Kupi Beungoh

Putin, Ukraina, dan Perang Dunia 3 (XII) - Ukraina dan Permainan "Frenemy" Erdogan

Oxymoron itu kini menjadi kunci rahasia yang diketahui umum terkait dengan sapak terjang Presiden Edorgan dalam kebijakan luar negeri negerinya.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/Handover
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Oleh: Ahmad Humam Hamid*)

KETIKA ada satu kata yang menimbulkan arti yang saling berlawanan, kata itu disebut sebagai kata paradok.

Namun empat abad sebelum Masehi, peradaban Yunani telah mempunyai istilah itu, yang disebut dengan oxymoron.

Ungkapan itu berasal dari dua kata, oksus yang bermakna tajam atau cerdas, dan kata moros, yakni tumpul atau bodoh.

Jelas satu kata yang membuat kebingungan, karena memang menyiratkan sebuah paradok.

Oxymoron itu kini menjadi kunci rahasia yang diketahui umum terkait dengan sapak terjang Presiden Edorgan dalam kebijakan luar negeri negerinya.

Ia tengah meniti keberlanjutan ekonomi dan politik Turki di tengah pergumulan negara adi kuasa- AS dan Rusia- di  Ukraina.

Edorgan berkawan dengan Putin, namun mereka juga berselisih dalam banyak hal.

Turki anggota NATO dan salah satu sekutu andalan AS di Timur Tengah dan kawasan Mediterania, namun Edorgan juga tak mengekor AS sepenuhnya.

Ia butuh dan harus berkawan dengan Ukraina, namun juga harus melakukan yang terbaik untuk negerinya.

Oxymoron yang tepat untuk sikap dan perilaku seperti Edorgan  itu adalah “Frenemy”- friend and enemy, yakni sebuah interaksi pertemanan yang juga saling bermusuhan.

Tepatnya, teman tapi musuh, itulah dialektika yang tak pernah berhenti dalam sikap dan tindak Edorgan terhadap ketiga negara itu.

Jelas bagi Edorgan, ia tidak mau memihak secara tajam, tetapi juga tidak mau bermusuhan, dan karenanya Turki dalam peta politik internasional disebut termasuk dalam wilayah “abu-abu”, namun tetap berperan aktif, karena Turki mempunyai kepentingan nasional, baik dalam berteman, atau bermusuhan dengan ketiga negara itu.

Namun apa yang dilakukan Edorgan, semuanya terkait dengan sejarah panjang Turki, dan kenyataan objektif yang dihadapinya hari ini.

Dimulai setelah Perang Dunia II, tepatnya pascalimapuluhan Turki dihadapkan dengan perlaku Stalin dalam “menarik paksa” sejumlah negara Eropa Timur ke dalam blok Komunis.

Berbatasan dengan Uni Soviet, Turki tidak punya pilihan lain, selain bergabung dengan AS dalam blok barat.

Disamping itu, Turki dalam jejak rekamnya adalah musuh bebuyutan Rusia yang sejarah perangnya ditulis berjilid-jilid, karena berlangsung dalam jangka waktu kurang sedikit dari 300 tahun.

Baca juga: Putin, Ukraina, dan Perang Dunia 3 (I): Denazifikasi dan Demiliterisasi Ukraina

Baca juga: Putin, Ukraina, dan Perang Dunia 3 (III), Benarkah Putin Reinkarnasi Ivan ‘Ceulaka’ the Teribble?

Sejarah Bergabungnya Turki dengan NATO

Adalah Jenderal Ismet Inonu, Presiden Turki kedua, orang kepercayaan, sekaligus pelanjut presiden  pertama Turki, Kemal Attaturk yang memutuskan Turki bergabung dengan NATO.

Turki kemudian menerima persyaratan NATO untuk menerapkan demokrasi dengan sistem multi partai.

Bagi AS keberadaan Turki dalam NATO sangat strategis, karena secara geografis Turki yang berbatasan dengan Rusia-Uni Soviet pada masa itu, dapat menjadi kawasan penyangga untuk ekspansi Rusia ke Timur Tengah.

Dalam perjalanannya, keberadaan Turki dalam NATO adalah sebuah sejarah kekeluargaan pertahanan pada masa prakejatuhan Uni Soviet, didominasi oleh negara-negara Eropa Barat-Utara yang jauh lebih maju dari Turki.

Bagaimanapun Turki adalah juga Eropa, karena walaupun sebagian besar wilayah Turki terletak di Asia-97 persen, namun Turki juga mempunyai wilayah di benua Eropa-3 persen, yakni di  tepi Barat selat Bosphorus, berbatasan dengan Yunani dan Bulgaria.

Runtuhnya adi kuasa Uni Soviet membuat AS, NATO, dan Turki tidak lagi mempunyai “musuh bersama” negara komunis Uni Soviet.

Hal lain lagi yang juga sangat fundamental adalah persepsi “hakekat ancaman” terhadap tata dunia baru yang oleh AS mulai dikaitkan dengan istilah  “terorism” -terorisme, dan “rogue states”-negara-negara tak jelas (Omer Taspinar 2011).

Bagi Turki teroris adalah sebuah istilah yang terlalu generik, apalagi bila dikaitkan dengan negara seperti Iran, dan perjuangan rakyat Palestina, dan kemudian berkembang ke Timur Tengah, dan bahkan berlanjut ke seluruh kawasan negara-negara Islam.

Istilah “negara tak jelas” yang ditujukan oleh AS kepada Iran, dan Irak pada masa Saddam Husein, dan bahkan Suriah juga tidak dapat diterima, terutama dalam konteks kepentingan nasional Turki pada saat itu.

Tanda pertama perpecahan kongsi AS-NATO dengan Turki terjadi ketika  Perang Teluk pertama pada tahun 1990, ketika Turki mulai tidak serius dengan perang itu.

Namun presiden Turgut Özal akhirnya terdesak dan memutuskan untuk menutup pipa minyak Irak yang mengalir ke Turki, yang membuat Turki menderita kerugian ekonomi yang cukup besar.

Tindakan Turgut Özal tidak hanya membuat rakyat Turki marah, akan tetapi juga mendapat umpatan dan kemarahan birokrat dan militer Turki.

Sebagai akibat sikap Turgut Özal yang sangat “mendengar” AS itu Kepala Staf Angkatan Bersenjata Turki mengundurkan diri.

Kenapa Kastaf Turki pada masa itu, Jenderal Necip Torumtay mengundurkan diri?

Jawabannya hanya satu, karena Ozal telah melanggar sebuah hukum besi yang ditinggalkan dan menjadi pegangan angkatan bersenjata Turki, yakni prinsip bapak Turki modern dalam hubungannya dengan negara-negara Arab dan negara-negara Islam, Kemal Ataturk.

Baca juga: Pasukan Khusus Chechnya Bertempur dari Rumah ke Rumah di Kota Mariupol yang Terkepung

Baca juga: Mayat Tentara Rusia Korban Perang di Ukraina Diangkut Tengah Malam Pakai Pesawat dan Kereta Api

Sosok Mustafa Kemal

Mutafa Kemal Attaturk dikenal sebagai tokoh yang menjadikan Turki sebagai negara sekuler, namun ia membuat sebuah doktrin pertahanan penting, yang menjadi pegangan negara dan rakyat Turki sampai dengan hari ini, terutama dalam keamanan dan hubungan internasional.

Doktrin itu adalah “Turki tidak boleh terlibat intervensi dalam perselisihan baik sesama negara Arab, maupun sesama negara Islam.”

Doktrin Attaturk kemudian terlihat jelas dalam Perang Teluk kedua, walaupun Turki anggota NATO, tetapi Turki tidak ikut.

Ketika AS meminta semua sekutunya untuk memusuhi Iran, Turki juga tidak mau mendengar.

Walaupun dalam konteks hegemoni kawasan, Turki tidak senang dengan pembangunan senjata nuklir Iran, Turki tetap saja tidak mau dalam barisan yang sama dengan anggota NATO di belakang AS.

Baca juga: Parlemen Inggris Kecam Perdana Menteri Boris Johnson, Samakan Perang Ukraina dengan Brexit

Baca juga: Menteri Luar Negeri Turki Klaim, Rusia dan Ukraina Akan Segera Mencapai Kesepakatan Damai

Simalakama Turki, AS, dan Rusia

Ada cukup banyak daftar dosa AS terhadap Turki, dan juga daftar dosa Turki terhadap AS.

Di antara sekian banyak dosa AS terhadap Turki adalah AS membantu tentara Republik Kurdi yang berperang di Suriah melawan Assad.

Pada saat yang sama tentara Republik Kurdi juga melakukan perlawanan dengan Turki, karena ingin mendirikan negara Kurdi yang mempunyai wilayah di Irak, Suriah, dan Turki.

Dukungan AS kepada tentara Republik Kurdi adalah ancaman nasional Turki yang sudah cukup lama, dan Edorgan sangat marah dengan hal itu.

Kondisi itu menjadi lebih kompleks dengan kehadiran Rusia, yang dekat dengan Iran dan mempunyai tujuan hegemoni tersendiri dari kepentingan Turki sekalipun hubungan Turki dan Rusia juga cukup baik.

Kasus Suriah adalah contoh bagimana tiga negara- AS, Rusia, dan Turki saling bermain dalam kerangka “freenemy” yang konkret.

Turki mempunyai keinginan tetangga Suriah yang stabil dan demokratis, bukan negara otoriter yang menjadi maşalah bagi Turki.

Masalah jutaan pengungsi Syiria dan isu perbatasan adalah persoalan kepemimpinan Suriah, dan dalam hal itu kepentingan Turki dan AS sama, Assad harus digulingkan.

Bagi AS itu adalah cengkaraman hegemoni, dan bagi Turki itu adalah kepentingan nasional Turki.

Rusaknya, pada saat yang sama AS mencari kawan domestik lain yang menjadi ancaman bagi Turki, yakni Tentara Republik Kurdi.

Keterlibatan Rusia juga menjadi masalah sekaligus solusi bagi Turki dalam menghadapi persoalan Suriah.

Di satu pihak mereka berbeda dalam hal penggulingan Assad, namun Turki bersepakat dengan Rusia dalam memerangi tentara pemberontak Kurdi yang melawan Assad, sepakat dengan keutuhan Turki, dan juga bersepakat untuk secepatnya mengakhiri perang Suriah yang telah mengganggu ekonomi Turki.

Satu hal yang juga menjadi titik konflik antara Turki dan Rusia adalah, Rusia mendekati salah satu faksi dari pemberontakan Kurdi yang ingin berdamai dengan Assad, dengan hanya meminta sebuah wilayah otonomi Kurdi di Syiria.

Bagi Turki itu adalah ancaman.

Jika skenario itu terjadi, maka yang akan muncul adalah wilayah itu akan menjadi basis bagi negara Kurdi yang akan mengklaim wilayah sebagian wilayah Irak, Suriah, dan Turki.

Permainan petak umpet Turki dengan Rusia tidak hanya perlaku dalam hal taktik dan strategi clash nonmiliter, tetapi juga terjadi secara lebih keras dalam adu laga militer di kawasan konflik itu.

Pada 24 November 2015, pesawat tempur buatan AS yang dimiliki Turki menembak jatuh pesawat tempur Sukhoi Su-24M di perbatasan Turki-Suriah.

Alasannya, Sukhoi itu terbang memusuki 2 kilometer lebih wilayah Turki dari perbatasan Suriah.

Apa reaksi Putin?

Ia memerintahkan penghentian impor sejumlah produk pertanian dari Turki, tidak mau menerma panggilan telepon Edorgan, dan ia menyebutkan Turki telah menikam Rusia dari belakang.

Akhirnya Edorgan berhasil meyakinkan Rusia, dan Putin mengatakan bahwa Turki telah minta maaf dan telah dimaafkan.

Apakah kasus itu telah selesai?

Pada tanggal 28 Oktober 2018, gempuran pesawat tempur Suriah dan Rusia di Provinsi Idlib, Suriah menewaskan 38 tentara Turki, dan itu membuat Edorgan sangat marah.

Kenapa tentara Turki berada di Suriah?

Jawabannya hanya satu.

Turki datang membantu satu faksi pemberontak melawan Presiden Assad, yakni SNA- Syirian National Army, yang merupakan kelanjutan dari Federasi Perlawan Suriah yang mendapat dukungan kuat dari AS, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan sebagian anggota NATO di Eropa.

Tingkah Turki yang bermain “dua kaki” itu mendapat hukuman dari AS.

Sekalipun Turki anggota NATO, keperluan suku cadang pesawat tempur F-16 made in AS diembargo.

Selain itu AS juga tidak mau melepas missil Patriot canggih untuk pertahanan Turki.

AS juga memberikan indikasi tidak akan menjual pesawat tempur canggih terbaru F-35 kepada Turki.

Keputusan itu membuat Edorgan harus mencari alutsista alternatif ke negara lain yang memungkinkan.

Akhirnya Edorgan membuat keputusan, ia membeli sistem pertahanan mutakhir paling canggih buatan Rusia, S-400 generasi keempat.

Ini adalah sistem rudal pertahanan udara yang dapat melayani semua serangan udara, mulai dari pesawat hingga rudal balistik dengan tingkat jelajah 400 kilometer dengan ketinggian 98.000 kaki, sekitar 30 kilometer.

Dalam hanya waktu lima menit S-400 yang dimilki Turki itu mampu melumpuhkan 36 serangan sekaligus.

Dan ini membuat AS berang.

Bagaimana posisi Turki di Ukraina?

Turki adalah pemasok alat pertahanan canggih untuk Ukraina yang telah menahan laju serangan tentara Rusia ke Ukraina.

Bayraktar TB2 adalah pesawat tak berawak pembawa missil yang dikendalikan jarak jauh, buatan Turki yang dibeli Ukraina.

Walaupun jumlahnya tidak sangat banyak, alat canggih ini telah membuat  banyak tank buatan Rusia lumpuh, karena TB-2 missil yang akurat dengan daya ledak yang kuat.

Apakah Rusia marah terhadap kejadian itu atau tidak, yang jelas Rusia telah memberi sedikit ruang kepada Turki untuk menjadi mediator dalam konflik Rusia Ukraina.

Paling kurang sudah dua kali terjadi pertemuan Ukraina yang dimediasi Turki.

Rusia tidak peduli dengan sikap Turki terhadap serangannya ke Ukraina , seperti sikap Turki mengecam serangan Rusia ke Ukraina, menggunakan istilah perang, dan bahkan ikut mengutuk Rusia di PBB.

Turki juga telah melaksanakan perjanjian internasional, Konvensi Montreux yang dibuat pada tahun 1936.

Konvensi itu memberi kewajiban dan kuasa kepada Turki untuk hubungan laut Meditarinia dan Laut hitam dari lintasan kapal perang, jika negara sekitar laut hitam dalam peperangan.

Kini kecuali kapal barang, semua kapal perang tidak dapat masuk ke laut hitam, karena Turki telah menggunakan penutupan baik di Bosphorus dan juga selat Dardanella.

Walaupun Rusia mempunyai pangkalan militer di Laut Hitam, kini kegiatan arus masuk persenjataannya praktis terhenti.

Di antara semua permintaan AS kepada masyarakat inetrnasional, terutama boikot perdagangan, keuangan, embargo pembelian minyak dan gas, Erdogan tidak punya waktu untuk mendengar seruan itu.

Edorgan tidak mau ikut dalam “jamaah” boikot ekonomi Rusia.

Kenapa ia memilih sikap seperti itu?

Edorgan tidak mau melepaskan kepentingan ekonomi negerinya dengan menjadi “pak turut” AS.

Turki adalah negara ketujuh terbesar mitra dagang Rusia, dan nomor dua konsumen gas Rusia setelah Jerman.

Kebutuhan minyak Turki juga diimpor dari Rusia.

Turki juga menjadi basis bagi ekspansi perusahaan Rusia ke berbagai tempat lain di dunia.

Tidak hanya itu, Turki juga sedang  membangun stasiun pembangkit Nuklir Akuyu dengan nilai 20 miliar dolar dengan perusahaan Rusia, Rosatom, di Provinsi Mersin (Bardakci 2021).

Apakah itu sudah selesai kepentingan ekonomi Turki dengan Rusia?

Tentu saja tidak, karena salah satu pilar ekonomi Turki, pariwisata juga sangat tergantung kepada Rusia.

Tidak kurang dari 20 persen pengunjung Turki setiap tahunnya datang dari Rusia, dan itu adalah sumber pendapatan besar untuk negara dan masyarakat Turki.

Tidak hanya uang turis Rusia, mulut rakyat Turki juga tergatung pada Rusia.

Sekitar 64 persen impor gandum dan biji-bijian lain Turki berasal dari Rusia dan Ukraina.

Bagaimana Turki melihat Ukraina?

Turki tidak mau melihat Ukraina, bahkan Crimea berada di tangan Rusia.

Ukraina adalah pasar bagi Turki, terutama persenjataan.

Ukraina juga sumber uang dan makanan bagi Turki.

Sekitar 8.3 persen Wisatawan Turki setiap tahun berasal dari Ukraina.

Selanjutnya sekitar 14 persen gandum impor Turki juga berasal dari Ukraina.

Lebih dari itu, bagi Turki, kejatuhan Ukraina ke tangan Rusia, adalah momok baru kawasan.

Itu artinya seluruh negara yang berbatasan dengan Rusia, terutama yang pro-NATO segera akan berhadapan dengan nafsu Putin yang ingin mengembalikan geopolitik Rusia keposisi pasca kejatuhan Uni Soviet pra 1991.

Dan Rusia adalah salah satu target yang dituju.

Baca juga: Pria Bersenjata Kapak Menyerang Masjid Toronto, Jamaah Lumpuhkan Penyerang Sebelum Diamankan Polisi

Contoh Nyata Machiavelian

Apakah Erdogan akan meninggalkan NATO?

Jawabannya adalah tidak.

Dalam beberapa hal ia ikut, namun ketika dihadapkan dengan kepentingan nasional Turki, ia menolak.

Akankah NATO meninggalkan Turki?

Jawabannya juga tidak, karena NATO sangat membutuhkan Turki, baik karena posisi geografis, dan juga kekuatan militer yang mewarsisi legacy imperium Osmani.

Akankah Ukraina tidak bersahabat dengan Turki?

Jawabannya juga tidak.

Ukraina sangat butuh Turki, terutama untuk menjadi saluran penghubung dengan Rusia seperti yang telah terbukti dua kali, walaupun belum sangat efektif.

Inilah alasan Turki yang selalu berteriak, dialog dan damai antara dua negara yang berperang itu. 

Menggunakan kerangka politik Machiavelli, Edorgan adalah praktisi Machiavelli yang handal.

Jurus yang ia gunakan adalah “frenemy” berkawan sekaligus bermusuhan adalah contoh nyata “Machiavelian”.

Ia menghalalkan segala cara untuk kepentingan nasional Turki.

Apakah ia tak bermoral?

Itu adalah pertanyaan bodoh, karena ketika ia terjepit dalam cengekeraman para “Machievelian” abadi dan super seperti AS dan Rusia, mustahil dia menggunkan jurus lain.

Machievelian merujuk kepada nama Niccolo Machiavelli diplomat, politikus, sekaligus filsuf Italia yang hidup pada tahun 1469 hingga 1527.

Sebagai ahli teori, Machiavelli adalah figur utama dalam realitas teori politik, ia sangat disegani di Eropa pada masa Renaisans.

Machiavelli dalam konteks Turki dan Edorgan, harus dihadapi dengan cara Machiavelli.

Bagi Edorgan, Turki harus hidup, maju, dan berlanjut.

Seorang wartawati dan pengamat stragis global Turki, Asli Aydintabas yang kini menetap di AS dan menjadi kontributor tetap untuk rubrik opini internasional pada Harian The Washington Post, beberapa hari yang lalu menulis tentang pandangan publik Turki terhadap perang Ukraina.

Dalam kunjungan terakhirnya ke Istambul, Aydintabas menyimpulkan kontestasi AS dan Rusia dalam pandangan masyarakat Turki hari ini dalam satu kalimat. 

“Rusia itu jahat, dan AS itu adalah setan”

Apa yang Edorgan lakukan terhadap kasus Ukraina, sedikitnya tergambar dari observasi Aydintabas.

Edorgan telah mampu meracik kebijakannya dengan nurani rakyat Turki kebanyakan.

Apakah ini juga jurus Machiavelli?

Biarlah Edorgan yang menjawabnya.

 

*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.

 

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

 

BACA ARTIKEL KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved