Kupi Beungoh
Kemarau Basah, Surya Paloh, dan Pejabat Gubernur (II) – Ibarat Menangani Pasien Koma
Sangat penting untuk diingat adalah pejabat kali ini tidak sama dengan penjabat gubernur yang pernah ada dalam sejarah pemerintah Aceh.
Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
TIDAK seperti biasanya, Aceh yang diperintah oleh gubernur yang dipilih oleh rakyat, kali ini gubernurnya adalah pilihan pemerintah pusat.
Oleh sebab itu namanya pun lain, penjabat gubernur.
Dan yang sangat penting untuk diingat adalah pejabat kali ini tidak sama dengan penjabat gubernur yang pernah ada dalam sejarah pemerintah Aceh.
Walaupun istilah penjabat itu berkonotasi “sementara”-menunggu gubernur definif, namun lamanya masa tunggu gubernur definitif untuk Aceh kali ini sekitar tiga tahun lamanya.
Hanya kurang dua tahun saja, sudah sama dengan gubernur definitif.
Untuk itu mengingat lamanya waktu memerintah, satu hal yang mesti diingat dengan baik oleh publik dan bahkan jajaran pemerintah daerah adalah esensi dari tahun kerja dan peran yang diemban.
Sebutannya boleh saja penjabat gubernur, namun secara de facto, penjabat yang ditunjuk itu adalah gubernur Aceh, kecuali ada hal-hal yang sangat luar biasa.
Baca juga: Kemarau Basah, Surya Paloh, dan Penjabat Gubernur (I) – Aceh Sedang Phet That That?
Di samping alasan lamanya waktu memerintah yang membuat penjabat gubernur menjadi “gubernur” yang sesungguhnya adalah, justeru saat ia dilantik Aceh segera akan memasuki periode “krisis anggaran” yang tidak biasa.
Yang dimaksud adalah mulai tahun 2023, hanya tinggal 6 bulan lagi- anggaran dana Otsus Aceh periode 15 tahun pertama akan berakhir.
Perhitungan indikatif yang dibuat oleh beberapa kalangan memperkirakan Aceh akan kehilangan sekitar Rp 6-7 triliun rupiah dari yang seharusnya biasa diterima dari dana Otsus.
Penjabat gubernur segera akan memulai hari kerjanya dengan menghadapi sebuah pekerjaan besarnya, menyelesaikan APBA 2023 yang mungkin juga sudah memiliki draft yang diajukan oleh pemerintah yang sedang berjalan saat ini.
Kenapa disebut pekerjaan besar untuk pejabat gubernur, karena tidak lain, yang akan dihadapi adalah pengurangan dana satu persen setara DAU nasional.
Baca juga: Sofyan Jalil: Antara “Jok Lam Uteun” dan “Kunci Inggreh”
Ibarat kebiasaan makan pagi orang kaya baru di luar rumah selama ini dimana dominasi menu lengkap praktis setiap hari, maka kini uangnya sudah berkurang secara sangat drastis.
Kebiasaan mengkonsumsi nasi guri komplit Pak Rasyid atau Heri, telur ayam setengah matang, kopi espresso tambah sanger espresso, bahkan rokok Djisamsoe kini terancam, karena pendapatan sudah berkurang drastis.
Pertanyaannya, apakah perilaku konsumtif itu akan berlanjut dengan segala cara, ataukah akan ada penyesuaian?
Tidak hanya itu, isu selama ini tentang pentungnya jumlah akan bergeser kepada penting, benar, dan arifnya pengeluaran?
Walaupun pertanyaan itu lebih berasosiasi dengan pemegang mandat publik, namun konsekwensi pengurangan dana juga akan menjadi cobaan besar untuk berbagai kalangan.
Secara sangat khusus akan ada beberapa pihak yang selama ini berada dalam “zona nyaman” yang akan sangat terganggu dengan berakhirnya Dana Otsus satu persen itu.
Sekalipun akan cukup pekerjaan lain yang dihadapi oleh pejabat gubernur, pengurangan dana ini akan menimbulkan konsekuensi anggaran pembangunan yang “tidak biasa”, yang dapat menimbulkan berbagai gejolak dalam masyarakat.
Hal ini menjadi lebih kritis, karena pada kenyataannya pemerintah daerah, baik provinsi dan kabupaten/kota sama sekali tidak menyiapkan skenario persiapan “phasing out” penurunan anggaran Dana Otsus dari dua persen ke satu persen secara sistematis.
Baca juga: Putin, Ukraina, dan Perang Dunia 3 (I): Denazifikasi dan Demiliterisasi Ukraina
Salah satu keniscayaan yang tidak bisa dihindari oleh penjabat gubernur yang akan datang adalah kebijakan rekalibrasi dan rasionalisasi anggaran berikut penyederhanaan lembaga SKPA, baik melalui penghapusan, ataupun penggabungan yang ditujukan untuk efisiensi dan efektivitas kinerja pemerintahan.
Kebijakan ini akan memberikan wajah baru satuan kerja pemerintah Aceh dan kabupaten kota.
Hal ini mempunyai tingkat “kerumitan” tersendiri, karena praktis akan memunculkan landskap baru organisasi pemerintahan dan rencana anggaran tahunan yang berhulu pada alokasi dana Otsus yang baru.
Salah satu persoalan penting yang dihadapi Aceh semenjak pascaperdamaian sampai hari ini adalah tingginya angka kemiskinan.
Tingkat kemiskinan Aceh terakhr adalah 15.53 persen (BPS 2021) -850 ribu jiwa, jauh di atas rata-rata nasional ,7.60 persen, dan bahkan merupakan provinsi termiskin se Sumatera.
Barangkali salah satu bukti yang memperkuat sinyalemen dan obseravsi Surya Paloh tentang Aceh adalah fakta statistik kemiskinan ini yang telah bertengger cukup lama di Aceh.
Hal lain yang juga tidak kalah pentingnya untuk menjadi catatan dan perhatian adalah semakin meningginya konflik ummat yang lebih bernuansa khilafiah.
Baca juga: Masa Depan Media Cetak: Alkhwarizmi, Bezos, The Post, dan Acaman Kepunahan (I)
Hal ini ditandai dengan perebutan sejumlah masjid dan pelarangan ibadah shalat Jumat dan shalat berjamaah yang dilakukan oleh kelompok fikih tertentu terhadap kelompok lainnya.
Bahkan kejadian terakhir di dua kabupaten, adalah pemerintah daerah sendiri yang terlibat dengan pelarangan pendirian masjid, dan pelarangan ibadah praktik ibadah berjamaah dan shalat Jumaat, yang lebih didasari oleh persoalan fikih yang tidak pernah terselesaikan.
Sekalipun potensi konflik vertikal antara daerah dengan pusat relatif sangat kecil, namun benih-benih ketegangan masih tetap berlanjut, terutama dengan tuntutan sebagian elit politik daerah tentang realisasi MoU Helsinki yang dianggap masih belum terpenuhi.
Hal itu tercermin dalam penafsiran terhadap kewenangan dalam UUPA no 11 2007 untuk Qanun tertentu cenderung ditafsirkan dengan “isi” dan “semangat” MoU Helsinki, yang cenderung dibaca secara sepihak, sementara basis yang dapat menjadi acuan Qanun adalah UUPA no 11 2007 dan berbagai perangkat Undang Undang lain yang berlaku.
Akibatnya, sejumlah Qanun tertentu sampai hari ini belum mendapat pengesahan dari pemerintah pusat.
Baca juga: Penyakit Aceh: Imbuhan “Ter” yang Permanen
Ibarat Menangani Pasien Koma
Terlepas dari berbagai tantangan dan persoalan yang akan dihadapi oleh penjabat gubernur yang baru ada suatu keberuntungan yang memberikan peluang yang besar baginya untuk disebut berprestasi.
Ibarat pasien koma di rumah sakit, yang ditempatkan dalam ruangan ICCU, sedikit saja terjadi kemajuan terhadap sang pasien, waluapun hanya bersin saja, apalagi tabung oksigen tidak lagi diperlukan, maka itu adalah prestasi.
Belum lagi kalau sang pasien tidak lagi menggunakan infus, dan dipindahkan ke ruangan rawat inap, maka dokter yang menangani sang pasien akan mendapat pujian dan bahkan doa dari seluruh ahli famili dan handai tolan.
Apalagi kalau penyakit beratnya dapat ditangani dengan baik, dan ketika sang pasien keluar dari rumah sakit, berita
keberhasilan dan pujian akan datang silih berganti.
Apakah metafora kemarau panjang atau pasien gawat darurat di ruang ICCU, itulah keadaan Aceh yang kita hadapi saat ini.
Realitas pembangunan dengan berbagai ketimpangan, berikut dengan sejumlah perilaku “tak biasa” penggunaan anggaran selama ini telah membuat Aceh menjadi sangat terpuruk.
Ada anak muda atau mahasiswa asal Aceh yang sekolah di luar Aceh yang menderita penyakit “rendah diri” akibat dari apa yang dilakukan oleh elitnya di daerah.
Baca juga: Aceh Masih Bisa Terima Dana Otsus Usai 2027, Humam Hamid: Butuh Perjuangan Politik untuk Meraihnya
Jika hal ini terus berlanjut, maka label Aceh sebagai daerah yang tak menentu, tak terurus dengan baik, dan tak jelas masa depannya akan membawa penyakit baru yang sangat berbahaya.
Pesismisme kolektif dan tingkat kepercayaan dalam masyarakat yang sangat rendah adalah awal dari bangunan besar penjara keterbelakangan yang diisi oleh generasi baru Aceh di masa depan.
Dalam konteks kedatangan pejabat gubernur baru ke Aceh, apa yang layak untuk dijadikan sebagai indikator sukses sang pejabat untuk masa 3 tahun yang akan dijalaninya?
Menetapkan target yang terlalu tinggi tentu saja sangat tidak realistis, apalagi segera akan ada hujan yang membawa kemakmuran-menggunakan metafora BMKG, itu terlalu mustahil, untuk tidak menyebutkan ajaib.
Selanjutnya, mematok pasien segera keluar dari rumah sakit apalagi sembuh total –menggunakan metafora pasien ICCU- juga tidak realistis.
Prestasi bagi sang pejabat gubernur harus dimulai dengan menunjukkan tanda-tanda awal akan ada “kemarau basah”, dilanjutkan dengan kemarau basah.
Jika saja terjadi hujan setelah itu, apalagi lebih awal dari yang diprediksi itu adalah prestasi yang luar biasa.
Jika analoginya pasien ICCU, dalam waktu relatif pendek pindah ke ruangan rawat inap itu adalah prestasi awal sang dokter, konon lagi bila sang pasien keluar dari rumah sakit dan hanya menjalani status “rawat jalan.”
Akhirnya untuk mengurus Aceh hari ini bagi pejabat gubernur yang akan dilantik, hanya memerlukan dua modal utama, pertama “hati nurani”, dan kedua “nyali” yang kuat untuk menjaga nurani yang bersih.
Kedua hal itu akhir-akhir telah menjadi barang langka, karena kalau kedua hal itu ada tak perlu ribut-ribut dengan SILPA, laporan tahunan statistik tentang kemiskinan, dan bahkan mungkin seorang Surya Paloh tak perlu mengumumkan “aib” nasional itu.
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel Kupi Beungoh Lainnya di SINI