Opini
Siapa Pj Gubernur Aceh?
PJ merupakan representasi dari kepentingan Pusat serta dapat menjalankan agenda-agenda kepentingan rezim, termasuk juga dalam menyukseskan Pilpres
Modusnya hampir serupa.
Setiap legislator mempunyai tim yang menawarkan dana publik dari skema Pokir ke individu (mahasiswa), pembangunan pesantren, rumah duafa, masjid atau fasilitas publik lainnya.
Dan setiap penerima harus membuat komitmen fee, yaitu menyetor 30 % atau 40 % atau sejumlah lainnya sesuai permintaan tim.
Sementara pengelolaan pembangunan juga dikelola atau diswakelola oleh tim “pemilik” dana aspirasi tersebut.
Praktik ini serupa dengan model pencucian uang, yaitu melegalisasi praktik-praktik “tidak halal” untuk meraup uang yang sepatutnya menjadi hak para beneficiaries.
Namun hal ini sudah seperti huruf atau kebiasaan yang lumrah di negeri yang mencap diri sebagai provinsi yang bersyariat (Islam).
Di Amerika Serikat, skema Pokir lebih dikenal dengan istilah Pork Barel (kentong babi).
Sebuah metafor yang dilabelkan kepada para politisi yang membawa dana publik khusus untuk konstituennya.
Para politisi mengalokasikan sejumlah dana publik untuk tim atau konstituen agar tetap terjaga suara keterpilihannya di pemilihan berikutnya.
Selain itu, proses pengalokasian ini dilakukan secara non-kompetitif dan cenderung diskriminatif.
Lebih baik, dalam konteks ini, legislator via tim khususnya tidak lagi “disunat” melainkan sepenuhnya untuk kepentingan konstituen.
Pj untuk rakyat Kembali ke pertanyaan, siapa yang layak jadi Pj Gubernur Aceh? Bagi penulis, tidak penting apakah sosok Pj berasal dari sipil atau militer.
Yang penting adalah yang mampu merubah perilaku-perilaku birokrat dan politisi di bawah budaya rezim kleptokrasi atau teavokrasi.
Seorang Pj juga tidak penting, apakah berasal dari etnis Aceh, atau non-Aceh, yang utama adalah berintegritas, dan berkomitmen membangun Aceh menjadi lebih berperadaban dan berkemajuan.
Karena kuasa Pj mesti layaknya seorang pemimpin yang bernegarawan.