koran Aceh memang ada, namun dalam kenyatannya sering kali “tiada”.

Persoalan koran Aceh pada masa itu yang diwakili oleh Aceh Post, Harian Mimbar Swadaya, dan Peristiwa.

Nyaris semua koran itu berada dalam ruangan ICCU penerbitan, kadang bernapas, seringkali megap-megap.

Alasan utamanya? Karena persoalan modal keuangan yang megap-megap, dan barangkali juga persoalan sumber daya manusia.

Hal itu sangat disadari oleh Ibrahim Hasan pada tahun 1989.

Sebagai gubernur yang baru saja dilantik, ia sangat berambisi membangun konektivitas informasi publik ke seluruh Aceh setiap hari.

Ibrahim Hasan mengenal baik Sjamsul Kahar, demikian juga sebaliknya.

Menggunakan istilah Acta Diurna, Sjamsul tidak saja seorang diurnarii -jurnalis profesional. Ia juga seniman dan
pembelajar yang sangat serius.

Pengalaman kewartawanan dan kecendikiaannya sangat cocok dengan kimia pikiran dan wawasan Ibrahim Hasan yang berambisi besar membangun Aceh.

Baca juga: Smile Train Gelar Operasi Bibir Sumbing dalam Rangka Memeriahkan HUT Ke-33 Serambi Indonesia

Nourhalidin, Mimbar Swadaya, Hingga Bustanul Arifin 

Serambi Indonesia tentu saja mustahil terbit tanpa keterlibatan Nourhalidin, sang pemilik dan pemimpin redaksi Harian Mimbar Swadaya yang kemudian bertransformasi menjadi Serambi Indonesia.

Ada “kemarau” izin penerbitan media pada masa Orde Baru, dan berkat Harian Mimbar Swadaya itulah, Serambi Indonesia lahir.

Kelahiran Serambi Indonesia tidaklah sangat gampang, karena memang yang dibutuhkan tidak hanya keinginan dan ambisi.

Yang dibutuhkan mobilises besar-besaran, terutama keuangan, keahlian, dan jaringan.

Keunggulan mobilisasi sumber keuangan, tanpa ditopang oleh keahlian dan jaringan tentu saja akan sia-sia, demikian juga sebaliknya.

Seorangpun mungkin tidak tahu apakah mendiang Jacob Utama, pendiri dan pemilik Group Kompas Gramedia, akan mau ikut terlibat dalam penerbitan Serambi Indonesia, tanpa keterlibatan Sjamsul Kahar?

Selanjutnya banyak pihak yang juga tidak tahu betapa Group Kompas tidak akan mau berinvestasi tanpa ada mitra lokal yang kuat dan handal.

Ketika sampai pada mobilisasi sumberdaya keuangan peran Ibrahim Hasan menjadi sangat penting.

Ia mampu meyakinkan keluarga Bustanil Arifin untuk ikut berinvestasi di media baru-Serambi Indonesia- yang terbit di Aceh pada masa itu.

Bahkan menurut kabar, adalah Ibrahim Hasan juga yang mampu meyakinkan PT Pupuk Iskandar Muda untuk ikut berinvestasi pada masa-masa awal terbitnya harian Serambi Indonesia.

Kini Harian Serambi Indonesia telah berumur 33 tahun, dan mungkin tidak banyak sejawat media Harian Serambi di berbagai daerah lain yang masih eksis seperti Serambi Indonesia.

Berkaca dari Acta Diurna Romawi klasik, Serambi Indonesia telah berjasa besar dalam komunikasi publik di daerah ini.

Tentu saja ada masa pasang dan surut, dan perang narasi dari berbagai kepentingan yang kadang secara sengaja atau tidak turut berimbas kepada media ini.

Koran ini yang pada misi awalnya menyebutkan keiinginnya untuk untuk mencerdaskan publik Aceh dengan keserasian intelektual, dan religiusitas dalam bingkai persatuan dan semangat zaman.

Semboyan pada masa orde Baru itu kemudian berobah lagi pada masa era reformasi menjadi independen dan kredibel.

Kebaruan dan semangat zaman adalah kunci keberlanjutan sebagai hukum besi evolusi, termasuk evolusi media.

Semangat itu pula yang terus menerus diperjuangkan oleh Serambi Indonesia.

Baca juga: Serambi Indonesia, Korannya Orang Aceh

Sang Maestro Sjamsul Kahar

Tidak dapat dibantah sejak lahirnya Serambi Indonesia 33 tahun yang lalu, konektivitas informasi publik yang diimpikan Ibrahim Hasan tentang media lokal yang mumpuni sebagian besarnya telah terpenuhi.

Beragam peran terus menerus dijalankan, opini publik agenda politik, sosialisasi dan edukasi, pengawasan pemerintahan, dan juga hubungan publik dengan pemerintah.

Kepeloporan dan keberlanjutan Serambi Indonesia hari ini tidak terlepas dari peran sang Maestro, Sjamsul Kahar yang telah melahirkan dan membesarkan koran ini.

Sekalipun banyak yang datang dan pergi ke dan dari Serambi Indonesia, namun kepemimpinan Serambi Indonesia tetap berada di tangan dingin sang Maestro.

Ia dipercaya oleh pemilik, diikuti oleh pekerjanya, dan dihormati oleh berbagai kalangan.

Sjamsul Kahar kini menjadi semakin senior secara pengalaman dan usia.

Dalam jangka waktu 33 tahun banyak rekaman peristiwa dan narasi perjalanan Aceh telah lewat di mata, telinga, dan pikirannya, setiap saat, dan setiap hari.

Sangat pantas bila Sjamsul Kahar membeberkan catatan hariannya kepada publik tentang apa saja yang telah terjadi selama ia memimpin salah satu koran daerah terkemuka di Indonesia.

Ia memimpin Serambi Indonesia ketika lahir, memelihara kesinambungan ketika krisis moneter 1997, mendayung sampan dalam kecamuk konflik GAM-RI, dan membangkitkan kembali Serambi Indonesia dari kehancuran Tsunami.

Kini ia adalah buku hidup seluruh peristuwa Aceh-paling kurang untuk masa 33 tahun-, baik yang terungkap, yang tersingkap, dan yang belum tersingkap.

Mudah-mudahan, dalam waktu yang tidak lama lagi, ia akan membuktikan lagi untuk kali kedua bahwa ia tidak setuju dengan Plato, tentang tidak perlunya tulisan.

Mudah-mudahan ia akan mengikuti jejak Pemimpin Redaksi 15 tahun Financial Times, Lionel Barber yang menulis pengalamannya memimpin Financial Times.

Judul catatan harian Barber The Powerful and The Dammned (2021) adalah gambaran keadaan masa lalu yang bergejolak di Inggris diungkapkan dengan menggunakan lensa masa kini.

Adalah sangat menarik bila 33 tahun memimpin Serambi Indonesia dapat menjadi sebuah dokumen unik yang enak dibaca dan dapat menjadi cermin bagi siapapun yang ingin tahu hampir semuanya tentang Aceh.

Sjamsul Kahar sangat mampu menggunakan lensa masa kini untuk melihat Aceh masa lalu.

Dirgahayu Serambi Indonesia, sehat dan panjang umur Sjamsul Kahar.(*)

*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca juga: Denny Sumargo Digugat Hampir Rp 1 Miliar oleh Mantan Manajer Gara-gara Kasus Ini

Baca juga: Momen Marc Marquez Tiba di Lombok, Makan Nasi Kotak hingga Nikmati Sunset dari Bukit Seger Mandalika

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved