Kupi Beungoh

Kemarau Basah, Surya Paloh, dan Penjabat Gubernur (I) – Aceh Sedang Phet That That?

Anehnya semakin ke ujung periode pertama dana Otsus pilihan terhadap “phet that that” (sangat sangat pahit) semakin dominan.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/Handover
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Oleh: Ahmad Humam Hamid*)

Beberapa hari yang lalu ada berita gembira untuk petani di hampir semua kabupaten di Aceh.

Pasalnya sederhana, tetapi berimplikasi sangat besar untuk kehidupan “kaum cilik” pedesaan kita.

Berita itu datang dari Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika.

Lembaga itu mengumumkan bahwa banyak kabupaten di Aceh- pesisir barat, pesisir timur, dan wilayah tengah Aceh-, tahun ini akan mengalami musim kemarau yang tidak biasa.

Yang dimaksud adalah sebuah keadaan dimana, walaupun bulan kemarau, namun di sana sini, di beberapa, dan bahkan mungkin di banyak tempat akan ada hujan.

Yang dimaksud tentu saja tidak seperti musim hujan biasa, akan tetapi tidak pula seperti keadaan kemarau total.

Diprediksi, yang akan terjadi adalah hujan di beberapa tempat tertentu, pada waktu tertentu pula.

Intinya akan ada hujan, yang tempat, jumlah, dan waktunya akan terjadi secara acak.

Berita itu adalah kabar gembira bagi petani, baik petani sawah, penggarap palawija di lahan kering, ataupun petani komoditi perkebunan.

Padi, kacang kedele, jagung, dan berbagai tanaman hortikultura lainnya, terutama di lahan kering akan cukup bagus ketika ada hujan di musim kemarau.

Tidak hanya untuk tanaman semusim, manfaat kemarau basah juga cukup baik untuk tanaman keras.

Masa istirahat tanaman keras yang lazim disebut dengan trek -keadaan dimana tanaman tidak berproduksi atau berproduksi rendah- seperti karet atau kelapa sawit, akan lain ceritanya, ketika mengalami kemarau total.

Kemarau basah membuat tanaman lebih produktif dan itu menjadikan petani lebih sejahtera.

Baca juga: BMKG Perkirakan Tahun Ini Musim Kemarau Basah, Ini Prediksi per Kabupaten di Aceh

Baca juga: Tahun Ini Musim Kemarau Basah, Waspadai Potensi Gelombang Tinggi

Prediksi Cuaca Pembangunan

Berbeda dengan tanaman, namun tetap mempunyai analogi dengan itu, adalah masa depan Aceh untuk paling kurang, tiga tahun ke depan.

Seperti diketahui, tanggal 5 Juli yang akan datang masa jabatan gubernur incumbent (petahana) akan berakhir.

Aceh akan diurus dan dipimpin oleh penjabat gubernur.

Tidak salah kalau kemudian masa tiga tahun Aceh ke depan, di bawah penjabat gubernur, dilihat dalam perspektif “cuaca” BMKG pembangunan.

Yang dimaksud adalah, bila prediksi cuaca BMKG untuk pertanian Aceh disebutkan akan terjadi kemarau basah, bagaimana pula cuaca pembangunan Aceh ketika sang penjabat gubernur itu akan memerintah?

Soal hujan atau kemarau tentang pembangunan dan kesejahteraan rakyat Aceh selama 15 tahun terakhir, bukanlah sesuatu yang perlu yang dipertentangkan.

Pasalnya bukan soal kemarau pembangunan, tetapi lebih kepada apakah kemarau yang sudah ada akan berlanjut, ataukah akan ada cuaca baru, paling kurang kemarau basah.

Tanpa melupakan rahmat Yang Maha Kuasa yang sangat besar untuk rakyat Aceh selama ini, bila diibaratkan dengan musim dan cuaca, apa yang telah dialami oleh rakyat Aceh pascadamai dan tsunami adalah sebuah kemarau panjang, yang bahkan telah membuat sebagian masyarakat, terutama di kalangan generasi muda nyaris putus asa, dan hilangnya rasa optimisme untuk masa depan.

Kenapa hanya kemarau basah?

Karena memang persoalan Aceh hari ini mulai dari pemerintahan, pembangunan, dan kehidupan politik berada dalam keadaan yang sangat akut dan kompleks.

Baca juga: Teken Kontrak Proyek APBA Rp 2,54 T Tuntas, Total 1.666 Paket

Baca juga: Badan Anggaran DPRA Singgung Kemiskinan, Gubernur Sebut Sudah Menurun

Peneliti Eropa dan Kosakata Phet That That

Walaupun secara akal sehat semua pihak yang tinggal dan tahu tentang Aceh hari ini, sepakat pembangunan Aceh beranalogi atau berasosiasi dengan kata kemarau, namun diperlukan juga konfirmasi kondisi  lapangan untuk keabsahannya.

Baru-baru ini ada seorang peneliti dari sebuah lembaga nonpemerintah dari salah satu negara anggota Uni Eropa yang dulu terlibat jauh dalam perdamaian dan pembangunan pascatsunami, berkehendak membuat kajian tentang pembangunan dan kehidupan rakyat Aceh.

Kedatangannya beberapa waktu yang lalu adalah untuk kepentingan sebuah penjajakan awal.

Diskusi kami tentang hasil awal uji coba lapangan untuk penyempurnaan rencana penelitian membuat saya tersentak.

Latar belakangnya adalah ilmuwan sosial yang sangat suka dengan penelitian kualitatif dan telah cukup berpengalaman di berbagai tempat di Indonesia.

Ia dengan sangat cerdas menggunakan penerjemah sekaligus konsultan lokal untuk penelitiannya.

Ia telah menyiapkan berbagai pertanyaan yang kedatangannya kali ini lebih kepada mengadakan “uji coba” pertanyaan untuk sampel individu, rumah tangga, atau kelompok diskusi terpilih.

Yang diharapkan, pada akhirnya akan didapatkan sebuah rencana peneitian yang benar dan handal.

Semua pertanyaan yang diajukan adalah cocok dan benar, baik kata, isi, serta maksud.

Uji coba itu tentu saja memberi peluang untuk perbaikan pertanyaan yang akan diajukan.

Ketika sampai pada penilaian individu dan diskusi kelompok tentang keadaan kehidupan rakyat Aceh selama 15 tahun terakhir, ia mengajukan

pertanyaan tertutup, dengan memberikan pilihan kepada sampel.

Secara sederhana, pertanyaan itu jamak digunakan di kalangan peneliti ilmu sosial sebagai instrumen untuk mengukur tanggapan individu tentang sesuatu hal tertentu dari positif ke negatif secara hirarkis.

Satu di antara pertanyaan itu adalah sampel terpilih diberikan kebebasan untuk memberikan pendapatnya tentang keadaan kehidupan masyarakat dan pembangunan dalam enam kategori.

Sang peneliti meminta kepada individu atau kelompok sampel untuk memilih satu di antara enam tingkatan apa yang mereka rasakan tentang hidup dan kehidupan mereka pasca berlakunya status Otonomi Khusus di Aceh.

Konnstruksi pilihan individu terpilih untuk mengukur kehidupan mereka disusun dalam 6 pilihan, “mangat that” (enak sekali), “mangat” (enak), “lagei biasa” (biasa saja), “phet” (pahit), “phet that” (sangat pahit), dan yang terakhir “phet that that” (sangat sangat pahit).

Saya terkesima dengan penggunaan kosakata lokal yang sangat luar biasa itu yang saya duga atas nasihat dari konsultan lokal itu.

Namun di sebalik itu, saya juga punya beberapa kritik dan catatan khusus tentang kelemahan pertanyaan itu, yang sesungguhnya sangat akademik dan tak layak diuraikan di sini.

Ketika pertanyaan itu diuji di lapangan dan dibentangkan dalam perjalanan waktu selama 15 tahun, maka pada lima tahun pertama ada satu dua yang menyatakan “mangat that” (enak sekali).

Banyak kata yang keluar “mangat” (enak), dan kurang dari sepertiga sampel yang menyebut “lagee biasa” (seperti biasa), dan di sana sini ditemukan pilihan “phet” (pahit).

Ketika dianjutkan pada tahun berikutnya, secara drastis jawabannya berpindah ke pilihan “phet” (pahit), walau ada satu dua yang menyebut “lagee biasa” (biasa saja).

Di sana-sini ditemukan pilihan phet that (sangat pahit), dan ada satu dua yang menyebutkan “phet that that” (sangat sangat pahit).

Pada tahun-tahun berikutnya masih ditemui pilihan “mangat” (enak) dan sangat sedikit yang memilih “lagee biasa” (biasa saja).

Pilihan yang paling dominan adalah “phet” (pahit), dan “phet that” (sangat pahit).

Anehnya semakin ke ujung periode pertama dana Otsus pilihan terhadap “phet that that” (sangat sangat pahit) semakin dominan.

Dalam konteks ini tidak salah kalau kemudian, kehidupan rakyat Aceh dikonotasikan dengan istilah BMKG dalam konteks cuaca pembangunan, maka istilah yang layak bukan lagi kemarau, tetapi lebih kepada kemarau panjang.

Baca juga: Gubernur Nova Iriansyah Sebut Aceh tak Perlu Takut Jika Dana Otsus Berakhir, Ini Alasannya

Baca juga: Kelalaian Kolektif Dana Otsus Aceh dan Tugas Berat Berikutnya

Baca juga: Berikhtiarlah Mencegah Penyetopan Dana Otsus

Surya Paloh dan Warning Lampu Merah

Pilihan tentang penilaian publik kepada kondisi kehidupan Aceh hari ini “phet that-that” yang beranologi dengan kemarau panjang mungkin saja berkonotasi bias ataupun berlebihan yang dapat diperdebatkan secara ilmiah.

Akan tetapi kalau seorang Surya Paloh, seorang politisi kawakan dan bahkan tokoh nasional yang diperhitungkan, menyebutkan bahwa Aceh berada dalam status “lampu merah”, maka itu adalah sebuah konformasi terhadap istilah kemarau panjang pembangunan yang diderita oleh Aceh rezim otonomi khusus periode 15 tahun.

Statemen Paloh kemudian juga berpelukan dan bahkan berpasangan “mesra” dengan pilihan sampel yang terpilih untuk uji coba pertanyaan penelitian yang menggunakan kata “phet that that” (sangat sangat pahit), terhadap keadaan kehidupan masyarakat saat ini.

Statemen Paloh juga memberikan implikasi besar dan luas terhadap pandangan dan persepsi publik nasional terhadap Aceh.

Esensi dari pernyaataan seorang politisi seperti Paloh yang juga pemilik kerajaan media tentang kemelut Aceh, sekaligus memastikan dan menghilangkan keraguan publik nasional bahwa Aceh memang sedang “sekarat.”

Kucuran dana sebesar 95.740 triliun rupiah selama 15 tahun harus diakui ada manfaatnya, namun sama sekali tak sebanding antara jumlah kucuran dana dan hasil yang didapatkan.

Kalaulah ada deretan sejumlah perkara menonjol yang dapat dikategorikan sebagai “aib nasional” hari ini, maka kegagalan Aceh membuat rakyatnya lebih baik adalah satu di antaranya.

Tragisnya, jika aib nasional lainnya mempermalukan publik nasional secara kolektif dari Sabang sampai Meurauke, sebaliknya, aib Aceh menjadi tanggungan rakyat Aceh sendiri mulai dari Sabang sampai dengan Kota Subulussalam dan Kecamatan Bandar Pusaka di Kabupaten Tamiang.

Ketika kali ini keputusan untuk siapa yang akan memimpin Aceh berada di tangan pemerintah pusat, pertanyannya bukanlah apakah hujan pembangunan akan terjadi di Aceh?

Pertanyaan yang layak diajukan adalah apakah ketika hadirnya pejabat gubernur yang baru justeru akan memperpanjang kemarau panjang yang sudah ada ataukah akan mulai membawa “kemarau basah”, seperti apa yang akan dialami oleh petani Aceh seperti prediksi BMKG baru-baru ini?

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel Kupi Beungoh Lainnya di SINI

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved