Jurnalisme Warga
Daya Tarik Rencong di Mata Gadis Betawi
Dengan mengangkat penelitian yang berlatar belakang sejarah Aceh, saya memulai perjalanan hingga sampai di ‘Tanah Aulia’ tersebut

Rencong itu pula yang pada akhirnya menginspirasi saya untuk melakukan kunjungan ke Gampong Baet Lamphuot, Aceh Besar, saat saya masih menjalankan program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) di Aceh.
Walaupun saya sudah mendengar sedikit cerita tentang filosofi dari rencong ini, tetapi saya baru memahami lebih banyak mengenai filosofi, kegunaan, dan pembuatan rencong, saat saya mengunjungi Baet Lamphuot.
Seperti tulisan saya sebelumnya berjudul “Menelusuri ‘Kampung Rencong’ di Suka Makmur, Aceh Besar” pada 29 November 2021, terdapat setidaknya empat macam bentuk rencong seperti: rencong meupucok, rencong meucugek, rencong pudoi, dan rencong meukuree.
Baru saya sadari bahwa rencong yang sekarang saya miliki ternyata masuk dalam kelompok rencong meucugek dengan bahan dasar logam kuningan.
Jenis rencong ini umum dipakai para hulubalang (uleebalang) dan para laksamana/bentara dengan penggunaannya yang diselipkan di samping pinggang maupun tertutup lipatan kain.
Rencong menjadi senjata yang unik, tetapi mematikan jika digunakan.
Berbeda dengan keris di Jawa ataupun golok di Jakarta yang mata pisaunya sejajar dengan arah gagang untuk pegangannya.
Baca juga: Rencong Batu, Inovasi Poltas yang Tembus Nominasi API 2020
Mata rencong justru bertolak belakang dengan arah gagang untuk pegangannya.
Dengan ukurannya yang kecil dan runcing di ujung mata pisaunya, serta didukung dengan bentuk mata pisau yang demikian memudahkan untuk melumpuhkan musuh dengan jarak dekat tanpa disadari sebelumnya.
Tidak cukup sebatas itu saja, saya pun baru menyadari bahwa rencong itu sendiri sejatinya secara imajiner membentuk tulisan basmalah.
Hal ini dapat dilihat secara saksama dari gagang pegangannya.
Jika kita perhatikan saksama, lengkungan pada bagian gagangnya secara imajiner membentuk huruf ‘ba’ dalam bahasa Arab.
Begitu pula berlanjut pada bujurnya yang membentuk huruf ‘sin’, lalu pada bagian di bawah pangkal yang melekat dengan besi tubuh pisau membentuk huruf ‘mim’, hingga ujung tubuh pisau yang runcing membentuk huruf ‘ha’.
Filosofi yang tertangkap dari wujud senjata ini adalah selalu mengingat Tuhan dalam setiap perjalanan hidup kita dan meyakini tidak ada tempat memohon perlindungan yang lebih baik daripada memohon perlindungan Tuhan dari segala bahaya.
Juga saat kita sedang berjuang dalam perang kita telah termasuk dalam golongan mujahid hingga saat kita mati, kematian kita termasuk dalam syahid yang mendapat kemuliaan tertinggi.