Kisah Sukses Perantau Aceh
Kisah Diaspora Aceh – 10 Tahun Tidur di Atas Tong Pasar Minggu, Iskandar Kini Bos 5 Cabang Mie Aceh
Mereka memutuskan pergi dari kampung halamannya karena keadaan Aceh yang kala itu berstatus Daerah Operasi Militer (DOM).
Penulis: Zainal Arifin M Nur | Editor: Zaenal
Pada akhir tahun 2009, Iskandar telah mantap membuka usaha mie aceh di pusat jajanan yang berada di sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB).
Bermula dari sini, usaha Iskandar terus berkembang.
Saat ini, Iskandar telah memiliki 6 cabang mie aceh dengan merek dagang Kurnia.
Tiga di antaranya berada di Bogor (satu di kawasan Kampus IPB, satu di pusat Kota Bogor, dan satu lainnya di dekat Istana Bogor).
Selain di Bogor, usaha Mie Aceh Kurnia ini juga ada di Cirebon Jawa Barat.
“Yang di sini kerja sama dengan seorang warga Aceh yang tinggal di Cirebon,” kata dia.
Sementara dua lainnya ada di Jakarta, namun satu di antaranya yakni yang berada di kawasan Kampus Bina Nusantara masih tutup semenjak pandemi Covid-19.
Iskandar yang telah dikarunia 2 orang anak, yang pertama sudah kelas 1 SMA, kini telah mulai menikmati hasil kerja kerasnya.
Ia juga telah memiliki rumah dan mobil sendiri.
Iskandar yang dulunya bekerja serabutan sebagai penjual sayur dan buruh kasar di Pasar Minggu, kini telah memekerjakan 45 karyawan di lima cabang Mie Aceh Kurnia di Bogor, Jakarta, dan Cirebon.
“Sebagian pekerjanya dari Aceh, terutama dari Sanggeu, Reubee, Bambong, Gampong Aree, dan daerah lainnya di Pidie yang mempunyai tradisi merantau,” kata Iskandar.

“Setiap kedai itu mesti ada 2-3 orang asal Aceh, terutama untuk koki dan bartender di dapur kopi, sehingga citarasa acehnya tidak hilang,” ungkap Iskandar.
Mengenai menunya, ternyata Warung Mie Aceh Kurnia ini tidak hanya menyediakan mie aceh saja, tapi juga menyediakan nasi goreng, martabak telor, martabak kari kambing, hingga canai.
Sementara menu mie aceh, mulai dari mie biasa, mie aceh telor, mie daging, udang, kepiting, hingga menu istimewa mie lobster.
Berapa omsetnya per hari? Iskandar menolak berbicara angka dalam bentu uang.
“Lon peugah padum kilo lagot mantong Bang beh (saya sampaikan berapa kilogram mie aceh yang laku per hari aja ya),” ujarnya mengelak.
“Bak saboh keude na yang 40 kilo siuroe, na syit kude yang 20 kilo dan 10 kilo,” ungkapnya.
Jika dirata-ratakan, di 5 cabang yang kini aktif, Iskandar menghabiskan sekira 80-100 kilogram mie aceh setiap harinya.
Sementara harga satu porsi mie aceh bervariasi, mulai dari Rp 18.000 (mie biasa) hingga Rp 150 ribu per porsi untuk mie lobster.
Pertanyaannya, satu kilogram mie aceh menghasilkan berapa porsi mie siap saji?
Dari situ Anda bisa menerka sendiri berapa penghasilan Iskandar setiap harinya.
Itu belum termasuk dari hasil jualan nasi goreng, martabak, canai, dan kari kambing.
“Memang kita harus hijrah jika ingin sukses. Harus betul-betul bekerja keras, karena kerja keras tidak menipu hasil,” ujar Iskandar di ujung perbicangannya dengan Serambinews.com.
“Kunci merantau adalah, kerja keras, jujur, dan tentunya jangan meninggalkan ibadah,” imbuhnya.
Menurut Iskandar, setelah bencana tsunami 26 Desember 2004, mie aceh telah menjadi kuliner nasional.
“Orang-orang yang pernah berdinas di Aceh pada masa konflik dan masa rehab rekon tsunami, pasti mencari mie aceh setelah kembali ke daerahnya. Maka sebab itu, saat ini jualan mie aceh tidak lagi harus di tempat banyaknya komunitas Aceh,” pungkas Iskandar.(*)