Kupi Beungoh

Putin, Ukraina, dan Perang Dunia 3 (XII) - Ukraina dan Permainan "Frenemy" Erdogan

Oxymoron itu kini menjadi kunci rahasia yang diketahui umum terkait dengan sapak terjang Presiden Edorgan dalam kebijakan luar negeri negerinya.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/Handover
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Berbatasan dengan Uni Soviet, Turki tidak punya pilihan lain, selain bergabung dengan AS dalam blok barat.

Disamping itu, Turki dalam jejak rekamnya adalah musuh bebuyutan Rusia yang sejarah perangnya ditulis berjilid-jilid, karena berlangsung dalam jangka waktu kurang sedikit dari 300 tahun.

Baca juga: Putin, Ukraina, dan Perang Dunia 3 (I): Denazifikasi dan Demiliterisasi Ukraina

Baca juga: Putin, Ukraina, dan Perang Dunia 3 (III), Benarkah Putin Reinkarnasi Ivan ‘Ceulaka’ the Teribble?

Sejarah Bergabungnya Turki dengan NATO

Adalah Jenderal Ismet Inonu, Presiden Turki kedua, orang kepercayaan, sekaligus pelanjut presiden  pertama Turki, Kemal Attaturk yang memutuskan Turki bergabung dengan NATO.

Turki kemudian menerima persyaratan NATO untuk menerapkan demokrasi dengan sistem multi partai.

Bagi AS keberadaan Turki dalam NATO sangat strategis, karena secara geografis Turki yang berbatasan dengan Rusia-Uni Soviet pada masa itu, dapat menjadi kawasan penyangga untuk ekspansi Rusia ke Timur Tengah.

Dalam perjalanannya, keberadaan Turki dalam NATO adalah sebuah sejarah kekeluargaan pertahanan pada masa prakejatuhan Uni Soviet, didominasi oleh negara-negara Eropa Barat-Utara yang jauh lebih maju dari Turki.

Bagaimanapun Turki adalah juga Eropa, karena walaupun sebagian besar wilayah Turki terletak di Asia-97 persen, namun Turki juga mempunyai wilayah di benua Eropa-3 persen, yakni di  tepi Barat selat Bosphorus, berbatasan dengan Yunani dan Bulgaria.

Runtuhnya adi kuasa Uni Soviet membuat AS, NATO, dan Turki tidak lagi mempunyai “musuh bersama” negara komunis Uni Soviet.

Hal lain lagi yang juga sangat fundamental adalah persepsi “hakekat ancaman” terhadap tata dunia baru yang oleh AS mulai dikaitkan dengan istilah  “terorism” -terorisme, dan “rogue states”-negara-negara tak jelas (Omer Taspinar 2011).

Bagi Turki teroris adalah sebuah istilah yang terlalu generik, apalagi bila dikaitkan dengan negara seperti Iran, dan perjuangan rakyat Palestina, dan kemudian berkembang ke Timur Tengah, dan bahkan berlanjut ke seluruh kawasan negara-negara Islam.

Istilah “negara tak jelas” yang ditujukan oleh AS kepada Iran, dan Irak pada masa Saddam Husein, dan bahkan Suriah juga tidak dapat diterima, terutama dalam konteks kepentingan nasional Turki pada saat itu.

Tanda pertama perpecahan kongsi AS-NATO dengan Turki terjadi ketika  Perang Teluk pertama pada tahun 1990, ketika Turki mulai tidak serius dengan perang itu.

Namun presiden Turgut Özal akhirnya terdesak dan memutuskan untuk menutup pipa minyak Irak yang mengalir ke Turki, yang membuat Turki menderita kerugian ekonomi yang cukup besar.

Tindakan Turgut Özal tidak hanya membuat rakyat Turki marah, akan tetapi juga mendapat umpatan dan kemarahan birokrat dan militer Turki.

Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved