Opini
Rokok Ancaman Bagi Lingkungan (Refleksi HTTS 2022)
WORLD No Tobacco Day (WNT) adalah peringatan tahunan peningkatan kesadaran akan bahaya merokok yang jatuh pada tanggal 31 Mei
 
							Oleh Rizanna Rosemary, Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Fisip Universitas Syiah Kuala, Peneliti Pusat Riset Ilmu Sosial dan Budaya (PRISB) Universitas Syiah Kuala
WORLD No Tobacco Day (WNT) adalah peringatan tahunan peningkatan kesadaran akan bahaya merokok yang jatuh pada tanggal 31 Mei dan mendorong konsumsi merokok masyarakat.
Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) ini diprakarsai oleh anggota Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO), tepatnya di tahun 1987.
Awal inisiasi ini adalah menyerukan para perokok seluruh dunia untuk tidak merokok (berpuasa merokok) serentak selama satu hari (24 jam).
Seruan ini sangat mustahil direalisasikan, terkhusus di Indonesia yang merupakan surganya para perokok.
Masih lemahnya aturan pengendalian tembakau komprehensif atau aturan menekan jumlah konsumsi rokok, merupakan salah satu alasan prevalensi perokok di Indonesia terus meningkat.
Hingga saat ini Indonesia masih menduduki papan atas banyaknya perokok untuk Kawasan Asia Tenggara, lebih separuh populasi negara ini, 67 %, adalah perokok aktif (Seatca, 2018).
Tema yang diusung HTTS setiap tahunnya berubah-rubah.
Dampak buruk dari konsumsi merokok masih sering dilekatkan dengan kesehatan, seperti tema HTTS 2019—Tobacco and Lung Health atau Tembakau (Merokok) dan Kesehatan Paru-Paru, dimana lebih dari delapan juta orang meninggal akibat merokok.
Baca juga: Harga Tembakau Kretek Menjanjikan, Petani Gayo Lues Manfaatkan Lahan Pekarangan untuk Pengeringan
Baca juga: Kemendagri Jelaskan Tata Cara Pengelolaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
Demikian juga HTTS di tahun 2020, mengambil tema Commit to Quit atau Komit untuk Berhenti (Merokok) karena selama pandemi Covid-19, perokok adalah kelompok yang paling rentan terinfeksi virus corona.
Namun, tema HTTS juga sangat kontekstual.
Biasanya dikaitkan dengan fenomena penting yang beririsan dengan isu tembakau di tahun tersebut.
Hal ini bertujuan menunjukkan besarnya pengaruh negatif tembakau/ rokok terhadap berbagai aspek kehidupan manusia, baik kesehatan, ekonomi, pendidikan, sosial-budaya, dan lingkungan.
Ancaman lingkungan Tema HTTS tahun 2022 ini berfokus pada dampak merokok terhadap lingkungan, Tobacco Threats to Our Environment atau Tembakau Ancaman bagi Lingkungan kita.
Mengapa dampak terhadap lingkungan menjadi fokus utama HTTS tahun ini? Apakah terkait dengan polusi asap rokok yang dihasilkan perokok, yang mengganggu hak asasi perokok pasif atau non-perokok akan udara bebas asap nikotin? Atau, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) akibat kelalaian perokok maupun ‘kesengajaan’ oknum? Dari dua contoh itu, sudah terlihat dampak rokok terhadap lingkungan.
Namun lebih dari itu, tema HTTS tahun ini melihat dampak konsumsi tembakau secara lebih luas.
Peringatan Hari Tidak Merokok tahun ini bertujuan mengedukasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat di seluruh dunia bahwa proses produksi rokok, yang diklaim banyak orang sebagai penghasil devisa negara, hakikatnya tidak semua adalah benar.
Sebaliknya, tembakau dinyatakan sebagai penyebab kerusakan lingkungan.
Produksi rokok—baik jenis kretek atau rokok putih, baik yang dibuat dengan tangan (lintingan) atau mesin, adalah ancaman bagi lingkungan.
Dari proses penanaman tembakau, produksi menjadi rokok, distribusi alias pemasaran rokok, hingga konsumsi termasuk limbah pasca konsumsi zat adiktif ini, semuanya terbukti merusak lingkungan.
Dr Vera Luiza da Costa e Silva, kepala Sekretariat WHO Framework Convention on Tobacco Control, dalam laporannya tentang dampak perusahaan rokok bagi lingkungan menyebutkan tidak terlalu jelasnya biaya kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh produksi perusahaan rokok.
Ketiadaan transparansi akan berapa biaya kerusakan yang ditimbulkan dari produksi zat adiktif ini terhadap lingkungan, telah memberi ruang bagi perusahaan rokok untuk “secara efektif mengalihkan tanggung jawab mereka kepada pembayar pajak, sementara mereka terus menikmati subsidi tersembunyi” (Silva, 2018).
Zafeiridou dan kawankawan (2018) telah melakukan kajian tentang dampak rokok bagi lingkungan dengan melihat rantai pasokan (supply chain) produksi rokok, antara lain kebutuhan sumber daya, limbah, siklus emisi yang dihasilkan oleh produk rokok.
Studi Zafeiridou menemukan bahwa di tahun 2014, penanaman tembakau hijau di lahan 32.4 Mt memproduksi sekitar 6.48 Mt tembakau kering yang telah menghasilkan 84 Mt C02 (karbondioksida).
Tembakau kering (salah satu bahan baku rokok) setara dengan 0.2 % emisi, penyebab perubahan iklim global.
Menurut Jalal (2021), temuan studi tersebut, memperlihatkan perhitungan dampak rokok terhadap lingkungan karena adanya ‘normalisasi’ produksi dan konsumsi rokok, khususnya di Indonesia.
Perhitungan tersebut belum termasuk kerugian lain dari produk adiktif rokok seperti kebakaran lahan dan hutan (karhutla) atau bahkan perumahan akibat pembuangan puntung rokok secara sembarangan.
Seperti kasus kebakaran 2 hektare lahan rerumputan dan semak belukar terbakar di Gampong Datuk Saudane, Kecamatan Babussalam, Aceh Tenggara diduga akibat puntung rokok yang dibuang sembarangan (Antara, 2019).
Sementara itu, menurut Jalal, perusahaanperusahaan rokok bertindak selangkah di depan dengan memanfaatkan momentum isu lingkungan untuk melakukan beragam proyek peduli lingkungan.
Yang mereka klaim sebagai kegiatan tanggung jawab perubahan (Corporate Social Responsibility) yang tak jelas target serta kinerjanya.
Sebaliknya, proyek lingkungan yang dilakukan dalam skala yang jauh lebih kecil daripada dampak lingkungan yang ditimbulkan.
Dampak rokok Berbagai studi telah meneliti limbah rokok penyebab kerusakan lingkungan, khususnya limbah puntung rokok (Schneider, et al., 2011).
Bahkan penelitian lain telah mengkaji puntung rokok sebagai limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun).
Sementara itu, negara maju lainnya seperti, Jerman telah menghitung biaya pengelolaan sampah puntung rokok (bersama plastik), yaitu setara IDR10,6 triliun per tahun.
Australia menanggung biaya pengelolaan puntung rokok setara IDR734 miliar per tahun.
Biaya tersebut ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah.
Lain halnya di San Francisco, perusahaan rokok diminta bertanggung jawab penuh membayar biaya yang menimbulkan kerusakan lingkungan.
Setiap bungkus rokok di negara bagian tersebut, dikenai cukai tambahan setara IDR15.500 untuk biaya pengelolaan sampah.
Walau sudah menjadi wacana, Indonesia belum menjalankan inisiasi yang tidak hanya dapat mencegah kerusakan lingkungan, tapi melindungi kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah Kota Banda Aceh menyebutkan di tahun 2020, limbah yang dihasilkan per harinya mencapai 576 ton.
Terbanyak adalah limbah yang dihasilkan oleh rumah tangga, baik yang organik, non-organik.
Didalamnya termasuk puntung rokok.
Pemerintah Kota Banda Aceh telah menargetkan untuk mengurangi sampah atau limbah rumah tangga tersebut hingga 22 persen, dalam rangka menjalankan amanat sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Pihak pemerintah kota/kabupaten diharuskan mengurangi jumlah sampah dari sumbernya sebanyak 30 persen hingga tahun 2025.
Untuk kota Banda Aceh, ada sekitar 22 % target yang ingin dicapai pemerintah Kota melalui Peraturan Walikota (Perwal) nomor 46 tahun 2018 tentang kebijakan strategi pengelolaan sampah di Banda Aceh (Zaini, 2020).
Mengingat jumlah perokok di Aceh menduduki peringkat keenam nasional (2018), diasumsikan limbah puntung rokok yang dihasilkan juga sangat tinggi.
Oleh karena itu, momentum HTTS 2022 ini perlu digaungkan untuk terus meningkatkan kesadaran masyarakat Aceh tentang signifikannya bahaya merokok.
Bukan hanya terhadap kesehatan, tapi juga lingkungan sekitar kita yang juga beririsan dengan permasalahan atau kesehatan baik fisik dan mental lainnya.
Kampanye ini juga berfungsi sebagai ajakan untuk bertindak, melibatkan pemangku kepentingan terkait, terutama kaum muda, untuk mengadvokasi kebijakan efektif yang akan membuat industri tembakau atau rokok bertanggung jawab dan mencegah kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh produk yang dihasilkannya.
Hal ini tidak mungkin dilakukan secara sendiri-sendiri.
Perlu sinergi komprehensif antara pemerintah dengan berbagai lapisan dalam masyarakat untuk mewujudkan Aceh sebagai Provinsi bebas rokok. 
Baca juga: Petani Tembakau di Kuta Cot Glie Aceh Besar Mulai Produksi Rokok HABA
Baca juga: Lebih Banyak yang Isap Rokok Ketimbang Makan Telur, Pemerintah Naikkan Tarif Cukai Hasil Tembakau

 
                 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
				
			 
											 
											 
											 
											