Kawin Paksa Masuk Delik Pidana, Pelaku Kekerasan Seksual Minimal Dihukum 4 Tahun Penjara

Eddy mengatakan perbudakan seksual lebih luas dari Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) karena bermotif ekonomi.

swissinfo.ch
ILUSTRASI pelecehan seksual. 

SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menyebut bahwa kawin paksa dan perbudakan seksual akan menjadi delik pidana dalam Rancangan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

"Berikut yang juga menarik, DIM (daftar inventarisasi masalah) pemerintah menambah dua. Pelecehan seksual nonfisik, penyiksaan seksual, ditambah perkawinan paksa dan perbudakan seksual," kata pria yang disapa Eddy Hiariej itu saat jumpa pers terkait RUU TPKS dan RUU Perampasan Aset di Gedung Ditjen Imigrasi Kemenkumham, Jakarta, Selasa (22/2/2022).

Eddy mengatakan perbudakan seksual lebih luas dari Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) karena bermotif ekonomi.

"Lebih luas karena orang yang kemudian tidak dijerat dengan perdebatan seksual," imbuh Eddy.

Usulan perbudakan seksual dan kawin paksa, dikatakannya, diajukan oleh jaksa dan kepolisian yang menangani kekerasan seksual. Eddy mengatakan usulan itu berasal dari pengalaman para penegak hukum menangani berbagai kasus kekerasan seksual.

Baca juga: Presiden Ukraina Desak Warganya Tidak Panik, Usai Rusia Akui Kemerdekaan Wilayah Separatis

Baca juga: Ayu Aulia Ditemukan Bersimbah Darah di Apartemen, Keluarga Sebut Tak Terkait Zikri Daulay

Baca juga: Begini Proses Rencana Penambahan Modal Pemkab Aceh Utara ke Bank Aceh

"Jadi sangat bersyukur teman-teman kepolisian menurunkan personel yang tidak hanya cerdas tetapi juga memiliki pengalaman di lapangan. Kita brainstorming, berarti harus dipermudah, sesegera mungkin untuk perintahkan Kominfo take down konten porno," kata dia.

Eddy juga menjelaskan bahwa dalam RUU TPKS diatur hukum acara bagaimana andai ada saksi tidak bertemu dengan pelaku. RUU TPKS itu mengatur seorang saksi karena alasan traumatik lalu boleh bersaksi dengan perekaman yang punya kekuatan pembuktian.

"Usulan Pasal 27 dari DPR mengenai pelecehan seksual dengan dunia maya, kita hapus tapi menambahkan pasal semua perbuatan kekerasan seksual yang melalui dunia maya merupakan unsur pemberat pidana," ucap Eddy.

Adapun untuk hukuman, Eddy menyebut pelaku kekerasan seksual minimal dihukum 4 tahun penjara. Kalau ada unsur pemberat, maka menjadi 5 tahun 4 bulan penjara.

"Di dalam penjelasannya ada karena relasi kuasa, bos dan sekretaris dan sering terjadi karena budaya patriarki dalam RUU TPKS. Juga dosen dengan mahasiswa. Bahkan penyiksaan seksual lebih luas dibandingkan dalam pengadilan HAM. Mengenai kejahatan seksual, termasuk child grooming, dan lain-lain," dia menambahkan.

Dalam RUU TPKS juga diatur bahwa restorative justice tidak diperbolehkan dalam penyelesaian kasus pidana kekerasan seksual. "Di-state di dalam RUU itu, penyelesaian tindak pidana kekerasan seksual tidak boleh menggunakan pendekatan restorative justice," tutur Eddy.

Baca juga: Ayu Aulia Ditemukan Bersimbah Darah di Apartemen, Keluarga Sebut Tak Terkait Zikri Daulay

Baca juga: Rektor USK Resmikan Delapan Gedung Baru

Baca juga: Diskominsa Latih 40 Operator Gampong di Bireuen Menjadi Jurnalis Desa

Mekanisme restorative justice sendiri cukup rawan disalahgunakan dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual.

Eddy menyoroti khususnya dalam sebuah kasus kekerasan seksual yang melibatkan pelaku dengan finansial mapan. Sementara di sisi lain korban kekerasan seksual berasal dari golongan yang tidak mampu. Menurutnya, fenomena itu sudah sering terjadi di mana-mana.

"Korbannya orang tidak mampu. Diperkosa, dicabuli, segala macam dikasih uang selesai perkaranya, dianggap restorative justice, jadi itu enggak boleh," kata Eddy.

Selain itu, Eddy menyampaikan RUU TPKS mewajibkan pemberian restitusi untuk korban. Majelis hakim, sebut Eddy, wajib menentukan besarnya restitusi kepada korban. "Jadi bahasa di dalam RUU kita itu, selain pidana penjara atau pidana denda, hakim wajib menetapkan besarnya restitusi kepada korban," katanya.

Halaman
12
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved