Opini
Benarkah JKA Sudah Usai?
SEJUMLAH penduduk Aceh telah menikmati jaminan kesehatan jauh sebelum jaminan kesehatan secara nasional diterapkan

Hal ini bukanlah tidak mendasar, sekurang- kurangnya penulis menyimpulkan, ada 3 hal yang mendasar berkaitan dengan berakhirnya pembiayaan Jaminan Kesehatan bersumber Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) ini.
Pertama, dari sisi pembiayaan keuangan APBA tidaklah lagi mencukupi.
Studi yang dilakukan oleh Suryani di tahun 2013 menunjukkan bahwa sebelum pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional, pelaksanaan jaminan kesehatan di daerah sarat dengan janji politik, di beberapa daerah terbukti kemampuan fiskal daerah tidak cukup memadai untuk mendanai pendanaan jaminan kesehatan untuk masyarakat di daerahnya.
Sehingga sebagai konsekuensi, pada saat itu, beberapa rumah sakitdi daerah terbebani piutang Jamkesda yang sulit ditagih.
Dapat dipastikan, apabila ini diteruskan, maka lama kelamaan tentunya akan berdampak pada terganggunya cash flow rumah sakit-rumahsakit yang ada di daerah.
Kedua, data membuktikan, peserta yang selama ini dibayar oleh APBA ternyata didominasi oleh mereka yang mampu seperti mereka Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) yang pada dasarnya mampu membayar sendiri namun tidak membayar iuran karena ditanggungkan oleh JKA selama ini.
Dan, ketiga guna melaksanakan amanat UU nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) bahwa pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional sudah selayaknya terintegrasi dengan sistem pembayaran single-payer atau pembayar tunggal yaitu Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Maka, sudah patutlah Aceh sebagai bagian dari Indonesia, mendapatkan layanan kesehatan yang sama, layanan kesehatan sesuai dengan yang dibutuhkan (mendapatkan apa yang dibutuhkan bukan hanya apa yang mampu dibayarkan “get what they need” not “what they pay”).
Kemudian, untuk sekitar 2,1 juta lagi penduduk Aceh yang selama ini ditanggung oleh pemerintah Aceh melalui APBA, mungkin akan melewati seleksi ketat dimana secara administrasi harus mampu membuktikan bahwa mereka adalah golongan kurang mampu “yang tidak mampu meng-iur” atau membayar premi sendiri sehingga secara otomatis dapat masuk menjadi Peserta Penerima Bantuan Iuran yang akan dibayarkan oleh APBN, atau opsi lainnya berubah menjadi peserta mandiri yang membayar premi iuran sendiri.
Baca juga: JKA Dihentikan Mulai 1 April 2022, Warga Diimbau Daftarkan Diri ke BPJS Kesehatan
Dalam ilmu ekonomi kesehatan, istilah “ability to pay” atau “kemampuan membayar” terhadap iuran Jaminan Kesehatan Nasional telah berkali-kali diuji.
Termasuk di dalamnya pengkategorian “kemampuan membayar” untuk premi Rp 60.000 per bulan, Rp 110.000 per bulan sampai Rp 160.000 per bulan.
“Kemampuan membayar” ini kemudian sempat di-jembrengin dalam nilai rupiah harian yaitu sekitar Rp 2.000 per hari, Rp 3.700 per hari atau Rp 8.00 per hari — artinya masyarakat ternyata cukup mampu membayar sejumlah rupiah yang “tidak besar” apabila dirasionalkan dalam jumlah yang harus dibayarkan per hari.
Kewajiban Pemerintah Daerah Menunaikan 10 % Hiruk pikuk berakhirnya JKA dalam pemberitaan beberapa waktu lalu, pasti telah meresahkan sebagian masyarakat Aceh.
Namun, hal ini pasti dapat diminimalisir bila kemudian pemerintah Aceh bisa mensosialisasikan dengan baik apa dasar dari semua itu.
Menurut penulis, salah satu hal yang tidak boleh abai oleh pemerintah Aceh saat ini adalah memenuhi minimal 10 % pendanaan APBA untuk kesehatan.