Kupi Beungoh
Sofyan Jalil: Antara “Jok Lam Uteun” dan “Kunci Inggreh”
Apa yang dikerjakan Sofyan yang paling fundamental adalah menerbitkan puluhan juta sertifikat tanah rakyat.
Ucapan Kalla tak salah.
Bayangkan saja kesuksesan yang ditunjukkan Sofyan ketika mengurus berbagai kementerian yang sama sekali tak mempunyai garis linear.
Ia menjabat 5 kementerian dalam masa 13 tahun.
Bayangkan saja keragaman dari berbagai kementerian; Komunikasi, BUMN, Menko Ekonomi, Ketua Bappenas, dan Menteri ATR-BPN.
Untung saja ia tidak ditunjuk menjadi Menteri Agama, padahal kemampuannya dalam ilmu-ilmu agama juga cukup lumayan, baik pengetahuan, maupun kepiawaunnya dalam berkhutbah dan berceramah.
Memang, dengan melihat berbagai atribut yang dimilkinya, klaim Kalla bahwa Sofyan “kunci inggreh” tak terbantahkan.
Baca juga: Jadi Pelajaran, Jangan Ada Lagi Korban Mafia Tanah, Nirina Zubir Ingatkan Pentingnya Komunikasi
Dua Cerita Menghadapi Godaan dan Tantangan
Ada banyak cerita tentang Sofyan yang menunjukkan prestasi dan kepiawainnya dalam mengarungi tantangan pekerjaan.
Ada dua cerita yang layak diceritakan sebagai contoh bagaimana Sofyan menghadapi godaan dan tekanan.
Ketika Sofyan menjadi Menteri Komunikasi dan Informatika, pada saat itu ia juga menjadi anggota Tim Delegasi Indonesia untuk perundingan perdamaian dengan GAM pada tahun 2007.
Suatu hari datanglah seorang pengusaha muda dari salah satu group korporasi besar nasional yang bergerak di perbankan, properti, komunikasi, dan stasiun televisi.
Ia mendesak Sofyan untuk memberikan sebuah konsesi yang berada di bawah kewenangan Sofyan untuk perusahaannya.
Ketika Sofyan baru berbicara tentang aturan dan bahkan belum berbicara mengenai penolakan, namun si pengusaha itu langsung saja mengeluarkan mata uang tertentu yang bernilai 2 juta dollar.
Sambil tersenyum ia berkata “ini bantuan saya untuk keperluan kerja bapak mengurus perdamaian Aceh.”
Sofyan marah, dan marah besar.
Ia berdiri dan menyebutkan “ambil uangmu, keluar”.
Si pengusaha itu pucat, mengambil uangnya dan langsung keluar.
Ketika Sofyan mecnceritakan hal itu ke Yusuf Kalla, sang Wapres mengatakan “kenapa Sofyan ngak telpon saya, itu kan bisa jadi barang ke KPK.”
Ada contoh lain tentang tekanan.
Ketika Sofyan sedang berada dalam perjalanan dinas ke New York, tiba-tiba ia mendapat telepon dari “individu kuat” Republik, hanya sedikit di bawah Presiden SBY, dan pihak itu bukan Wapres Yusuf Kalla.
Sofyan tahu, bahwa pihak itu pasti akan meminta Sofyan membatalkan pergantian CEO salah satu BUMN yang akan dilantik oleh bawahan Sofyan sekitar 2 jam lagi setelah percakapan telepon itu, pada hari itu.
Sofyan tidak hilang akalnya, dan keluarlah perangai Alue Lhok Peureulak yang sudah cukup lama tak terpakai.
Ia menjauhkan mulutnya dari telpon.
Ia menyebutkan tidak jelas suara telepon dari Jakarta itu, karena gangguan komunikasi satelit.
Taktik yang digunakan oleh CEO yang akan diganti dengan menggunakan tekanan”orang kuat” dalam kekuasaan tidak mempan.
Sang CEO diganti, dan Sofyan pulang ke Indonesia.
Rona wajahnya “tak berdosa” ketika ia bertemu dengan “orang kuat” itu.
Baca juga: Aceh Masih Bisa Terima Dana Otsus Usai 2027, Humam Hamid: Butuh Perjuangan Politik untuk Meraihnya
Akhir Pengabdian Sang Penjaga Masjid
Perlukan masyarakat Aceh marah dengan pergantian Sofyan, karena praktis tidak ada lagi putera Aceh dalam kabinet.
Tidak perlu, Sofyan tidak butuh itu, karena ia sudah cukup lelah dengan berbagai kedudukan dan jabatan yang diembannya selama belasan tahun.
Bahkan menurut sebuah sumber ketika Sofyan bertemu Presiden sebelum pergantian menteri, Presiden Jokowi menawarkan sebuah jabatan lain kepada Sofyan.
Dengan sangat sopan dan hormat Sofyan mohon izin dari Presiden untuk pensiun dari pemerintahan.
Apa yang perlu dicermati dari seorang Sofyan Jalil dan sangat perlu diceritakan kepada anak-anak, termasuk anak muda Aceh, adalah rangkaian rute kehidupan yang ditempuh oleh Sofyan untuk keluar dari kemiskinan dan mencapai apa yang diinginkannya.
Keteguhan, ketekunan, kerja keras, tak pernah mengeluh, dan doa orang tua adalah modal besar Sofyan yang membuatnya menjadi “orang” seperti hari ini.
Sofyan tak pernah menyembunyikan kepada siapapun bahwa ia datang dari keluarga yang sangat sederhana di Alue Lhok, Peureulak Aceh, Aceh Timur.
Ayahnya adalah seorang tukang pangkas, sementara ibunya adalah guru ngaji kampung.
Ia rajin bersekolah dan juga rajin berjualan telur untuk kehidupannya.
Ia aktif di organisasi PII, dan karena organisasi itulah ia ke Jakarta untuk mengukuti Kongres PII, dan setelahnya ia tak pulang.
Ia kemudian mencari hidup di Jakarta.
Ia berjuang dengan berbagai pekerjaan kasar.
Dua pekerjaan yang sering disebutnya adalah menjadi “kernek KOPAJA”- angkutan umum Jakarta mulai awal tahun tujuh puluhan, dan menjadi “ bileu meuseudjid”- Sofyan menyebutnya dengan istilah penjaga masjid.
Kadang, ketika ia berpidato, kadang berceramah, ia suka menyatakan siapa dirinya kepada publik.
Dia menyebutkan pakerjaan masa mudanya dengan istilah keren, “James” -maksudnya adalah jaga mesjid.
Kerasnya hidup dan perihnya berbagai pekerjaan yang dilakoninya tak membuat ia patah semangat.
Ia tetap bersekolah.
Ia memilih kuliah sore dan malam di Fakultas Hukum UI, karena ada pekerjaan yang mesti ditekuninya untuk membiayai hidup dan sekolahnya.
Akhirnya ia menamatkan Fakultas Hukum UI pada tahun 1984.
Menurut sebuah cerita Sofyan pernah menjadi pengajar mata kuliah agama Islam di IPB, dan di sanalah ia bertemu dengan isterinya, Ratna Megawangi, mahasiswi IPB pada masa itu.
Mereka kawin, dan kemudian ia dan isterinya melanjutkan sekolah ke AS.
Isterinya mendalami kajian kebijakan pangan, sementara Sofyan menekuni beberapa spesialisasi ilmu di Tufts University.
Setelah selesai sekolah Sofyan pulang ke Indonesia dan menjadi professional pada pasar modal dan menjadi konsultan untuk berbagai klien yang dilayaninya.
Cerita hidup Sofyan adalah cerita “pejuang” dan “perjuangan” sendiri menapaki hidup yang keras, namun berbuah sukses.
Ia tidak memiliki penopang, tidak mempunyai pengasuh, dan bahkan nyaris mustahil ia bisa kuliah di UI kalau melihat rekam jejak kehidupan dan pekerjaan yang dilakoninya.
Tetapi Sofyan tetap saja seorang lelaki sederhana yang tak penah berhenti berpikir dan berjuang untuk hari esok yang lebih baik.
Terhadap garis hidup hidup yang dijalani Sofyan dan apa yang telah dicapainya hari ini, dalam tradisi Aceh disebut sebagai “bak jok lam uteun”.
Yang dimaksud adalah butir buah enau yang terlempar dari pohonya atau dibawa mahluk hidup lain di tengah belantara hutan dengan nasib yang tidak menentu.
Perjuangan untuk tumbuh, dan tidak dimakan mahluk hutan satu perkara.
Menjalani masa awal tumbuh menyelinap diantara belukar berebut sinar matahari dengan pohon-pohon sekeliling perkara lain lagi.
Tumbuh kuat perlahan, berdampingan dengan pohon besar dan semakin kuat dan kokoh adalah tahapan berikutnya. Itulah Sofyan Jalil.
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.