Kupi Beungoh
Menjawab Bang Risman tentang Kemiskinan dan Apresiasi untuk Aceh
Salah satu sebab yang juga mempengaruhi penurunan angka kemiskinan di Aceh sejak tsunami selain proyek rehab-rekon dan stimulus dana Otsus
Oleh: Jabal Ali Husin Sab*
Bang Risman seorang tokoh publik yang cukup senior bagi saya di Aceh, dalam tulisannya berjudul “Melihat Kemiskinan Aceh Secara Apresiatif” yang dimuat di AJNN.Net, ia coba menawarkan pandangan yang apresiatif dalam melihat Aceh, khususnya masalah kemiskinan. Demi kebaikan citra Aceh.
Tentu saya sebagai orang Aceh tak ingin citra daerah saya buruk.
Bahkan beberapa kritik dari tulisan saya, diantaranya tulisan berjudul "Evaluasi Kegagalan Otsus dan Pesan untuk Pemerintah Pusat" dimuat di dialeksis.com sebelumnya lahir dari itikad baik agar kita segenap masyarakat Aceh berbenah atas kurang maksimalnya upaya serius kita—dalam hal ini beberapa mantan Gubernur Aceh pasca tsunami—dalam memberantas kemiskinan di Aceh.
Saya sepakat dengan statistik kemiskinan yang diangkat oleh Bang Risman bahwa Aceh pernah terpuruk dengan angka kemiskinan tinggi akibat konflik dan bencana tsunami.
Baca juga: Kemiskinan dan Pengemis di Nanggroe Aceh Hebat yang sedang Sekarat
Kinerja BRR dalam rehab-rekon telah menurunkan angka kemiskinan secara signifikan dari 32,60 persen menjadi 26,65 persen di tahun 2007.
Disusul oleh rata-rata pengurangan angka kemiskinan sekitar 5,11 persen per tahun. Salah satu sebab yang mampu menurunkan angka kemiskinan adalah adanya alokasi dana Otonomi Khusus yang menjadi stimulus perekonomian di Aceh, turut menurunkan laju angka kemiskinan Kemudian di tahun 2017, rata-rata penurunan persentase kemiskinan cenderung menurun menjadi hanya 2,33 persen per tahun.
Salah satu sebab yang juga mempengaruhi penurunan angka kemiskinan di Aceh sejak tsunami selain proyek rehab-rekon dan stimulus dana Otsus adalah program JKA yang diberlakukan masa pemerintahan Irwandi Yusuf.
Kebijakan subsidi di bidang kesehatan ini memberi dampak pada pengurangan konsumsi rumah tangga di bidang kesehatan. Bahasa sederhananya, masyarakat tidak perlu mengeluarkan uang untuk berobat.
Pendapatan rumah tangga bisa digunakan untuk keperluan sehari-hari yang lain atau kebutuhan rutin. Kita tentu mengapresiasi ini. JKA adalah salah satu capaian yang progresif.
Baca juga: Penurunan Kemiskinan Aceh Dinilai Dampak Kenaikan Produksi Padi, Angka Kemiskinan Capai 21,85 Persen
Menjamin kesejahteraan masyarakat Aceh. Kita sudah merasakan setengah welfare state dengan adanya JKA.
Maka aneh apabila kemarin ada isu JKA mau dihilangkan. Alhamdulillah wacana tersebut tidak terlaksana.
Yang perlu kita ketahui dari bagaimana mekanisme APBA dianggarkan selami ini cenderunh bertujuan untuk mendorong percepatan pembangunan secara umum, tapi tidak berupaya mengentaskan kemiskinan secara khusus di kantong-kantong kemiskinan.
Tidak secara khusus merencanakan peningkatan pendapatan belanja harian/bulanan warga miskin dengan suntikan stimulus atau program bantuan langsung melalui program yang sistematis dan terencana.
Selama ini kemiskinan diharapkan turun hanya dengan berharap pada multiplier effect dari besaran anggaran dana APBA yang dibelanjakan pada sektor pembangunan.
Artinya upaya penurunan kemiskinan diharapkan terwujud dari upaya tidak langsung, hanya imbas dari efek dibelanjakannya dana untuk pembangunan.
Besaran dana Otsus yang diprogramkan khusus untuk pengentasan kemiskinan hingga tahun 2018 di Aceh hanya 3,63 persen atau 278,64 miliar dan untuk program pemberdayaan ekonomi sebesar 10,57 persen atau 798,86 miliar (data Badan Akuntabilitas Keuangan Negara DPR-RI).
Baca juga: Mendagri Minta Pj Gubernur Aceh Kurangi Angka Kemiskinan, Masa Nova Berapa Jumlahnya?
Besaran persentase dana khusus untuk mengentaskan kemiskinan tidak diplot secara khusus dalam program yang intensif dan sistematis dan hanya berharap dari dampak tak langsung dari besarnya anggaran pembangunan dan jumlah uang yang beredar.
Sementara distribusi uang yang beredar dan distribusi APBA tidak diarahkan untuk memastikan penurunan kesenjangan. Bisa saja uang yang beradar hanya menumpuk pada jumlah persentase kecil individu dari total keseluruhan masyarakat Aceh.
Salah satu program pengentasan kemiskinan yang pernah dijalankan di era Orde Baru adalah program Inpres Desa Tertinggal yang salah satu pencetus dan pelaksananya adalah begawan ekonomi Indonesia dari UGM Prof. Mubyarto.
Kala itu Indonesia menikmati peningkatan pertumbuhan ekonomi dengan masuknya modal asing yang besar (foreign direct investment).
Yang menjadi masalah adalah distribusi kekayaan yang tak berjalan sebaik peningkatan pertumbuhan ekonomi secara makro.
Baca juga: Surya Paloh Warning Aceh Terkait Kemiskinan dan Demoralisasi
Maka program seperti IDT dilaksanakan untuk menekan rasio gini (kesenjangan antara yang kaya dan miskin) dan menurunkan angka kemiskinan dengan melakukan tindakan khusus ke pos-pos kemiskinan di Indonesia.
Salah satu kebijakan yang diambil adalah pemberian hewan ternak kambing misalnya bagi warga Gunung Kidul yang mana dari kambing yang diternak, warga menghasilkan peningkatan pendapatan bulanan hingga 30 persen dari pendapatan bulanan sebelum menerima bantuan.
Akhirnya warga yang mendapatkan bantuan telah keluar dari garis kemiskinan dan menjadi warga yang mandiri secara ekonomi.
Dari kebijakan IDT di era Orde Baru, kita tentu dapat mengadopsi dan modifikasi di Aceh dengan membentuk tim khusus yang menangani masalah kemiskinan secara khusus dengan stimulus bantuan ke kantong kemiskinan.
Tim tersebut bukan hanya memberikan bantuan, namun memastikan warga penerima bantuan dalam periode waktu tertentu berhasil meningkatkan pendapatan bulanan dan keluar dari kategori miskin yang selama ini dilihat dari jumlah pendapatan harian/bulanan penduduk (metode melihat angka kemiskinan versi World Bank).
Tentu program ini memerlukan data yang akurat, kerja yang berencana dan perlu dievaluasi tiap akhir tahun.
Saya berharap PJ Gubernur Ahmad Marzuki akan menilik masalah kemiskinan dengan lebih serius dan coba memberikan penanganan khusus terhadap masalah kemiskinan di Aceh.
Salah satunya dengan cara membentuk tim khusus menangani masalah kemiskinan yang bekerja secara sungguh-sungguh berbasis data yang kuat.
Kita sama sekali tidak mengabaikan apresiasi kepada para pihak yang telah terlibat dalam membangun Aceh selama ini. Namun kita perlu melihat data dan fakta yang riil tentang kondisi dan situasi nyata di lapangan untuk bisa melakukan sebuah perubahan yang berarti bagi kesejahteraan masyarakat Aceh. Saya rasa Bang Risman tidak akan menampik hal ini.
Salam Hormat untuk Bang Risman.
*Penulis Jabal Ali Husin Sab adalah pemerhati masalah sosial dan politik di Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel Kupi Beungoh Lainnya di SINI